Tak berapa lama kemudian pintu gerbang dibuka. Di area dalam, seorang pria berpeci putih sudah berdiri dan menanti untuk menyambut kedatangan para anggota komunitas dengan penuh keramahan dan kehangatan termasuk ke Wira. Kepadanya, sang pria berkata sambil menjabat tangannya, "Selamat datang, Saudaraku! Masuklah! Selamat bergabung! Anda sudah aman disini. Silahkan menuju tempat yang sudah disiapkan untuk anda."
Dipandu seorang laki-laki, Wira melangkah masuk ke area dalam shelter sambil berujar dalam hati, "Kartu itu telah menyelamatkanku." Bersamaan dengan langkah kakinya yang semakin jauh melangkah masuk, maka dimulailah babak baru dalam hidupnya. Sebuah fase bertahan hidup yang berat, tak menentu, dan tak ada seorangpun yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
..........
Â
Wira menatap kalender bikinannya sendiri yang digantung di dinding kamarnya. Sudah hampir setahun ia berada di shelter itu dan tidak tahu sampai kapan akan tetap ada disana. Benaknya bergejolak setiap kali terlintas pertanyaan kapankah semua penderitaan dan kesengsaraan itu akan berakhir.
Saat kekalutan dalam dirinya membuncah, ia teringat mendiang sang sahabat. Bak pengelana sesat yang menemukan kembali jalan pulang, kegalauan dalam hatinya berangsur sirna berganti rasa syukur dan lega.
"Terima kasih, Sobat! Tanpamu aku mungkin tidak akan bisa bertahan hingga hari ini," tuturnya dalam hati sambil menengadah ke atas terkenang sang sahabat yang telah berpulang menghadap Sang Maha Pencipta karena sakit beberapa saat sebelum kiamat nuklir terjadi.
(SELESAI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H