Kabar itu sengaja belum Evi sampaikan ke sang suami. Ia cenderung mengabarkan langsung ke Roy saat di rumah ketimbang meneleponnya. Sore itu, secara tak lazim Evi menyambut Roy yang baru pulang kerja. Dengan wajah berbinar, ia menceritakan apa yang tadi disampaikan Martha disaat yang begitu ia nantikan. Martha datang seakan menjadi pertanda baik bagi berakhirnya permasalahan Erika yang telah berlarut-larut hingga kini.
Mendengar kabar itu, Roy yang merasa suntuk seharian di kantor, mendadak berubah suasana hatinya. Ia tersenyum dan mengucap syukur. Evi menangkap isyarat bahwasanya sang suami menerima usulan itu. Baru saja Evi hendak memastikan hal itu, Roy keburu berkata dengan antusias, "Apalagi yang kita tunggu, Ma! Sekarang kita tinggal bicara ke Erika."
Paham dengan sifat suaminya seorang birokrat yang selalu berpikir praktis dan taktis, Evi tidak terlalu heran dengan jawaban tersebut. Sambil menyuguhkan secangkir teh manis, ia berkata, "Ya, betul, Pa. Semakin cepat semakin baik. Karena mereka menunggu jawaban kita."
Mendatangi kamar Erika, Roy dan Evi lalu bicara kepadanya sore itu juga. Dengan penuh kehangatan, keduanya menghampiri Erika yang tampak mulai berubah fisiknya karena mengandung. Mereka mengutarakan hal tersebut secara terbuka dan komunikatif. Erika tampak berat menerima ide tersebut. Ia membayangkan bagaimana mungkin menikah dengan orang asing yang tidak dikenal dan tak tahu menahu tentangnya.
Dengan sabar keduanya mendengarkan argumen Erika. Keduanya lalu balas berargumen dengan mengatakan, "Saat ini tidak ada pilihan lain. Dengan terpaksa langkah ini diambil semata-mata demi menyelamatkan si bayi dan nama baik keluarga. Mama dan Papa memahami perasaan Erika tersebut. Namun jika kesempatan ini tidak diambil, maka kita jauh lebih rugi. Tak hanya status Erika tapi juga bayinya. Keduanya tidak ada kejelasan."
Akhirnya, walaupun hatinya masih sulit menerima penjelasan itu, namun akalnya tidak bisa menyangkal kenyataan tersebut. Setelah Erika mengakui usul itu meski secara tersirat, Mama dan Papa langsung melakukan gerak cepat. Tanpa menunda lagi, malam itu juga Evi mengontak Martha memberitahukan bahwa keluarganya menyetujui usulan itu. Dan akan mendiskusikan lebih lanjut perihal rencana pernikahan yang akan segera diperhelat.
Sementara itu, Roy mulai mencari-cari penghulu yang akan dimintai bantuannya. Menentukan tempat yang akan dipakai untuk acara. Juga menyiapkan keperluan akad nikah dan resepsi meski dalam skala kecil karena masih dalam kondisi pandemi sehingga harus mengikuti ketentuan prokes yang berlaku.
......
Malam itu juga Dika dikabari Herdi yang telah dihubungi pihak keluarga perempuan dan mendapat respons positif tentang rencana pernikahan itu. Kepada Herdi, mereka meminta waktu pernikahan diselenggarakan hari Sabtu dua minggu lagi. Sekarang Herdi ingin menanyakan lebih lanjut hal itu pada Dika. Bagi Dika tidak ada masalah. Ia menyatakan siap di waktu tersebut.
Bak pelari sprinter, tongkat estafet itu terakhir diterima oleh Ibunya Dika, Sinta. Dika menelepon sang Ibu keesokan paginya. Mengabarkan bahwa dirinya akan menikah dua minggu lagi. Kaget bukan kepalang, Sinta sama sekali tidak percaya apa yang ia dengar. Malah menganggapnya bercanda.
Tidak menyalahkan reaksi Ibunya, Dika menanggapi santai saja. Ia berkata, "Ya, sudah. Nanti Ibu tinggal terima saja undangannya. Secepatnya nanti di-share."
Mendengar hal itu, Sinta baru menganggapnya serius. Dika memaklumi perasaan Ibunya karena kabar itu datang begitu mendadak. Ia pun mulai bercerita tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Sinta menyimak penuturan Dika yang panjang lebar dengan saksama. Sesekali ia bertanya dan langsung dijawab Dika dengan tuntas.
Sinta tidak menyalahkan jika Dika memutuskan untuk menikah meski kondisinya tidak lazim seperti itu. Namun ia masih belum bisa percaya anaknya itu dengan sukarela mengambil langkah yang tidak mudah itu. Jelas muncul perasaan khawatir dalam dirinya lantaran keputusan itu sangat riskan dan berisiko besar.
Tapi ia pun menyadari jika Dika memang dihadapkan pada pilihan yang serba salah. Anggap saja Dika menolak tawaran itu. Apakah nanti hidupnya akan tenang dan dapat melupakan semua itu? Apakah tidak mungkin muncul rasa penyesalan sepanjang hidupnya di kemudian hari karena tidak menerima tawaran itu? Ataukah malah justru sebaliknya. Pilihan inipun juga sama riskan dan risikonya. Dan pada akhirnya, hal itu seperti takdir yang sulit dihindari dan harus dijalani Dika.
Bukanlah Dika jika sudah memutuskan sesuatu, pantang baginya menjilat ludahnya sendiri. Itu sudah jadi prinsip hidup yang ia pegang. Dengan segenap hati, ia meyakinkan ibunya. Dika yang sudah bertekad bulat, mengharap doa restu dari sang Ibu. Juga mengharapkan kehadiran Ibu dan adiknya di hari dimana ditunaikannya janji diri sepenuh jiwa dan hati.
Tak ada alasan lagi bagi Ibu untuk tidak mendukung sang anak. Baginya, Dika telah melakukan sesuatu yang baik, Â besar, dan berani. Dengan sadar dan rela, Dika berkorban demi kepentingan orang lain dalam rangka menyelamatkan kehormatan dan harga diri mereka. Ibu bangga dengan keputusan dan keberanian anaknya itu. Ia selalu mendoakan yang terbaik bagi Dika seperti yang telah ia lakukan selama ini. Tak sabar rasanya ia ingin menyaksikan sang anak duduk di pelaminan tanpa pernah ia sangka semendadak ini sebelumnya.
.....
Sudah hampir dua minggu Tomi berada di rumah sakit. Ia dalam masa pemulihan pasca operasi bahu dan paha yang ia jalani sebagai akibat dari kecelakan motor tunggal yang dialaminya. Selama masa pemulihan itu, ia ditemani oleh Bi Umi, seorang kerabat yang sengaja didatangkan dari kampung untuk merawat dan mengurus keperluan Tomi selama di rumah sakit. Meski bekerja, Herdi dan Martha menyempatkan diri setiap hari mampir menjenguk Tomi.
Hari ke hari, Tomi menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Seperti biasa para dokter melakukan evaluasi berkala setiap akhir pekan. Berdasarkan hasil diagnosis, sistem sarafnya baik sensorik maupun motorik sudah kembali normal walau belum seratus persen. Secara keseluruhan kondisi Tomi jauh lebih baik. Untuk itu, Tomi diperbolehkan pulang seminggu lebih cepat dari jadwal semestinya. Menurut dokter, pemulihannya bisa terus dilanjutkan di rumah. Guna pemulihan sepenuhnya, ia disarankan melakukan fisioterapi setidaknya sebulan sekali di klinik yang dirujuk.
Bersama Herdi dan Martha serta Bi Umi, Tomi pulang ke rumah. Di rumah, ia mulai jalan tanpa tongkat dan merasa jauh lebih baik. Namun ia diingatkan dokter untuk tidak memorsir diri dengan berjalan terlalu jauh atau beraktivitas terlalu berlebihan. Bahu kanannya sudah tidak lagi memakai selempang. Gerakan bahunya juga sudah luwes seperti biasa. Ia sudah mampu mengangkat barang namun belum boleh yang berat. Bahkan untuk gerakan tangan yang halus seperti menulis, sudah bisa ia lakukan.
Suatu kali, Bi Imah, pengasuh Tomi dulu, menelpon Tomi. Ia tahu jika Tomi sudah pulang dari adiknya yang masih di Jakarta. Di video call, ia menanyakan kabar secara langsung ke Tomi. Tomi senang sekali ditelepon Bi Imah yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Ia bersyukur dirinya diberi kesehatan dan kepulihan seraya menunjukkan bahu kanan dan kaki kirinya yang sudah normal kembali.
Bi Imah bahagia mendengar kabar itu. Tanpa terasa air matanya menetes saat melihat Tomi bersama Bi Umi yang masih mendampinginya untuk beberapa waktu ke depan. Saat ditanya kapan ia mau main ke Tomi, Bi Imah tidak bisa berjanji tetapi kalau ia sehat dan kuat, ia akan mengunjungi Tomi suatu hari nanti.
Kembali ke kamarnya setelah sekian lama ditinggal, Tomi seolah terlahir kembali. Menyaksikan hp-nya tergeletak di meja, ia terkenang saat hari naas itu. Hp itu sengaja tidak dibawanya saat peristiwa itu terjadi. Ia lalu berpaling ke salah satu sisi dinding kamarnya. Entah bagaimana helm racing putih itu sudah tergantung lagi di dinding tersebut. Helm itu menyimpan kenangan tragis nan traumatis sekaligus berjasa besar melindunginya dalam insiden itu. Ia tetap membiarkannya berada disitu. Biar menjadi saksi bisu musibah yang pernah ia alami.
Malam itu kali pertama Martha ke kamar Tomi setelah ia kembali dari rumah sakit. Setelah mengetuk pintu kamar, Martha lalu masuk. Ia merasa ini waktu yang tepat untuk menyampaikan perihal itu kepada Tomi. Sempat ingin merahasiakannya, Martha berubah pikiran setelah berdiskusi dengan Herdi. Menurut Herdi, Tomi berhak tahu apa yang terjadi pada Erika. Dan ia juga perlu tahu bahwa masalah Erika itu sudah diselesaikan. Tujuannya agar ia bisa tenang dan melanjutkan hidupnya tanpa beban dan bayang-bayang masa lalu.
Wajah Tomi sontak berubah saat Martha bercerita dan menyebut nama Erika. Dengan sepenuh hati, Martha mengatakan, "Mama dan Ayah sudah mengetahui hal itu. Tapi Tomi tidak perlu khawatir lagi. Ayah dan Mama sudah mengatasinya. Yang lalu biarlah berlalu. Saatnya buka lembaran baru. Oke, Tom?"
Mendengar penjelasan Mama itu, Tomi hanya diam dan hanya manggut-manggut saja. Sebelum kecelakaan naas itu, sebenarnya ia sangat ingin persoalan itu segera berakhir. Namun ia sendiri tidak punya solusinya. Kini ia sadar, tragedi yang menimpanya itu, secara tak langsung telah menyelamatkannya sekaligus mengakhiri persoalan itu untuk selamanya.
Martha lalu melanjutkan, "Nah, yang perlu Tomi lakukan saat ini adalah fokus saja pada urusan pemulihan kesehatan dan sekolah. Oh, iya! Mama dengar Tomi mau kuliah di luar negeri, ya?"
"Rencananya gitu, Ma. Tapi tergantung Mama mau ngasih izin atau gak," jawabnya.
Dengan nada bercanda, Martha berujar, "Kalau Mama gak kasih izin, kira-kira kamu ngambek gak?"
Tomi yang tahu Mama sedang bercanda, lantas tersenyum. Martha yang sempat merasa akan kehilangan anak semata wayangnya itu, lalu merangkulnya dengan penuh rasa sayang seorang ibu. Ia merasa bersyukur sang anak sudah sehat kembali dan diberi kesempatan untuk bersama lagi.
.......
Tibalah hari yang dinantikan itu. Sudah selayaknya sebuah pesta dirayakan dengan meriah. Namun yang terjadi sebaliknya. Tak ada keramaian. Tak ada ingar-bingar musik. Tak ada meja-meja prasmanan yang penuh makanan. Tak ada dekorasi dan pelaminan yang gemerlap. Tidak ada yang spesial. Sama sekali bukan seperti sebuah hajatan pernikahan. Maklum semuanya terpaksa mengikuti ketentuan prokes yang diberlakukan karena pandemi.
Di pintu masuk ballroom hotel itu, para tamu disambut sebuah papan bunga tidak terlalu besar memuat nama kedua mempelai yang sedang melangsungkan hajatannya.Â
Pernikahan:
Dika Rahardi
(putra Alm. Bapak Purwadi dan Ibu Sinta Kamila)
dan
Erika Nila Sari
(putri Bapak Roy Arifin dan Ibu Evi Pertiwi)Â
Acara pernikahan itu digelar secara tertutup dan terbatas. Menyikapi kondisi itu, suatu waktu, Roy pernah berseloroh kepada istrinya, "Untung saja ada pandemi. Seolah sesuai dengan keadaan yang menimpa kita sekarang. Ini mungkin yang disebut hikmah dibalik musibah."
Menerapkan prokes ketat, setiap orang terlebih dulu diukur suhu tubuhnya dan wajib memakai masker. Tak lebih dari 30 orang yang hadir di acara itu. Selain keluarga pengantin, penghulu, pegawai KUA, juga terlihat Herdi, Martha, beberapa teman geng Dika, dan undangan pilihan dari Roy dan Evi. Kehadiran Herdi jadi penting karena ia didaulat menjadi wali dari Dika untuk menggantikan bapaknya yang sudah tiada.
Tepat jam 9, akad dimulai. Kedua mempelai yang berpakaian serba putih jadi pusat perhatian para hadirin. Dika tampak sedikit tegang namun ia sudah berlatih sebelumnya. Meski demikian, ia tetap saja grogi di acara sebenarnya. Erika terisak saat Dika mengucap akad dengan mantap. Lalu dinyatakan sah oleh saksi. Perasaan haru tak dapat Erika sembunyikan saat prosesi selanjutnya ia jalani.
Kedua pengantin tampak bahagia dikelilingi orang-orang terkasih dan terdekat. Sinta tampak tak kuat menahan haru sepanjang perhelatan berlangsung. Teringat pada mendiang sang suami. Ia coba kuatkan diri sambil menggenggam tangan Dinda yang berada di sebelahnya. Air mata bahagia tak terbendung menggenangi kedua matanya siratkan ungkapan hatinya yang terdalam.
Tak jauh beda dengan Evi. Sesekali ia mengusap matanya menyaksikan Erika yang sedang berbadan dua menikah dalam kondisi dunia yang masih diselimuti bencana pandemi global. Sebuah pemandangan yang berat dan sulit untuk ia saksikan. Namun itulah yang terbaik baginya. Terucap sebaris doa dalam hatinya semoga rumah tangga sang anak berjalan langgeng dan abadi selamanya.
Acara berlangsung dengan lancar dan khidmat. Tanpa bersalaman, satu per satu tamu undangan memberi ucapan selamat kepada kedua pasangan yang berbahagia lalu meninggalkan tempat. Dengan mengucap syukur, akhirnya seluruh rangkaian acara dapat rampung hanya dalam waktu kurang dari satu jam.
Sebuah lembaran hidup baru telah terbuka. Sebuah jalan baru terbentang luas. Dan sebuah perjalanan hidup baru menjemput takdir telah bergulir.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H