"Yeah, ...," sahutnya seantusias memperhatikan hidangan di depannya.Â
"We  should eat first," kilahnya.Â
"Bon appetit!" serunya sambil menyantap makanan. Â
Melanjutkan kepenasarannya, Martha bercanda pakai bahasa Jawa. "Oke, Mas Nico, sampeyan pengin ngomong opo? Monggo, dilanjutin," desaknya di suapan terakhir.Â
"Please, don't make me speak Jawa! Aku ra mudeng, Mbak," ujarnya sambil menyeruput es lemon tea.Â
"Aw, you're so funny," ungkapnya tak bisa menahan tawa.Â
Nico melanjutkan pembicaraannya yang sempat tertunda. "You know, this global pandemic has changed almost everything. Beberapa minggu yang lalu kantor pusat menghubungiku dan membicarakan mengenai kontrak overseas-ku. Mereka menawariku pos baru di Thailand atau pilihan lainnya kembali ke Australia."Â
Martha menyimak tanpa berkata apa-apa. Dalam diamnya, terlintas kenangan-kenangan manisnya bersama Nico meski dalam waktu yang cukup singkat. Kini ia harus pasrah, hubungannya sedang berada di ujung tanduk.Â
"Ini pilihan berat bagiku. Berhari-hari ku berpikir tapi belum bisa ku putuskan. Hingga suatu hari Mom menelponku. Ia menanyai kabarku dan mengabariku bagaimana kondisinya disana sejak merebaknya pandemi, " terdiam sebentar sambil menyeka mulutnya.Â
"You know, Mom sudah tiga tahun terakhir hidup sendiri setelah Bapak tiada. Kondisinya tidak terlalu sehat. Tiap bulan ia harus kontrol ke rumah sakit. Ia punya keluhan pada jantungnya. Sementara, adikku, Willy, sejak kuliah sudah di Inggris dan menetap disana. Kecil kemungkinan baginya untuk pulang," papar Nico.Â
"Dia tidak memintaku pulang tapi aku khawatir padanya. So, bagaimana menurut pendapatmu tentang apa yang akan ku perbuat ini? Akankah kau melakukan hal yang sama jika kau dalam kondisi seperti ku?" tanya Nico dengan wajah memelas.Â