Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak-anak Bangsa

21 Agustus 2022   10:17 Diperbarui: 21 Agustus 2022   10:17 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagu Indonesia Raya berkumandang di seantero ruangan dalam aula besar itu, menandai dimulainya rangkaian acara wisuda di universitas tersebut. Hari itu hari yang istimewa dan membahagiakan bagi kami sekeluarga. Aku hadir bersama kedua orangtuaku.

Bersama para wisudawan dan wisudawati lainnya, aku menunggu giliran untuk dipanggil naik ke podium guna menerima seremoni kelulusan. Dengan perasaan excited sekaligus berdebar, tibalah giliranku.

"Bakti Persada dengan predikat cum laude!" panggil si pembawa acara.

Dengan mata berkaca-kaca, Ibu terlihat terharu. Dalam ingatanku, Ibu selalu hadir di setiap acara kelulusan sekolahku namun tanpa didampingi Bapak. Beliau tidak dapat hadir karena dalam masa tahanan. Ini kali pertama Bapak menghadiri acara kelulusanku setelah dinyatakan bebas setahun terakhir.

.......

Sembilan tahun sebelumnya

Tidak ada yang aneh di Sabtu pagi itu sampai ketika datang sebuah mobil dan berhenti di depan rumah kami. Dari dalam mobil itu, turun tiga orang pria berseragam polisi.

Masih cukup jelas dalam ingatanku yang berusia sebelas tahun kala itu. Salah seorang dari mereka menyapaku yang sedang bermain di teras.

"Permisi, Dik. Apa disini rumahnya Pak Bela Negara?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk lalu dia menyuruhku memanggil Bapak. Terkejut dengan yang ku sampaikan, Bapak segera menemui mereka. Ku lihat Ibu tampak tidak tenang. Ia lalu mendekat ke arah gorden seperti hendak menguping pembicaraan Bapak dan tamunya.

Tak lama berselang, Bapak masuk menemui Ibu dan mengatakan sesuatu padanya. Raut wajah Ibu mendadak berubah dan terdiam sesaat. Bapak lalu menghampiriku seraya berkata, "Kakak jaga Ibu, ya."

Kami benar-benar tidak menyangka sejak hari itu kami berpisah dari Bapak. Raut wajah Ibu semakin bertambah sedih saat menyaksikan Bapak digiring masuk ke dalam mobil tahanan. Tangis Ibu tak tertahan saat melepas kepergian Bapak. Meski belum mengerti apa yang sedang terjadi, aku bisa merasakan kesedihan yang dirasakannya.

.......

Bapak dituduh telah melakukan korupsi di tempatnya bekerja. Ia dituding telah menyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki untuk memperkaya diri sendiri sehingga menyebabkan kerugian pada negara. Bukti-bukti telah dikumpulkan dan akan segera diajukan ke meja hijau.

Semua disangkal Bapak. Bagaimana mungkin ia melakukan korupsi sementara apa yang dikerjakannya diketahui dan sesuai perintah atasannya. Lagipula itu merupakan team work. Apa yang dituduhkan itu sangat mengada-ada dan fitnah besar. Untuk keperluan pembelaan, Om Yadi, kakaknya Bapak, telah menyiapkan pengacara untuknya.

Bagi keluarga besar kami, kasus ini dari awal penuh kejanggalan. Bapak seperti sengaja dijadikan kambing hitam demi menutupi permainan kotor dari segelintir elit yang berkuasa. Bapak adalah korban dari birokrasi yang bobrok sehingga dapat dimanfaatkan dengan mudah oleh kelompok atau kepentingan tertentu.

Namun kami tidak berdiam diri dengan ketidakadilan itu. Kami yakin Bapak tidak bersalah karena tidak melakukan seperti yang dituduhkan. Kami akan berjuang terus hingga keadilan itu akan tegak dan kebenaran akan terungkap.

......

Pasca penjemputan itu, hidup kami yang tenang mendadak berubah. Keluarga besar Ibu dan Bapak datang silih berganti ke rumah kami untuk menyatakan simpati dan dukungan. Bagi mereka, Bapak dikenal sebagai pribadi dengan karakter yang baik dan bermoral sejak kecil. Mereka yakin Bapak tidak melakukan hal jahat itu.

Dalam suasana lara itu, Ibu dan aku bersama Om Yadi, mengunjungi ibunya Bapak di Bandung. Saat melihat kami datang tanpa Bapak, beliau seperti sudah punya firasat. Meski sudah agak pekak karena faktor usia, Nenek memahami perihal Bapak tersebut. Ia mengatakan bahwa Ben akan melakukan perjuangan seperti ayahnya dulu. Ia meminta kami bersabar dan tegar dalam menjalani ujian itu.

Bela Negara adalah nama yang diberikan Nenek pada Bapak untuk mengenang Kakek yang gugur dalam pertempuran Bandung Lautan Api. Dengan nama panggilan Ben, Bapak lahir hanya selang sebulan setelah pertempuran yang merenggut nyawa Kakek. Dari genealogi ini, Bapak memang punya darah pejuang. Dengan nama yang disandangnya, Bapak seolah ditakdirkan untuk menjalani itu.

......

Setelah penetapan Bapak menjadi tersangka, kami menaruh harapan besar pada peradilan yang akan digelar selanjutnya. Sebuah persidangan yang adil, obyektif, transparan, dan amanah. Peradilan yang pro dan berpihak pada kebenaran.

Namun yang terjadi benar-benar diluar harapan kami. Persidangan diwarnai oleh berbagai macam kebohongan dan kepalsuan yang dirancang begitu sistematis dan terorganisir. Ini terlihat dari berbagai data fiktif dan manipulatif yang disampaikan, pengakuan dusta dari saksi, dan barang-barang bukti palsu yang disajikan. Semua kebusukan itu dilakukan semata-mata untuk menjerat dan menjebloskan Bapak ke penjara.

Selalu hadir di setiap persidangan Bapak, Ibu merasa kecewa, marah, dan sedih atas kenyataan yang ada. Namun Bapak terlihat begitu tenang seakan pasrah menerima apapun yang akan terjadi. Dengan penuh keyakinan, Bapak berulang kali berkata pada Ibu, "Kebenaran pasti akan terungkap pada waktunya."

.......

Masa awal itu sangat berat untuk dijalani. Kami terpaksa harus pindah rumah. Aku pun ikut pindah sekolah. Di sekolah dan rumahku yang dulu, teman-temanku memanggilku anak koruptor. Saat hal itu ku sampaikan, Ibu tampak marah. Namun ia memberiku pengertian yang kemudian membuatku mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Bapak.

Ibu lalu menasihatiku agar lebih banyak belajar karena sebentar lagi kelas enam. Ibu selalu perhatian pada sekolahku. Berkat beliau, nilai raporku bisa bagus, dapat ranking tiga besar, dan diterima di sekolah negeri. Bahkan aku bisa masuk di salah satu universitas negeri favorit tidak lepas dari perannya.

Di rumah kami yang baru meski sewaan dan tidak besar, Ibu merintis usaha di bekas garasi yang disulap menjadi sebuah salon. Sebagai sumber utama nafkah kami, salon itu dikelola langsung oleh Ibu. Besar harapan kami agar usaha itu dapat berjalan baik karena perhiasan milik Ibu sudah habis diinvestasikan ke dalamnya.

Masa sulit itu sedikit demi sedikit berubah membaik. Kenangan buruk dan menyedihkan itu perlahan-lahan mulai terlupakan. Kami bersyukur mampu melewati itu semua. Jika bukan karena pertolongan dan kasih sayang-Nya, mustahil kami mampu melakukannya.

........

Delapan tahun berlalu. Bapak akhirnya dinyatakan bebas. Mendapat pengurangan hukuman satu tahun dari vonis awal sembilan tahun, Bapak dibebaskan bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia tahun 1997.

Menghirup kembali udara bebas adalah impian bagi setiap warga binaan termasuk Bapak. Saat melangkahkan kakinya keluar, Bapak seakan terlahir kembali. Aku meraih dan mencium tangannya. Ia mendekapku dengan erat sehingga membuatku terharu.

"Maaf, Pak. Kendaraannya cuma motor. Mobilnya masih di showroom," ucapku bercanda dibalas senyuman oleh Bapak.

Di masa awal Bapak kembali, beliau lebih banyak diam di rumah. Beliau hanya keluar untuk pergi sholat ke masjid. Ada perasaan minder dan khawatir dalam dirinya terkait masa lalunya. Beruntung para tetangga tidak berpandangan miring terhadap beliau.

Satu per satu teman Bapak bertambah. Bapak mulai dilibatkan dalam kegiatan di lingkungan rumah. Selain terlibat dalam kepengurusan masjid, beliau juga aktif di sebuah yayasan anak yatim piatu. Melihat Ibu yang maju usahanya, Bapak juga tertarik untuk merintis usaha yang sesuai dengan minatnya.

.......

Saat gerbang besar itu dibuka, Bapak dan aku sontak terperangah melihat rumah itu. Di teras depan tampak seorang wanita sudah menanti kami. Dia lalu mempersilahkan kami masuk dan mengikutinya.

Dari jarak beberapa langkah, terlihat seorang pria tua sedang duduk di kursi roda bersama seorang perawat. Si perawat lalu membisikkan sesuatu padanya. Ia memutar kursi roda pria itu dan mendorongnya ke arah kami.

Tanpa berkata, pria tua itu menjulurkan tangan kanannya yang kaku ke Bapak. Coba menyampaikan maksud pria itu, si perawat berkata, "Terima kasih sudah datang."

Sambil menyentuh tangannya, Bapak berkata, "Sama-sama. Pak Wiryo gimana kabarnya?"

Si perawat menjelaskan jika majikannya terkena stroke sudah dua kali sehingga membuatnya lumpuh dan sulit bicara. Pria tua itu lalu memberi isyarat menepuk dadanya berulang kali lalu membentangkan tangannya ke arah Bapak. Si perawat kembali berkata mewakili majikannya bahwa beliau minta maaf pada Bapak.

"Tidak apa-apa, Pak," jawab Bapak sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.

Pak Wiryo tersenyum ke kami kemudian pamit meninggalkan kami. Saat hendak melangkah pergi, kami dipanggil wanita yang menyambut kami waktu datang. Ia membawa sebuah tas kantong lalu menyerahkannya ke Bapak.

.........

Tiba di rumah, betapa terkejutnya kami saat mendapati isi tas kantong itu. Saat dibuka, isi di dalam kaleng biskuit itu bukanlah yang semestinya.

"Ya ampun!" pekikku.

Ibu juga berseru, "Oh, Tuhan!"

Bapak terperanjat. Berlembar-lembar uang kertas yang masih baru tertumpuk dalam kaleng itu. Dengan suara tercekat, Ibu bertanya pada Bapak.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Pak? Kenapa ada uang dalam kaleng itu? Ibu takut sekali," tanyanya haru.

"Kalau Ibu masih ingat Pak Wiryo, atasan Bapak dulu saat kasus itu terjadi, orang yang Bapak temui tadi. Di rumahnya yang seperti istana, beliau duduk di kursi roda dalam kondisi lumpuh karena stroke. Dengan bahasa isyarat, ia minta maaf pada Bapak. Mendengar jawaban Bapak, ia terlihat lega. Lalu saat hendak pulang, bingkisan ini diberikan. Tampaknya kebenaran itu terungkap sekarang," ungkapnya.

......

Agustus 2008

Sabtu pagi yang cerah itu, aku bersama istri dan anakku, Putri Pertiwi, berziarah ke taman makam pahlawan. Setelah beberapa saat, langkah kaki kami terhenti di depan sebuah batu nisan yang kami cari.

"Ini makam kakek buyutnya Adik. Beliau seorang veteran perang yang gugur demi nusa dan bangsa. Berkat perjuangannya dan seluruh pahlawan lainnya, Indonesia bisa merdeka seperti sekarang. Sebagai generasi penerus, kita tentunya punya tugas," ungkapku.

"Adik tahu gak apa tugasnya," tanya istriku.

"Apa ya, Bun?" ujarnya.

"Melanjutkan perjuangan para pahlawan dengan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan. Bukan begitu, Yah?" katanya.

"Betul sekali. Setiap anak bangsa bisa turut serta dalam pembangunan sesuai dengan perannya masing-masing," ucapku.

Sambil bergandengan tangan, kami meninggalkan tempat itu. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun