Pada Tanggal 13 Desember 2017, Airlangga Hartarto dipilih sebagai Ketua Umum definitif Partai Golkar secara aklamasi melalui rapat pleno dan dikukuhkan di Munaslub Partai Golkar beberapa hari setelahnya. Proses aklamasi pada saat itu menjadi modal kekuatan Airlangga memimpin partai Golkar pada pemilu serentak 2019. Hasilnya, Partai Golkar menempati peringkat kedua kursi terbanyak di DPR RI dengan raihan 85 kursi. Hasil yang dicapai oleh Partai Golkar tersebut dinilai secara beragam. Ada yang menilainya sebagai kegagalan, akan tetapi tidak sedikit yang mengatakan Airlangga berhasil memimpin Partai Golkar pada pemilu 2019.
Â
Di tengah apresiasi dan kritikan beberapa pihak, Airlangga terus menerima dukungan untuk kembali menjabat sebagai ketua umum Partai Golkar. Dukungan yang diperolehnya bernilai karena berasal dari pemilik suara, diberikan dan dinyatakan secara terbuka serta tertulis. Terakhir, menurut Airlangga sendiri di Medan, jumlah dukungan yang telah diperoleh sebesar 87 persen lebih (Medan, Senin, 29/7/2019).
Â
Airlangga Dipilih
Â
Mencalonkan dan memilih kembali Airlangga sebagai ketua umum Partai Golkar tentu didasarkan pada pertimbangan politik dan rasionalitas. Setidaknya sejak Airlangga dipilih secara aklamasi pada Desember 2017 sampai dengan Juli 2019, terdapat beberapa catatan impresif mengenai Airlangga, kebijakannya dan tindakannya selama memimpin Partai Golkar.
Â
Pertama, Airlangga memiliki legitimasi, visibilitas dan pengaruh. Pada ranah legitimasi, Airlangga memperoleh dan membuktikannya sejak proses aklamasi dan munaslub partai Golkar pada Tahun 2017. Saat itu, pemangku kepentingan di internal partai Golkar satu suara mendukung Airlangga mengisi kursi yang kosong ditinggalkan oleh Setya Novanto.Â
Jadi Airlangga mendapatkan legitimasi secara resmi dan dari kebiasaan baru di Golkar dalam pemilihan ketua umum. Sejak saat itu, Airlangga menerima pengakuan di atas rata-rata dan menjadi tempat yang nyaman bertemunya kepentingan dari elit dan senior partai Golkar.Â
Dari bawah saya menyaksikan elit dan senior partai Golkar seperti Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Agung Laksono, Luhut Pandjaitan, Lodewijk, Agus Gumiwang Kartasamita, Zainuddin Amali, Nurdin Halid, Azis Syamsuddin, Ibnu Munzir, Roem Kono, Ahmad Doli Kurnia, Yahya Zaini, Maman Abdurrahman dan senior partai lainnya nyaman, menerima, memuji bahkan melindungi kepemimpinan Airlangga.Â
Artinya, dalam konfigurasi elit dan kepentingan di internal partai Golkar, Airlangga merupakan pemimpin visible karena mampu melaksanakan pengaruh dan otoritasnya sebagai ketua umum pada suatu sistem kepemimpinan yang solid dan kepentingan strategis di Golkar.
Dalam struktur kekuasaan elitis-demokratis seperti Partai Golkar, seorang ketua umum pasti akan kesulitan memimpin partai seperti Golkar jika pendekatannya dilakukan secara formalistik. Dalam konteks kepemimpinan Airlangga, terlihat jelas kiprah, komunikasi dan dedikasinya sebagai ketua umum dan sebagai pribadi.Â
Karena kiprah, komunikasi dan dedikasi tersebutlah melahirkan pengaruh kuat di internal. Pengaruhnya yang kuat di Golkar tergambar dari posisinya sebagai Menteri usulan Partai Golkar dalam kabinet pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum Partai Golkar, pendukung tradisionalnya yang tetap setia mendampingi dan dukungan yang didapatkan saat ini sebagai dari DPD I dan DPD II Partai Golkar.
Â
Kedua, Airlangga sukses memimpin Golkar untuk memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam pemilihan Presiden 2019. Partai Golkar merupakan salah satu partai pengusung Jokowi-Ma'ruf Amin dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019.Â
Untuk pertama kalinya setelah reformasi dan pemilihan langsung, Golkar berhasil memenangkan calon yang diusungnya. Notoir feiten, kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin merupakan prestasi bagi Partai Golkar dan Airlangga.Â
Karena sebelumnya, Golkar tidak pernah memenangkan calon Presiden yang diusungnya. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Jusuf Kalla salah satu mantan ketua umum Partai Golkar sering bercanda bahwa kemenangannya dalam Pilpres justru dapat diraihnya saat tidak didukung oleh Partai Golkar.
Â
Tentunya prestasi kemenangan memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin tidak terlepas dari kemampuan Airlangga mensolidkan dan mendisiplinkan kader-kader partai Golkar untuk memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin.Â
Salah satu contohnya adalah pemberhentian Erwin Aksa sebagai pengurus DPP Partai Golkar karena mendukung Prabowo-Sandiaga Uno secara terbuka. Jika saat itu Airlangga tidak berani dan tidak tegas, potensial terjadi kader Golkar lainnya tidak solid untuk memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Â
Berdasarkan keyaninan dan penalaran yang wajar atas peran Airlangga dan Golkar memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin, sebagai pribadi Jokowi pasti melabuhkan dukungannya kepada Airlangga. Karena kita tahu, Jokowi dalam sejarahnya tahu membalas kebaikan dan penghormatan yang diterimanya.
Â
Ketiga, Airlangga memberikan kesempatan pada generasi muda Partai Golkar dan memberikan jaminan kompetisi yang fair di internal Partai Golkar dalam pemilihan legislatif. Pada pemilihan legislatif 2019, generasi muda Partai Golkar diberikan kesempatan untuk mencicipi dan merasakan atmosfir pemilu serentak.
Â
Saya sendiri juga diberikan kesempatan oleh partai untuk maju sebagai calon DPR RI. Kesempatan dan penugasan oleh partai merupakan sebuah kehormatan dan amanah.Â
Meskipun belum terpilih karena finish diurutan kedua di bawah calon petahana Ridwan Hisjam, tidak ada alasan untuk kecewa, apalagi marah kepada ketua umum dan partai. Karena selama mengikuti proses pemilihan legislatif 2019, partai memperlakukan seluruh calon secara demokratis dan fair.Â
Sehingga di beberapa daerah pemilihan, caleg muda Partai Golkar menang di daerah pemilihan dalam usia relatif muda karena iklim kompetisi di internal berlangsung secara demokratis dan fair.Â
Sebut saja beberapa, seperti Puteri Anetta Komaruddin terpilih sebagai anggota DPR RI pada usia 25 Tahun di daerah pemilihan Jawa Barat dan Dyah Roro Esti juga berusia 25 Tahun di daerah pemilihan Jawa Timur. Â
Â
Keempat, Airlangga tenang menyelesaikan masalah dan aktif melakukan konsolidasi ke daerah. Kita menyadari Partai Golkar mendapatkan stigma partai yang korup. Meskipun perbuatan koruptif merupakan tanggungjawab individu, tetap saja efeknya menjalar pada institusi Partai Golkar.Â
Itulah yang terjadi pada saat Setya Novanto, ketua umum Partai Golkar ditetapkan sebagai tersangka kasus KTP elektronik. Partai golkar menjadi bulan-bulanan pemberitaan hingga berefek pada elektabilitas Partai Golkar.
Â
Setelah mengambilalih dan menerima estafet kepemimpinan dari Setya Novanto, Airlangga tampil dengan visi Golkar bersih. Golkar bersih mendapatkan ujian saat Bowo Sidik Pangarso ditangkap tim satgas KPK dalam sebuah operasi tangkap tangan pada 28 Maret 2019, sekitar 2 (dua) minggu jelang pemungutan suara serentak pada Tanggal 17 April 2019.Â
Dengan tenang dan berani, Airlangga mengambil keputusan menonaktifkan agar Bowo Sidik Pangarso fokus dengan kasus dan musibah yang menimpanya.Â
Keputusan yang cepat dan tepat saat itu menghindarkan Partai Golkar terbawa arus pemberitaan negatif yang dapat memberikan pengaruh pada pemilih untuk tidak memilih Partai Golkar.
Â
Konsolidasi partai yang dilakukan oleh Airlangga di awal kepemimpinanya dapat kita bayangkan rumitnya. Selain mempertemukan kepentingan di antara stakeholder internal Golkar, Airlangga juga harus membersihkan residu pertentangan di antara kader dalam berbagai peristiwa politik di Golkar.Â
Saya menilai Airlangga berhasil mengurai satu persatu pertentangan yang timbul dan berhasil membangun sebuah konsensus bersama, seperti dalam pemilihan kader Golkar yang menjabat sebagai Ketua DPR. Itulah titik mula konsolidasi yang bisa kita lihat kasat mata.
Â
Untuk konsolidasi ke daerah, kesaksian ketua DPD Golkar NTT Melki Lakalena dan Sekretaris DPD Golkar Jawa Timur Sahat Simanjuntak menjadi penguat dan bukti bahwa intensitas Airlangga turun ke daerah tidak kalah dari yang dilakukan oleh ketua umum Partai Golkar sebelumnya, Akbar Tandjung dan Abu Rizal Bakrie.
Â
Kelima, Airlangga memiliki kuasa petahana. Mengenai kuasa petahana, dalam setiap momentum politik, penantang calon petahana selalu mengeluhkan penggunaan kekuasaan oleh calon petahana. Tidak usah jauh mengambil contoh, Pilpres yang baru saja selesai, Prabowo-Sandiaga Uno juga mengeluhkan aksesibilitas Jokowi terhadap kekuasaan dan sumber daya negara.Â
Kini, Bambang Soesatyo sebagai salah satu calon ketua umum Partai Golkar juga mengeluhkan hal serupa. Keluhan utamanya adalah ancaman pemecatan terhadap DPD II yang mendukungnya sebagai ketua umum.
Â
Sebagai calon ketua umum petahana, Airlangga potensial menggunakan kekuasaannya untuk mengkondisikan dukungan untuknya. Pengkondisian dukungan akan lebih mudah dilakukan karena sosoknya sudah familiar dalam memimpin partai Golkar, termasuk kinerja, kebijakan dan program yang telah diimplementasikan.Â
Sehingga ruang keterpilihannya dalam pemilihan ketua umum lebih unggul dibanding Bambang Soesatyo. Keunggulan yang dimiliki tersebut dapat juga pada waktu bersamaan menjadi kelemahannya.
Â
Pengkondisian dan penggunaan kuasa sebagai petahana memiliki garis batas. Garis batas tersebut adalah aturan internal partai Golkar dan seruan moral-nilai demokratis dari senior partai Golkar yang dapat menjadi alat dan jaminan pemilihan ketua umum Golkar berlangsung secara demokratis.Â
Airlangga pasti menyadari batas-batas itu sehingga tidak mungkin melakukannya dan Bambang Soesatyo pasti mengetahui aturan internal partai Golkar dan seruan moral senior partai Golkar dapat menjadi instrument mengoreksi dan kekuatan politik jika terdapat penggunaan kekuasaan secara eksesif. Sehingga kesimpulan saya saat ini, kehidupan dan nilai demokratis di Partai Golkar masih terjaga.
Â
 Keenam, Airlangga memiliki track record bersih dan terbebas masalah hukum. Visinya untuk mewujudkan Golkar bersih jadi pendorong keyakinan bahwa Airlangga merupakan sosok yang bersih dan terbebas dari masalah hukum.
Â
Jika kita perhatikan, isu yang dikembangkan secara terus menerus dan dikaitkan dengan Airlangga adalah hanya kasus korupsi proyek PLTU Riau-1. Kasus ini dianggap dapat menjadi penghambat keterpilihan Airlangga dalam pemilihan ketua umum Golkar.
Â
Isu keterlibatan Airlangga dalam korupsi proyek PLTU Riau-1 mendorong saya untuk mencari informasi valid dan kredibel. Akhirnya saya menemukan putusan pemidanaan terhadap Johanes Budisutrisno Kotjo, yakni putusan Nomor: 4/Pid.Sus-TPK/2019/PT.DKI yang memutus Johanes Budisutrisno Kotjo dihukum karena dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi.Â
Di dalam putusan tersebut, tidak terbaca keterlibatan Airlangga dan tidak terdapat fakta yang mengaitkan Airlangga dengan kasus tersebut, apalagi dikatakan menerima uang atau janji dari Johanes Budisutrisno Kotjo. Jadi secara fundamental sebenarnya tidak relevan atau tidak dapat diterima jika Airlangga terus dikaitkan dengan permasalahan tersebut. Â
Â
Fakta Dukungan Terkini
Â
Kini, Airlangga telah mendapatkan 87 persen lebih dukungan dari pemilik suara. Jika kekuatan dukungan tersebut bertambah atau minimum bertahan, Airlangga akan terpilih kembali sebagai ketua umum Golkar secara aklamasi.Â
Jika sebelumnya Airlangga terpilih karena dukungan yang bulat pada Munaslub Golkar 2017, dengan komposisi dukungan yang ada maka proses aklamasi terjadi karena calon ketua umum Partai Golkar lainnya seperti Bambang Soesatyo tidak memenuhi syarat minimum dukungan untuk maju sebagai calon ketua umum Partai Golkar yang mensyaratkan minimum 30% suara.
Â
Akhirnya, dinamika yang terjadi adalah pertarungan kader Golkar dan memiliki tujuan membesarkan partai Golkar. Kehadiran kita semua melibatkan diri dalam pertarungan tersebut pasti akan mendewasakan dan membesarkan Partai Golkar.
Â
Â
Â
Oleh: Ahmad Irawan ( Kader Muda Partai Golkar/ Wakil Bendahara Umum PP AMPG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H