Mohon tunggu...
ARAYRI
ARAYRI Mohon Tunggu... Guru - Adzra Rania Alida Yasser Rizka

Sampaikanlah Dariku Walau Satu Ayat

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Hati-hati Memberi Obat Pada Lansia!

17 Mei 2015   08:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:54 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_418014" align="aligncenter" width="630" caption="Ilustrasi, Lansia (Shutterstock)"][/caption]

Pengalaman sedih menimpa rekan kerja saya. Minggu lalu, dia dapat telepon dari sodaranya di kampung yang memberitakan bahwa ibunya sakit, tidak sadarkan diri, dan masuk ICU (Intensive Care Unit). Segeralah rekan saya itu terbang pulang kampung. Di sana dia dijemput oleh keluarga dan langsung menuju ke rumah sakit. Alhamdulillah pas dia sampai, sang ibu yang berumur 80tahunan sadar, namun masih harus dirawat di ICU.

Sodaranya bercerita bahwa ibu tempo hari datang ke posyandu lansia. Di sana diperiksa, dan ternyata darahnya dianggap bergula darah tinggi, diberilah obat penurun gula darah untuk diminum setiap hari. Setelah diminum beberapa hari sang ibu ngedrop, lemas dan akhirnya berujung di ICU RS. Gula darahnya diperiksa hanya 31. Mengalami penurunan sangat drastis! Sang ibu yang tidak biasa minum penurun gula darah, diberi obat penurun, malah akhirnya ngedrop. Alhamdulillah setelah mendapatkan pertolongan RS, keadaannya berangsur membaik.

Lain lagi cerita Bapak saya. Setiap tahunnya bapak saya yang berumur 70an tahun, melakukan cek kesehatan lengkap. Termasuk dengan tes berlari di treadmill. Beberapa tahun yang lalu, setelah melakukan cek kesehatan, beliau dianggap memiliki kelainan jantung, maka diberilah obat jantung yang harus diminum setiap hari. Setelah obat diminum di hari pertama, malamnya tiba-tiba bapak saya lemas dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Kata Abang saya yang menemani, obat tersebut tidak cocok dengan kondisi darah Bapak. Akhirnya ditambahkan obat untuk menormalkan kondisi darah Bapak.

Kebetulan Bapak saya seorang expatriate yang menetap dan bekerja di luar negeri. Jadi setelah mendapatkan obat tambahan selain obat jantung, esoknya beliau terbang untuk bekerja seperti biasa. Namun di hari pertama kerja, beliau sms saya “Papah lemes”. Saat itu juga saya kaget. Saya bingung kasih saran apa, tetapi harus saya kasih saran, karena beliau jauh dan tidak ada keluarga dekat yang dapat menolong. Ketika itu, saya feeling aja, saya sms balik “Cari air oksi Pah, cepet!”. Alhamdulillah beliau dapat air oksi dan setelah diminum, entah gimana penjelasannya, keadaan membaik.

Bapak saya merasa kedua obat itu tidak cocok dan berakibat badannya lemas. Akhirnya beliau hentikan minum kedua obat tersebut. Kondisi beliaupun berangsur membaik. Untuk maksud baik dan mengingatkan pihak RS, beliau kemudian mengirim surat kepada RS yang bersangkutan sekalian mengembalikan obat jantung yang telah dibelinya untuk 2 bulan. Intinya beliau sampaikan apa yang terjadi pada beliau setelah mengkonsumsi obat tersebut. Beberapa waktu kemudian beliau mendapatkan surat balasan dari RS, yang isinya ucapan terimakasih atas surat yang pernah Bapak saya kirim.

Dua pengalaman yang menimpa rekan dan saya, cukup membuat tegang. Bagaimana tidak. Ketika kita punya orang tua jauh dari kita, lantas mereka tiba-tiba sakit, badan lemas tidak jelas, tentu membuat kita cemas. Untunglah pertolongan cepat diberikan, keadaan membaik. Namun peristiwa itu sebaiknya memberi kita pelajaran. Bagi pihak yang melayani orang sakit dan kita sendiri sebagai pasien.

Lantas bagaimana caranya agar perlakuan pada lansia tepat?

Menurut saya, yang harus dilakukan pertama adalah menginformasikan ciri tubuh, seperti alergi atau sakit yang diderita, kepada dokter. Menurut saya, tiap orang punya ciri tubuh sendiri dalam bereaksi terhadap zat tertentu atau makanan tertentu. Contoh, saya punya alergi penisilin dan sulva. Tentu saya tidak boleh minum kedua zat itu dan harus saya patuhi agar saya tidak cilaka. Kalau bisa dicoba dulu, seperti ketika saya disunat waktu kecil. Dokter mengecek apakah sulvatilamit cocok dengan saya, dengan cara ditabur sedikit di lengan saya, ternyata tidak lama muncul bentol-bentol. Berarti ga cocok. Dokter kemudian menggunakan obat yang lainnya. Kondisi dasar tubuh kita juga harus kita ketahui dan sampaikan kepada dokter, walau ga ditanya. Apalagi untuk lansia, misalnya terkait tekanan darah, kolesterol, jantung, gula darah, dan asam urat. Dokterpun kemudian jadi tahu sehingga perlakuan kepada kita atau para lansia benar dan tepat.

Saya punya pengalaman bagus dengan seorang dokter spesialis penyakit dalam yang baru saya temui untuk meminta pendapat, ketika saya sakit mag. Beliau bertanya, “Biasanya minum obat apa?” Saya katakan saya biasanya pakai obat ini dok, cocok”, jawab saya “Kalau itu cocok dan ga ada keluhan atau efek samping, diteruskan saja”. Beliau lantas memberikan dosis yang menurut dia tepat untuk penyakit yang saya derita, dan untuk jangka waktu tertentu.  Sebaliknya pengalaman jelek menimpa Bapak saya yang menderita gula darah. Beliau disarankan minum obat merek baru, dan ketika diminum beberapa waktu ternyata gula darahnya meningkat. Akhirnya beliau berhenti minum obat tersebut dan kembali ke obat penurun yang biasa dia minum. Gula darahnyapun stabil. Jadi kecocokan atas sebuah obat juga patut kita sampaikan kepada dokter, sebagai bahan pertimbangan.

Kedua, ketika kita punya orang tua yang sudah tua, seyogyanya kita selalu memperhatikan apa yang diminum oleh orang tua kita, termasuk obat-obatan. Sejak peristiwa yang terjadi pada Bapak saya, keluarga mulai cerewet. Setiap orang tua saya pulang berobat, selalu ditanya, “ada obat baru ga?” Sudah dipastikan belum keamanannya?” Memastikan itu perlu. Yang lebih baik yang dapat kita lakukan adalah mendampingi orang tua ketika berobat, jadi kita tahu betul apa yang harus diminum, berapa kali dalam sehari, dihabiskan atau tidak. Info-info dasar seperti itulah yang patut ditaati. Jadi peran kita sebagai yang lebih muda, yang lebih sadar, diperlukan, hawatir orang tua kita lupa.

Yang ketiga, dari pihak yang melayani orang sakit. Diharapkan lebih berhati-hati dalam memberi obat bagi para lansia. Saya cukup yakin para pelayan kesehatan, apakah dokter atau RS, punya prosedur ketika menghadapi orang dengan umur tertentu, seperti ketika menghadapi anak balita, atau orang tua lansia. Saya yakin ada yang berbeda. Contoh ketika saya membawa anak saya yang balita ke dokter, dokter pasti bertanya, berat badan berapa? umur berapa? Kalau berat badan segini, umur segini, berarti dosis obatnya segini, kalau beratnya segitu, umur segitu, berarti dosisnya segitu. Itu contoh sederhana, tetapi bisa menjadi gambaran bahwa ada aturan main yang berlaku agar langkah yang dijalankan benar dan tepat.

Pada intinya, memberi obat bagi para lansia seperti orang tua kita harus hati-hati, memperhatikan dengan seksama kebenaran dan ketepatannya. Kehati-hatian ini berlaku bagi kita keluarga dekat yang merawat dan para pelayan kesehatan. Bagi kita yang masih punya orang tua sebisa mungkin mendampingi mereka ketika berobat, untuk memastikan info yang diberikan ke dokter tentang kondisi orang tua kita tepat dan juga memastikan info dari dokter untuk kita pihak keluarga, betul dan tidak salah dengar. Jika tidak jelas, atau ga yakin telpon aja dokternya. Itu yang dilakukan istri saya tatkala ada dosis obat yang masih tidak jelas yang harus diberikan pada anak yang sakit. Perhatian dan tindakan kita menjadi sebuah rasa peduli, bakti, dan juga kasih sayang pada orang tua kita. Semoga orang tua kita selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan. Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun