Mohon tunggu...
Ahmad Hilmi
Ahmad Hilmi Mohon Tunggu... Guru - Dengan membaca kita mengenal dunia, dengan menulis kita akan dikenal dunia

Saya saat ini mengabdi di sebuah pensanten modern di bilangan Kalianda, Lampung Selatan. Bagi teman-teman yang mau sharing atau sekedar ngobrol-ngobrol, bisa hub no HP saya: 085226360160 atau e-mail: nadahilmi98@gmail.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Taksi Online, Bus Bumel dan Penumpang

15 Maret 2016   12:54 Diperbarui: 13 April 2016   17:02 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingin menuliskan uneg-uneg seputar persaingan bisnis transportasi. Tentu saja pandangan saya ini bukan sebagai pengamat pengamat transportasi, tapi saya mengamatinya dari sisi sebagai konsumen.

Ada dua gambaran nyata yang ada di depan mata saya, dan saya sendiri yang mengalaminya terkait dengan transportasi umum, trayek bus dan taksi online.

Pertama, tentang bus bumel jarak pendek. Kali ini jalur trayek yang saya soroti adalah bus bumel Jogja-Solo. Beberapakali saya melakukan perjalanan dengan bis dari Prambanan (jogja) menuju ke Ngawi. Sebenarnya, jalan Raya Prambanan di lewati oleh beberapa Perusahaaan Otobus (PO). Ada yang hanya jurusan Jogja - Solo PP dan ada juga Jogja - surabaya.

Karena kota tujuan saya adalah Ngawi Jawa Timur, maka seharusnya saya memilih bus dari PO yang jurusan Jogja Surabaya langsung. Sekali naik tanpa pindah-pindah bus lain. Saya pikir ini lebih nyaman dari beberapa sisi. Hemat waktu, hemat tenaga, hemat ongkos. Dan busnya rata-tara armada ber-AC.

Tapi nyatanya, bus Jogja-Surabaya yang melintas di Prambanan tidak mau berhenti dan selalu mengambil jalur tengah. Alasannya sederhana saja, PO Jogja - Surabaya takut dengan tukang ojek yg menjadi 'patner' kerjanya PO PO Jogja-Solo dalam mencari penumpang. Kalau PO PO jurusan Jogja-Surabaya berani menaikkan penumpang di wilayah Pramban, pasti akan terjadi keributan. Karena PO jurusan Jogja-Solo tidak terima dan merasa itu adalah wilayah kekuasaannya.

Kalau saya berpikir sebagai penumpang yang mencari kenyamanan dalam perjalanan, harusnya sah-sah saja dong PO jurusan Jogja-Surabaya menaikkan penumpang di mana pun mereka menjumpai penumpang. Tidak harus dari terminal besar, seperti Giwangan. Karena jalur Jogja-Solo sudah menjadi trayek bersama dan resmi yang berizin.

Sekali lagi, saya sebagai penumpang adalah konsumen yang bebas memilih sesuai selera dan kondisi.

Seharusnya, kalau mau bersaing sehat, PO jurusan Jogja-Solo meningkatkan kualitas pelayanannya yang minimal mendekati kualitas PO Jogja-Surabaya. Sebagai penumpang kan yang kita pilih cepat, tidak kelamaan 'ngetem' nunggu penumpang di hampir setiap tikungan. Kalau PO Jogja- Solo, mereka yang nunggu penumpang datang, bukan penumpang yang nunggu bus datang.

Dari sisi kenyamanan juga, bagi penumpang yang perokok (kadang ngrokoknya gak ngerti kondisi) mungkin asik-asik saja naik bus dari PO jurusan Jogja-Solo, karena mereka bisa leluasa dan bebas merokok di dalam bus. Tapi bagi penumpang yang tidak merokok, naik bus seperti ini bak siksaan, udara panas pengap, penuh asap rokok dan beribu ketidak nyamanan yang lain.

Tapi sayangnya, penumpang tidak bisa memilih. Mau tidak mau, suka tidak suka, ikhlas maupun dongkol, ya kalau mau ke arah solo mesti naik bus Jogja-Solo, tidak boleh Jogja-Surabaya. Ini namanya 'mengkebiri' hak penumpang untuk memilih.

Kesimpulan saya, bus Jogja-Surabaya menarik penumpang dengan kecepatan dan kenyamanan, dan bus Jogja-Solo menarik penumpang dengan paksaan dan kekuatan tukang ojek. Jelas berbeda.

Semoga ada rekan-rekan dari pecinta bus dan angkutan darat yang bisa menjelaskan dan menimpali uneg-uneg saya ini.

Kedua, tentang ribut-ribut masalah taksi OnLine, atau pesan angkutan melalu Daring (dalam jaringan). Katanya sih ini ilegal.

Sekali lagi ini uneg-uneg saya sebagai penumpang, bukan pengamat transportasi.

Beberapa tahun lalu, di Jakarta saya pernah memesan Taksi untuk melakukan perjalanan dari kos ke terminal bus. Kondisi hujan lebat, bawa barang yang cukup banyak, dengan anak bayi dan seabreg kerepotan yang lain. Saya pesan via telfon ke benerapa perusahaan taksi, telfon selalu sibuk, tidak ada yang nyambung. Dan tak ada yang merespon. 

Sekali ada yang merespon kemudian minta alaman kos dan saya diminta untuk menunggu beberapa menit. Menit yang dijadwalkan, taksi tak kunjung datang. Jutru telfon saya kembali berdering dari nomer perusahaan taksi tadi. "Maaf, aramada kami tidak ada yang kosong semua. Untuk pesanan anda terpaksa kami batalkan", kira-kira seperti itu penjelasan dari perusahaan taksi yang sudah menyanggupi pesanan saya. Dogkol banget.

Dan terpaksanya, saya harus berhujan-hujan ria mencari taksi di pinggir jalan dan tak kunjung datang sampai lama.

Saya membayangkannya kondisi saat ini, yang ada layanan pesan kendaraan via Online, mudah dan jelas. Maka tak heran, banyak orang yang mulai tertarik untuk mencoba layanan ini dibandingkan harus bersusah payah seperti kisah saya tadi.

Masalah status ilegal an legal, itu kan tugas pemerintah. Nyatanya, banyak masyarakat yang menggunakannya, berati masyarakat merasa nyaman. Dan harusnya pemerintak tinggal membuatkan saja peraturan yang melegalkan usaha mereka.

Taksi Online merusak dan mematikan perusahaan dan supir taksi yang berijin. Memang benar. Tapi masalahnya, kenapa taksi resmi tidak mau meniru taksi online ini dari sisi pelayanan. Kan mudah saja buat mereka membuat layanan pesan online seperti taksi ilegal yang sudah ada saat ini. Yang ada jutru mereka menuntut pembubaran dan pemblokiran layanan online yang selama ini dijalankan. Ini kan aneh. Ada ide bagus malah diminta untuk ditutup dan diblokir.

Sekali lagi, ini tentang peluang bisnis yang berawal dari kejelian membaca peluang. Kalau pelanggan dan penumpang taksi banyak yang tertarik pesan online, itu artinya penumpang puas, nyaman dan merasa dimudahkan.

 

Nah, akhirnya semua pilihan dikembalikan kepada konsumen. Persaingan itu pasti ada, tapi jangan sampai merugikam penumpang. Pandai-pandai saja membaca peluang.

Walla a'lam.

 

Oleh: Ahmad Hilmi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun