Sebagai orang tua, saya selalu berusaha menjauhkan anak saya dari TV. Saya sadar, tidak mudah "mensensor" acara dan film yang layak untuk anak seusianya.
Sebagai hiburan penggantinya, saya unduhkan dari youtube beberapa film anak yang mengandung nilai pendidikan. Setelah bolak-balik laman yuotube, pilihan jatuh pada dua film, Ipin-Upin dan si Kancil Pada Zaman Dahulu.
Film pertama, Ipin-Upin, nilai pendidikan yang bisa diambil adalah kenaturalan alur cerita dan kesederhanaan tokoh. Cerita jauh dari unsur tahayyul serta tidak ada kesan penggambaran kehidupan glamour. Benar-benar alami.
Film kedua, Pada Zaman Dahulu Si Kancil, adalah cerita fabel (tohoh hewan) yang dikemas dalam narasi kehidupan sekarang. Nilai pendidikan karakter dimasukkan di setiap tokoh binatang. Misalnya, si Kancil sebagai tokoh utama digambarkan sebagai sodok cerdik dan banyak akal. Sekalipun kancil hewan yang tak hebat secara fisik, namun dia selalu punya cara keluar dari perangkap "kejailan" penduduk hutan yang lain.
Namun sayangnya, dua film apik itu bukan produksi anak negri, alias inport dari negri jiran, Malaysia. Jadi, bahasa yang digunakan pun Bahasa Malaysia. Dari seringnya nonton film itu, mau tidak mau, bahasa dan logat bicara anak saya mengikuti logat dan bahasa Malaysia.
Sebenarnya itu bukan masalah serius bagi saya dan anak. Toh komunikasi kami tetap baik. Hanya terdengar "unik" saja ketika itu diperdengarkan oleh teman-teman sepermainannya.
Selanjutnya, ini menjadi kritik bagi pemerintah, bahwa sejauh ini belum ada produk film-film kartun dalam negri yang layak dikonsumsi anak negri sendiri.
Sebenarnya, Indonesia punya banyak animator hebat yang bisa memproduksi film kartun berkualitas. Salah satunya ada Marsha Chikita. Dia orang Indonesia yang ada di team pembuat film Ipin-Upin.
Tapi masalahnya, pemerintah kita dari generasi ke generasi belum ada yang serius menangani film animasi anak layak konsumsi.
Menurut penilaian saya, film anak layak konsumsi minimal memenuhi beberapa kriteria. Pertama, ada pendidikan karakter. Kedua, sederhana dan alami. Ketiga, jauh dari unsur tahayyul dan tidak mengajari hidup glamour. Dan terakhir, unsur bahasa dialog. Sudah semetinya, Bahasa Indonesia yang baik dan benar dijadikan sebagai bahasa dialog.
Di Indonesia, sebenarnya sudah ada film animasi anak. Tapi sayangnya, itu hanya perubahan bentuk dari film dengan pemeran manusia asli yang di-kartunkan. Dan alur ceritanya bukan cerita kehidupan anak.
Jadi, sampai saat ini hanya Ipin-Upin dan si Kancil yang layak menemani anakku di layar komputer.
Oleh: Ahmad Hilmi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H