Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sobat (2/3)

26 Oktober 2024   09:10 Diperbarui: 26 Oktober 2024   09:10 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Walaupun sempat ragu, Wira akhirnya mantap dengan keputusannya. "Tidak ada salahnya untuk dilakukan." Begitu tutur kata hatinya. 

Sabtu pagi itu, ia pergi bersama sang sahabat ke suatu tempat di daerah Puncak. Dengan mengendarai mobil sang sahabat, Wira yang penasaran berkeinginan melihat secara langsung shelter yang kerap dibicarakan sang sahabat.

Sesampainya di sana, Wira diperkenalkan dengan pimpinan komunitas tersebut. Mereka memanggilnya ustadz meski sebenarnya ia bukanlah benar-benar ustadz. Ia hanyalah seorang muslim biasa yang berusaha mengkaji dan menganalisis fenomena dunia saat ini dari sudut pandang agama. Jika kemudian ia mendapat pengikut, itu hanyalah konsekuensi logis dari diterimanya sebuah pemikiran atau pemahaman di tengah masyarakat.

Baca juga: Sobat (1/3)

Ia mengakui apa yang mereka lakukan adalah legal dan formal. Sebagai organisasi kemasyarakatan, komunitas mereka sudah terdaftar dan mengantongi izin dari pemerintah. Mereka juga sudah melapor ke RT dan RW setempat sejak awal berada disitu. Warga sekitar juga tahu keberadaan dan aktivitas mereka. Semua transparan dan tidak ada yang ditutup-tutupi. 

Meski ada berbagai nyinyiran yang sampai ke telinga mereka seperti julukan orang-orang tidak waras, panitia akhir zaman, dan sekte kiamat, sang ustadz dengan santai menanggapinya. "Itu bukan masalah. Siapapun boleh berpendapat." Ia dan komunitasnya tetap konsisten pada apa yang diyakini.

Dalam perjalanan pulang, Wira dan sang sahabat berdiskusi kembali banyak hal.

Baca juga: Tersenyum

"Mengapa mereka bisa yakin dengan berbagai macam persiapan yang dilakukan?" tanya Wira.

"Eskatologi," jawabnya.

"Apa itu?" timpal Wira.

"Ilmu akhir zaman yang ditinjau dari sudut pandang agama tertentu. Misalnya eskatologi Islam memberikan pandangan dan panduan tentang akhir zaman berdasarkan kitab suci dan petunjuk nabi. Mereka percaya akan hal itu. Itulah sumber kekuatan pendorong dan penggerak utama mereka," paparnya.

"Sebentar. Tadi kau bilang eskatologi ilmu akhir zaman. Adakah hubungannya dengan Dajjal atau hal-hal semacam itu?" imbuhnya.

"Oh iya! Itu salah satu bahasan dalam eskatologi. Terkait perang besar akhir zaman, eskatologi Islam telah membahasnya dan memberikan panduan dan cara dalam menyikapinya," terangnya.

"Jadi mereka melakukan itu menurut perspektif agama. Aku masih tidak percaya ada hal semacam itu sampai aku menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri hari ini," ucap Wira.

"Aku pun dulu begitu. Tak peduli akan hal itu. Sibuk dengan pekerjaan dan duniaku sendiri. Ketika aku mengetahuinya, jelas itu sulit untuk diterima. Bukan karena tidak bisa dicerna oleh logika, tapi lebih karena penolakan terhadap comfort zone yang sudah ada padaku selama ini," jelasnya.

"Aku jadi paham jalan pikiranmu. Wajar saja jika orang-orang tidak menanggapi hal itu. Tapi apakah kita sendiri tidak seperti orang yang paranoid jika berpikiran seperti itu," imbuh Wira.

"Mau dibilang gila juga, aku sih nggak masalah. Itu terserah kata orang. Kalau bahasa sederhananya kita bilang besok mau kiamat nuklir terus bersiap-siaplah, maka responnya akan ada dua sikap diluar yang bersikap masa bodoh. Kebanyakan orang akan bersikap apa yang terjadi biarkanlah terjadi. Sementara sebagian lainnya concern pada pertanyaan what's next jika itu terjadi. Disitulah letak perbedaannya," paparnya.

"Omong-omong, menurutmu seberapa besar kita mampu bertahan setelah bencana itu," tanya Wira.

"Itu tergantung dari sejauh mana persiapan yang kita lakukan. Dan itu tidak lepas dari sikap dan perhatian kita akan hal itu pada hari ini. Kalau di luar negeri, mereka berlomba-lomba membangun bunker. Beda dengan kita yang masih tabu akan hal itu," jawabnya.

"Aku masih penasaran apakah kita bisa selamat dari musim dingin nuklir yang diprediksi berlangsung bertahun-tahun lamanya itu," tukas Wira. 

Sang sahabat mendadak menepikan mobilnya lalu berhenti di pinggir jalan.

"Aku ingin kau menerima ini," ujarnya sambil mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya lalu memberikannya kepada Wira.

"Apa ini? Oh, tidak! Aku tidak bisa menerimanya," seru Wira terkejut saat melihat kartu anggota komunitas tersebut. 

"Hanya itu yang bisa ku lakukan untukmu. Kau tahu, aku tidak pernah memaksamu sejak awal hal ini ku utarakan. Namun kali ini dengan sangat terpaksa aku melakukannya," ungkapnya.

(BERSAMBUNG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun