Primordialisme lahir dari sebuah habitus (kebiasaan yang melekat) yang di bawa seseorang sejak dari lahir, menanggalkan arti primordial untuk bersikap terbuka sehingga memungkinkan seseorang untuk menyentuh rasa empati terhadap sesuatu yang berbeda darinya tentu tidaklah mudah, karena sikap alamiah manusia selalu mengarah terhadap apa yang dipercayainya dan apa yang membuatnya tertarik dari keterbatasan ruang dan waktu bernama keluarga/ masyarakat yang membentuk siapa kita di kehidupan ini,
Namun ketika kita berbicara tentang status kehidupan manusia yang sangat plural kita mencoba berkompromi dengan diri kita sendiri, untuk melihat kepentingan yang lebih luas, tidak hanya memikirkan kelompok, golongan dan organisasi, tetapi mementingkan setatus umat manusia yang memiliki esensi sama, ''lepas dari identitas apapun sejatinya manusia adalah mahluk yang saling membutuhkan dan berkeinginan hidup dengan kedamaian''.
 Setitik relativisme sosial membuat kita sedikit memiliki kelenturan untuk memahami konteks kebenaran itu sendiri, argumenya seperti ini ''setiap ideologi, konsep, kepercayaan (agama), suku, bahasa dan budaya memiliki kebenaranya sendiri, semua tergantung dari letak dan tempatnya'' jadi secara obyektiv relativisme sosial dapat kita mengerti sebuah tesis yang sangat rasional untuk kita fahami dalam konteks kehidupan manusia yang sangat plural ini.
Namun faham ini tidak harus di resapi dalam kesadaran personal kita, karena kita pasti nya berada di ambang kebingungan untuk menentukan kesadaran kita dalam melihat kebenaran itu sendiri, identitas adalah sebuah jawaban tentang siapa kita dalam kehidupan ini, namun relativisme sosial membuat kita menanggalkan setiap apa yang kita percayai, untuk memahami jalanya sebuah pluralisme yang berada di gerbang harmonisasi rasa merasa menjadi manusia, tanpa harus tersesat di dalamnya.
Bersikap moderat , moderat adalah tentang berpegang teguh terhadap nilai-nilai yang di anut, tetapi di satu sisi memiliki keterbukaan terhadap suatu nilai yang berbeda darinya, menjadi manusia moderat adalah menjadi manusia yang terbuka akan segala sesuatu perbedaan, di dalam realitas sosial yang sangat majemuk ini, sikap moderat amatlah di perlukan untuk melahirkan suasana saling tebuka antara kelompok identitas satu dengan yang lain,
Moderat melahirkan keterbukaan yang menciptakan ruang dialog, dialog yang melahirkan sikap komunikatif yang mampu merobohkan tembok rasa saling curiga, karena apa yang tampak selama ini, primordialisme di bangun di dalam suasana zona nyaman di dalam keterikatan identitas yang sama, sehingga ketika harus berhadap-hadapan dengan sesuatu yang lain Iklim yang terbangun adalah sikap apatis (sikap cuek di dalam rasa curiga), namun keterbukaan di dalam sikap moderat membuat sikap apatis lebih mencair karena dialog selalu memungkinkan hilangnya semua persepsi maupun asumsi negativ antara subyek terhadap obyek,
Ketika keterbukaan berada di singgasana tertinggi di dalam realitas sosial ini, harapan akan terciptanya kehidupan masyarakat yang terpisahkan oleh setatus identitas dengan sendiri akan lenyap, dan ketika itu setiap golongan identitas akan memeluk arti pluralisme itu sendiri karena semua berada di dalam tujuan yang sama yaitu ''menghadirkan suasana rasa merasa menjadi manusia'', bukankah sebuah keindahan ketika kita mampu melihat seorang yang memiliki kepercayaan A, mampu menjalin hubungan dengan baik dengan pemilik kepercayaan.B,C,d,& dst, bukankah suasana yang kita harapkan, ketika di dalam lingkungan tempat tinggal, ada sekumpulan manusia berkumpul dari latar belakang budaya berbeda, suku berbeda, bahasa berbeda, setatus sosial berbeda, mampu beriteraksi dengan baik, menjalani sebuah hubungan penuh makna tanpa membedakan perbedaan satu dengan yang lainya.
Hal yang paling fundamental dari manusia itu sendiri adalah, pada dasarnya kita semua memiliki ketakutan yang sama, takut akan kematian, musibah yang datang dengan tiba-tiba, dan kehilangan orang yang kita cintai, Kehadiran kita di dunia ini karena ada kehadiran manusia lain dan kita tidak sendiri, filsuf terbesar di abad pertengahan asal jerman ''martin heidegger'' memberi sebuah argumen yang menarik, isinya begini, ''pada dasarnya manusia adalah mahluk yang terlempar ke dunia ini tanpa pernah memilih sebuah pilihan'', argumentasi ''heidegger'' sangat obyektif karena kita semua adalah ciptaan dari produk sosial, ketika kita terlahir di dunia ini,
 kita sudah di beri pilihan,suku, budaya, kepercayaan (agama), bahasa, setatus sosial Tanpa kita bisa menolaknya, ketika kita sampai di dalam tahap kesadaran ini, kita akan menemukan sebuah tujuan yang paling tertinggi, tidak untuk kepentingan keterikatan kita terhadap identitas sosial yang sama, tetapi untuk melepaskan diri dari belenggu identitas sosial itu sendiri, untuk sampai kepada gerbang ''sebuah rasa kemanusiaan''.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H