Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mirna (1/2)

25 September 2021   10:01 Diperbarui: 25 September 2021   10:02 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam keremangan malam, sebuah mobil SUV merah melaju dengan penuh kehati-hatian menelusuri jalan yang berkelok menembus belantara hutan dan perbukitan di Minggu malam itu. Rintik hujan pun mulai turun dan perlahan tapi pasti berubah menjadi deras. Membuat hawa dingin di dalam mobil semakin terasa menusuk sampai ke tulang sum-sum.

Terdengar suara musik sayup-sayup dari dalam mobil diselingi obrolan antara dua orang penumpang didalamnya. Malam itu, Mirna dan suaminya hendak pulang ke Jakarta setelah menghabiskan waktu akhir pekan mereka di Bandung. Sengaja pasangan pengantin baru itu memilih rute Subang karena selain bosan lewat jalan tol, mereka kepengin suasana yang berbeda. Perjalanan pulang itu menjadi penutup dari rangkaian travelling akhir pekan mereka sebelum Senin menyapa kembali. 

"Next time kita kesana lagi ya, say," rayu Mirna ke suaminya.

"Ketagihan ya?" godanya.

Sesaat kemudian mobil itu mendekati sebuah tikungan tajam yang mengarah ke kiri. Masih asyik ngobrol, Mirna memperhatikan pemandangan janggal di depannya. Dengan samar tersorot oleh lampu depan mobil, ia seperti melihat sesosok wanita yang berada di tengah jalan hendak menyeberang ke sebelah kiri ruas jalan. Dengan spontan ia berteriak, "Awas!"

Sang suami yang panik segera membanting setir ke kanan. Kondisi jalan yang basah akibat hujan, membuat mobil tak mampu dikendalikan dengan baik. Mobil yang lepas kendali menjadi oleng lalu menerabas beton pembatas pinggir jalan sebelum akhirnya terjun bebas ke persawahan yang ada di bawahnya. "Brak!" Mobil mendarat dalam posisi terbalik. Kondisi mobil rusak berat dengan alarm yang masih meraung-raung dan lampu depan tetap menyala untuk sekian lama menanti untuk ditemukan.

Dengan napas tersengal-sengal, Mirna terbangun dari tidurnya. Mimpi itu terulang kembali. Jam dinding di ruang itu menunjukkan pukul 01:35. Sambil mengusap mata, ia duduk di tepi tempat tidur. Mengingat mimpi itu, sontak rasa takut menjalar dalam dirinya. Dengan tangan gemetar, ia meraih segelas air dan beberapa buah pil di meja kecil samping tempat tidurnya lalu meminumnya. Berusaha untuk tidur kembali, ia meringkuk di bawah selimutnya di malam dingin dan lembab itu.

........

Peristiwa itu terjadi sekitar enam bulan lalu. Kecelakaan maut itu torehkan duka yang mendalam bagi Mirna dan keluarga yang ditinggalkan. Baru tiga bulan menikah, tanpa pernah disangka ia harus berpisah dengan sang suami tercinta untuk selamanya.

Suaminya sudah tak bernyawa saat ditemukan petugas medis beberapa jam pasca kejadian tragis itu. Akan tetapi, Tuhan berkehendak lain terhadap Mirna. Dalam kondisi medan yang berat karena TKP berada di lembah ditambah hujan yang deras, ia ditemukan masih bernyawa dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan. 

Walaupun sempat mengalami koma beberapa hari tapi takdir berkata lain. Seperti mukjizat, Mirna berangsur sadar dan mampu melewati fase kritisnya. Hari-hari selanjutnya kondisinya terus membaik. Para dokter dibuat heran dan tak percaya dengan progress yang terjadi padanya. Semula mereka pesimis akan kesembuhannya. Mengingat ada pendarahan di selaput otaknya akibat benturan keras yang ia alami dalam kecelakaan mobil itu.

Pada titik itu vonis mati sebenarnya sudah layak disandang Mirna. Namun para dokter tidak menyerah dan berusaha melakukan apapun untuk menolongnya. Saat itu harapan para dokter satu-satunya adalah operasi otak. Namun pilihan berat itu pun harus mendapat persetujuan dari keluarga Mirna karena risikonya sangat besar meskipun operasi itu berjalan dengan baik.

Melihat perkembangan Mirna yang terakhir, seperti menjungkirbalikkan semua diagnosis dan analisis ilmiah yang dianut oleh dunia medis. Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan menghendaki. Kini mereka percaya apa yang terjadi pada Mirna adalah sebuah takdir.

Dalam perkembangannya kemudian, Mirna dinyatakan sembuh total menurut hasil lab sekaligus meralat diagnosis awal yang dulu pernah dibuat para dokter. Meski demikian, fisioterapi dan konseling masih diperlukan baginya untuk beberapa bulan ke depan agar dirinya benar-benar sembuh dan normal kembali seperti semula baik secara fisik maupun mental.

........

Sebulan lebih telah berlalu sejak peristiwa kecelakaan naas itu. Ditemani ibunya, Mirna berziarah ke makam sang suami pagi itu. Sudah lama ia ingin melakukan itu namun kondisinya belum memungkinkan. Akhirnya hal tersebut baru bisa terlaksana hari itu.

Berpakaian serba hitam dan mengenakan kerudung, ia berjongkok di dekat pusara sang suami. Lalu menaburkan sekantong bunga dilanjutkan dengan menuangkan sebotol air sebagai tradisi yang umum dilakukan para peziarah. Ritual tabur bunga dan air yang berkembang di masyarakat itu, merupakan ungkapan kasih sayang dan perhatian kepada si ahli kubur dari si pelayat.

Ia memandang ke arah nisan dengan tatapan kosong. Tak mampu menahan haru, air matanya jatuh berderai. Terdengar samar-samar ia seperti memanjatkan doa sambil sesekali mengusap matanya yang basah. Tak tinggal diam, Ibu yang berada di sampingnya, mengelus bahu anak semata wayangnya itu dengan sepenuh hati berusaha untuk menguatkan dan menghiburnya. Tak lama kemudian keduanya pergi meninggalkan tempat itu.

Ibu orang yang terdekat dengan Mirna setelah ia berpisah dari Ayah. Perpisahan itu terjadi saat Mirna masih berumur sekitar lima tahun. Sebagai anak tunggal yang dibesarkan tanpa kehadiran sang ayah, curahan kasih sayang yang diperoleh Mirna dari Ibu tidaklah kurang. Itu sebabnya ia sangat berat berpisah dari Ibu ketika ia sudah berumah tangga dan memilih tinggal di apartemen bersama suaminya.

Hingga saat ini, Mirna tidak terlalu paham alasan Ibu berpisah dari Ayah. Ia hanya menduga ada indikasi kekerasan dalam rumah tangga meski hal itu tidak pernah Ibu akui secara eksplisit. Ia pun tidak ingin menyakiti hati Ibu dengan mengungkit kembali masalah itu. Meski begitu hubungan Ibu dan Ayah masih berjalan baik hingga saat ini. Saat peristiwa kecelakaan Mirna dan suaminya terjadi, dengan sigap Ayah langsung datang menjenguk dan membantu mengurus berbagai keperluan.

Menyadari beratnya cobaan yang menimpa sang anak, dengan setia Ibu mendampinginya di masa sulit itu. Mirna diminta untuk bersabar dan tabah menjalani cobaan tersebut. Serta selalu berserah diri dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena semua yang terjadi pada setiap manusia pada hakikatnya tidak lepas dari takdir yang telah ditetapkan-Nya. Untuk itu, ia diharapkan dapat menerima dan selalu berbaik sangka atas apa yang terjadi padanya terlepas itu baik atau buruk.

.........

Pagi itu, Mirna mulai bekerja kembali. Setelah cuti hampir dua bulan akibat kecelakaan tragis ditambah lagi proses pemulihan diri, kini ia betul-betul sudah merasa siap untuk beraktivitas kembali. Namun bukan hal mudah untuk membangkitkan kembali dirinya yang sempat down berat. Butuh perjuangan dan tekad yang kuat dan bulat untuk melakukan hal itu.

Walau berat kehilangan suami, tetapi "life must go on". Begitulah "mantra" yang selalu didengungkan dari beberapa kali konseling yang pernah ia ikuti. Dirinya harus diyakinkan berulang kali untuk merelakan apa yang sudah terjadi. Karena itu lebih baik dan damai baginya. Mengurangi beban berat dan menghilangkan stres hebat pada dirinya. Dan yang terpenting kehidupannya bisa normal kembali.

Bak atlet peraih medali di olimpiade yang baru pulang ke tanah air, ia merasa gembira sekaligus terharu dengan sambutan dari rekan-rekan sekantornya. Dengan sesenggukan, ia menyampaikan terima kasih atas dukungan dan perhatian yang diberikan padanya selama ia berkabung. Dan berharap semoga ia dapat kembali melakukan tugas dan pekerjaannya dengan baik dan profesional.

"Welcome home ya Mir," sambut Santi sambil cipika-cipiki.

"Terima kasih, San," jawab Mirna sambil menyeka air matanya yang sesekali masih terurai.

"Good to see you back," ucap Santi sambil mengantar Mirna ke meja kerjanya.

"Me too," ujar Mirna sambil memperhatikan sekuntum mawar dan selembar kartu ucapan di atas mejanya.

Mirna tersenyum lalu berkata, "Kau memang sahabat terbaikku. Thanks a lot."

"It's okay, dear. Selamat bekerja kembali," imbuhnya sembari berjalan kembali ke meja kerjanya.

Santi adalah sahabat seperjuangan Mirna dalam urusan kerja. Mirna sudah mengenalnya sejak awal ia masuk kerja. Sebelum lulus kuliah, Mirna sudah magang di perusahaan penerbit itu. Jerih payahnya terbayar kemudian saat ia diterima dan bekerja secara penuh. Dalam empat tahun karirnya, beberapa pos pernah ia singgahi sebelum ia menempati bagian marketing dan promosi seperti saat ini.

Perlahan tapi pasti, Mirna menemukan kembali ritme kerjanya. Sebagai asisten kepala bagian, ia mampu melaksanakan apa yang diinstruksikan atasannya dengan baik. Meski awalnya sang atasan sempat khawatir terhadap kinerja Mirna pasca cuti panjang itu namun kini ia bisa bernapas lega. Ia tahu Mirna tetap bisa diandalkan karena dari dulu pekerjanya memang bagus. Tanpa segan ia menyatakan kepuasannya dan memuji Mirna secara langsung atas kinerjanya itu.

.......

Sebulan berlalu sejak bekerja kembali, Mirna tampak enjoy dengan fase hidupnya yang baru. Dengan menyibukkan diri bekerja, pelan tapi pasti ia sudah dapat move on dari tragedi memilukan yang ia alami dan secara tragis telah menewaskan sang suami. Kesibukan harian telah membantunya dalam mengusir kesedihan dan kemuraman yang kerap datang sewaktu-waktu tanpa disadari.

Pagi itu, seperti biasa ia ke kantor dengan mengendarai mobilnya. Sesekali ia mengucek kedua matanya. Seperti ada garis-garis putih samar-samar dalam penglihatannya. Kondisi itu muncul tidak lama setelah ia diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Namun ia tak begitu ambil pusing dan tidak memeriksakan diri ke dokter. Saat mobil berhenti di perempatan lampu merah, ia segera mengamati kedua matanya di spion dalam mobil sambil bergumam, "Sepertinya tidak apa-apa."

Secara spontan ia lalu menguji matanya dengan coba memperhatikan beberapa tulisan yang berada agak jauh dari mobilnya. Dengan terkejut ia berseru, "Ya ampun! Penglihatanku sepertinya semakin buruk saja. Mungkin sebaiknya aku segera memakai kaca mata."

Di meja kerjanya, Mirna tampak serius menatap laptopnya. Baru pukul 09:35, tiba-tiba terdengar suaranya. "Aduh! Muncul lagi!" keluhnya sambil meringis dan memegang kepalanya. Terasa ruangan di sekelilingnya seakan berputar. Sambil menahan rasa sakit, ia memejamkan matanya lalu menundukkan wajahnya beralaskan kedua lengannya di atas meja untuk beberapa saat.

Bukan kali pertama hal itu terjadi. Gejala itu mulai sering ia rasakan sebulan terakhir. Datangnya tidak menentu bisa kapan pun dan dimana pun. Seperti yang terjadi di kantor pagi itu. Awalnya ia anggap itu seperti sakit kepala biasa saja yang mungkin disebabkan masuk angin atau telat makan. Namun semakin lama, malah semakin sering dan parah.

Meski demikian, rasa sakit itu tidak berlangsung lama dan dapat hilang dengan minum obat sakit kepala. Itu sebabnya sekarang kemana-mana ia selalu membawa serta obat sakit kepala. Merasa teratasi, ia menganggap tak perlu repot lagi untuk periksa ke dokter. Namun untuk penglihatannya, ia berencana akan menemui dokter mata suatu hari nanti.

Sesaat setelah "serangan" mendadak itu mereda, Mirna melanjutkan kembali aktivitasnya seakan tidak terjadi apa-apa. Baginya pekerjaan yang pertama dan utama. Begitu keras kemauannya agar tidak mengecewakan atasan dan rekan-rekannya. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan kembali padanya. Untuk itu, ia akan melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan profesioanal. Sekaligus ingin membuktikan bahwa dirinya masih bisa seperti dulu lagi.

.......

Setelah seminggu berkutat dengan pekerjaan, weekend yang ditunggu itu akhirnya tiba. Dengan semangat thanks god is friday, benaknya sudah dipenuhi dengan berbagai hal yang menanti untuk segera dieksekusi. Sepulang kerja, ia langsung memacu mobilnya menuju ke sebuah mal Jumat sore itu.

Selain belanja keperluan rumah, beberapa gerai pakaian tampak ia kunjungi dengan antusias. Tanpa terasa hampir jam sembilan saat ia melihat hp-nya. Puas setelah selesai menyalurkan hasratnya, ia pulang dengan membawa satu troli barang belanjaan.

Melaju keluar dari mal tersebut, Mirna memacu mobilnya dengan santai. Tak ada yang ia kejar. Pulang tinggal istirahat. Makanpun sudah sewaktu di food court tadi. Besok tinggal menikmati weekend. Pikirnya sambil mencari gelombang radio yang sesuai mood-nya saat itu.

Setelah berbelok beberapa kali, kondisi jalan mulai agak lengang. Tampak sorot lampu sebuah mobil di belakangnya terpantul jelas di kaca spion dalam dan juga luar. Sambil memperhatikan dengan saksama, ia berujar, "Bukankah itu mobil yang tadi?"

Meskipun malam, ia dapat mengenali mobil van itu karena saat antre keluar dari mal tadi, mobil itu berada persis di belakangnya. Dengan risau ia bertanya dalam hati, "Mungkinkah mobil itu mengikutiku dari tadi?" Seketika ia langsung membantah dugaan itu. "Mungkin saja kebetulan ia searah denganku."

Lama kelamaan kecurigaan itu bukannya hilang tetapi malah kian bertambah. "Apakah ini hanya perasaanku saja?" gumamnya sambil memperhatikan kembali kaca spionnya. Mobil van itu tampak konsisten dalam menjaga jarak dan terus membuntutinya.

"Oh, gimana ini?" ungkapnya panik.

Tak disangka laju mobilnya terpaksa terhenti karena lampu lalu lintas. Dengan cemas ia menoleh ke arah belakang. Terlihat sangat jelas mobil van itu berada persis di belakang mobilnya. Jantungnya berdegup kencang. Dadanya naik turun. Napasnya terengah-engah. Tampak jelas perasaan takut meliputi dirinya.

Tak berapa lama rintik hujan mulai turun. Membuat suasana semakin mencekam.Begitu lampu berkedip hijau, ia langsung tancap gas bak pembalap dalam balapan F1. Mirna lalu memacu mobilnya sengebut mungkin menjauh dari kejaran mobil penguntit itu.

Untuk beberapa saat mobil itu menghilang. Merasa aman, ia mengurangi kecepatan mobilnya. Namun tiba-tiba mobil itu muncul kembali di belakang dalam jarak yang agak jauh. Terkejut mengetahuinya, ia berusaha mempercepat kembali laju mobilnya karena sedikit lagi sampai ke apartemen.

Mobil city car itu berbelok ke kiri masuk ke area apartemen. Sambil membuka kaca mobilnya, Mirna melihat ke satpam yang sedang berjaga lalu menoleh ke belakang. Mobil van itu tampak berjalan pelan seakan mengamati mobil Mirna kemudian berlalu mengambil arah lurus. Mirna menarik napas lega dan langsung menuju gedung khusus parkir penghuni apartemen.

Keesokan pagi, Mirna langsung menelepon ibunya lalu menceritakan peristiwa tersebut. Ibu mendengarkan dengan saksama dan menyatakan kekhawatirannya. Menurutnya, mungkin Mirna sedang lelah sehingga tidak heran merasa seperti itu. Ia berpesan agar jangan terlalu memorsir diri dalam bekerja. Ibu juga menyarankannya untuk cek ke dokter agar tahu kondisi dirinya secara medis. Di akhir obrolannya, Ibu berharap dan berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun