Kelakar Klepon
Ada-ada saja kelakar bangsa kita, selalu mampu menemukan cara untuk mengail hiburan di tengah krisis akibat pandemi COVID-19. Juli 2020, jagat maya Indonesia digegerkan oleh sebuah unggahan yang menyatakan bahwa kue klepon tidak Islami, sehingga perlu ditinggalkan dan tidak dikonsumsi. Sebagai masyarakat awam, tentu kita menilai hal ini hanyalah sebuah guyon dengan landasan pemikiran yang sudah pasti tidak logis.
teknologi pangan, klepon adalan bentuk paling sederhana dalam lingkup agroindustri singkong.
Klepon adalah sejenis penganan yang lahir dari sejarah panjang pedesaan. Sederhana, unik, dan tentu enak, adalah karakter utama klepon. Dilihat dari perspektifTerdapat turunan lain yang lebih kompleks dan jauh bernilai ekonomi. Bahkan pengoptimalan agroindustri singkong dapat berbuah kredit karbon loh. Tidak percaya? Mari simak pembahasan berikut hingga tuntas.
Sebelum membahas agroindustri singkong lebih jauh, alangkah baiknya terlebih dahulu kita ulas secara singkat kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Sehingga landasan diskusi kita lebih terarah untuk penguatan ekonomi di tengah ancaman resesi akibat pandemi COVID-19.
Triwulan II 2020, kita perlu waspada terhadap berbagai gejolak ekonomi dengan pertumbuhan -5,32%. COVID-19 memang tidak pandang bulu, bahkan secara telak telah meruntuhkan perekonomian Amerika Serikat hingga terperosok pada level -32,9%.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari negara adidaya ini setidaknya membuat kita lebih optimis dalam melewati masa pandemi secara tangguh dan efisien. Semoga kita dapat belajar dari Tiongkong yang mampu bangkit dengan pertumbuhan ekonomi 3,2%, setelah jatuh pada Triwulan I 2020 di level -6,8%.
Dari keseluruhan komponen yang dievaluasi, pertanian adalah sektor yang mampu tumbuh positif (2,19%) disaat sektor lain tumbuh negatif. Hal ini merupakan gambaran bahwa sektor pertanian memiliki ketangguhan yang sangat baik sebagai garda perekonomian bangsa.
“Pertanian adalah urusan hidup dan mati suatu bangsa”, demikian pesan dari Ir.Soekarno. Namun, kita memiliki satu permasalahan besar pada sektor ini, darurat regenerasi. Pada 2018, BPS merilis data bahwa jumlah petani di Indonesia mencapai 24,2 juta jiwa, sebanyak 62,3% adalah kelompok usia diatas 45 tahun. Realita ini tidak terlepas dari image pertanian sebagai pekerjaan yang nguli, kotor, kasar, terbelakang, serta jauh dari kesan milenial.
Untuk menarik minat kaum milenial, berikut penulis akan memaparkan satu komoditas pertanian yang jika dioptimalisasi melalui skema pemberdayaan dan kolaboratif, niscaya akan mengubah mindset kita tentang sektor ini.
Bahkan kita akan terarah pada peran aktif dalam skema kredit karbon melalui platform global yang bernama Emission Trading System (ETS). Tidak percaya? Mari kita simak pemaparan berikut.