Kejadian aneh hari itu ternyata tidak berhenti sampai disana. Alin dan si pria sama-sama tidak menyangka akan bertemu kembali setelah tabrakan itu. Pada hari itu juga keduanya bertemu kembali secara formal dalam urusan kerja.
Saat si pria mendatangi kantor Alin, ia diminta untuk menunggu di ruang tamu yang disediakan. Sebagai asisten manager yang bertugas hari itu, Alin lalu mendatangi pria itu. Alangkah terkejutnya mereka berdua saat bertemu kembali. Suasana mendadak canggung seketika. Namun bagaimanapun dalam urusan kerja, mereka harus profesional.
Alin terlebih dulu menyapanya, "Selamat siang. Saya Alin. Ada yang bisa saya bantu?"
Si pria lalu memperkenalkan diri lalu menyatakan maksud kedatangannya. Tenyata itu adalah kantor ketiga yang ia datangi di gedung itu pada hari itu. Di akhir pembicaraan, si pria menyinggung kembali insiden lift yang mereka alami sambil berkata, "Maaf atas kejadian tadi. Saya buru-buru karena sudah mepet dengan jadwal di kantor pertama."
Alin tidak mempersoalkannya. Ia menerima satu bundel map berisi proposal produk dari si pria untuk diserahkan nantinya ke sang atasan. Ia tergelitik saat melihat nama yang tertulis di sampul map. "Elon".Â
"Kok namanya mirip aku ya?" gumamnya dalam hati.
Alin tipe orang yang linear hidupnya. Sekolah, kuliah terus kerja. Akibatnya ia tidak sempat untuk menjalin hubungan yang serius dengan seorang laki-laki pun. Meski usianya kini sudah kepala tiga, ia tidak terlalu ambil pusing dengan status single-nya. Namun dalam hatinya yang terdalam, ia tidak bisa menyangkal akan pentingnya kehadiran seseorang di dalam hidupnya.
Sebulan berselang, Elon mendatangi kembali kantor Alin. Saat jam istirahat kantor, ia sengaja menemui Alin untuk mengucapkan terima kasih karena proposalnya berhasil diterima. Ia juga ingin menyampaikan permohonan maaf atas kejadian waktu itu. Untuk itu, ia bermaksud meneraktir Alin makan siang.
Alin yang tidak menyangka, sulit untuk menolak ajakan itu. Sebenarnya ia ragu karena itu pertama kalinya ia diajak pergi seorang laki-laki. Namun suara hatinya berkata lain. Lagipula, secara etika dan tata krama, sudah semestinya ia menerima tawaran itu.
Sejak saat itu keduanya mulai menjalin hubungan yang intens dan khusus. Meski demikian, masih ada keraguan yang dirasakan Alin. Berbagai pertanyaan muncul di dalam benaknya.
"Apakah ia orangnya? Benarkah ia orang yang ku tunggu-tunggu selama ini? Bagaimana aku tahu jika keyakinanku itu benar?" renungnya.