Setelah beberapa bulan menganggur dikarenakan PHK akibat pandemi, Haris mulai bisa move on dan menentukan langkah yang akan diambil ke depannya. Meski masih dibayang-bayangi kekhawatiran akan merebaknya kembali pandemi, ia telah mantap dengan keputusan yang ia buat.
Ide untuk mengajar di sekolah swasta yang berada dekat rumah mertuanya itu tercetus begitu saja. Tidak semata-mata karena faktor jarak yang dekat tapi karena berbagai macam pertimbangan. Selain usia yang sudah tidak lagi muda, kegiatan mengajar bukan hal yang asing karena berkaitan dengan pekerjaannya dulu.
Haris sadar jika sekolah yang sudah berdiri selama 50 tahun lebih itu, bukanlah tempat yang dapat diandalkan untuk mencari materi. Hal itu disebabkan karena imbalan yang diterima tidaklah seberapa. Namun jika didasari oleh motivasi dan niat yang tulus dan ikhlas, maka semua akan terasa lebih ringan, mudah, dan berkah. Begitu pandangan Haris dan mendapat dukungan dari sang istri.
Pada awalnya Haris cukup terkejut saat mendapati kondisi internal sekolah itu. Kesan awal yang ia tangkap seperti sekolah laskar pelangi di novel best seller-nya Andrea Hirata. Untuk jenjang SMA, masing-masing tingkat hanya ada satu rombel atau kelas saja. Untuk kelas 12, siswanya ada 15 orang. Jumlah itu terbilang lumayan dibanding dengan kelas 10 dan 11 dimana jumlah siswanya masing-masing kelas tidak lebih dari 10 orang.
Selain kekurangan murid, SMA itu juga kekurangan guru. Banyak guru yang keluar karena dipicu oleh pandemi dan berbagai alasan lainnya. Akibatnya jam kosong tidak terelakkan. Fenomena guru rangkap mata pelajaran merupakan hal yang biasa dan tak terhindarkan.
Haris dan sekolah yang saling memerlukan seakan dipertemukan oleh takdir. Kehadirannya di saat genting seperti itu dirasakan besar pengaruhnya dalam mengatasi masalah defisit guru yang terjadi. Bak simbiosis mutualisme, keduanya saling membantu dan melengkapi.
........
Saat bersamaan, istrinya Haris, Mutia, yang mempunyai usaha di dekat sekolah berkenalan dengan Bu Ani. Anaknya Bu Ani, Intan, merupakan salah seorang siswi kelas 12 yang diajar Haris. Saat mengantar dan menjemput sang anak, Â Bu Ani kerap mampir ke tokonya Mutia. Di kesempatan itulah, ia banyak bercerita pada Mutia perihal anaknya dan dirinya sendiri.
Dia mengatakan anaknya tidak bisa diterima di SMA negeri setelah mencoba dua jalur yang berbeda yakni jalur prestasi dan zonasi. Di jalur prestasi, nilainya kalah bersaing dengan peserta lainnya. Selain itu, jalur ini memang banyak dan ketat peminatnya sedangkan kuota yang tersedia hanya 10% atau satu rombongan belajar saja. Sementara di jalur zonasi, ia juga tidak berhasil karena faktor umur yang lebih muda meskipun alamat domisilinya terbilang dekat dengan sekolah.
Intan punya nilai akademik yang bagus ketika SD dan SMP. Di kedua jenjang itu ia bersekolah di sekolah negeri. Diluar itu ia juga punya prestasi dan pernah juara beberapa kali lomba menggambar dan mewarnai saat masih di bangku SD. Begitu pula saat hendak SMA, ia ingin melanjutkan ke SMA negeri. Alasan utamanya adalah faktor ekonomi orangtuanya yang tidak mampu.