Pada tahun 2000, Johan Galtung, profesor sosiologi dan nominator peraih Nobel asal Norwegia, pertama kalinya memprediksi keruntuhan imperium Amerika Serikat dalam waktu tidak lebih dari 25 tahun.
Pasca kemenangan Bush Jr. menjadi Presiden AS, Galtung merevisi prediksinya menjadi lebih cepat lima tahun. Menurutnya, Bush menjadi faktor akseleratornya (democracynow.org 7/6/2010).
Di tahun 2009, Galtung, bapak pendiri Studi Konflik dan Perdamaian dan juga profesor di Universitas Hawaii, menulis sebuah buku yang berjudul “The Fall of the US Empire and Then What?”
Di buku itu, dia menggunakan teori “sinkronisasi dan kontradiksi yang saling memperkuat” sebagai alat bantu dalam membuat prediksinya. Salah satu prediksi akurat yang pernah dibuatnya adalah keruntuhan Uni Soviet tahun 1989.
Menurutnya, ada 15 besar fenomena sinkronisasi dan kontradiksi yang saling memperkuat yang tengah melanda AS. Lebih lanjut, hal itu akan membawa kepada fase berakhirnya kekuatan global AS pada tahun 2020. Galtung memperingatkan bahwa selama melewati fase kemundurannya ini, AS akan menjadi negara yang sangat fasis dan reaksioner (kiblat.net 2/2/2017).
Gejala fasisme ini makin terlihat jelas sejak terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS pada tahun 2016. Kebijakan anti imigran dan minoritas di awal pemerintahannya kian mempertegas kontradiksi yang dimaksud Galtung.
"Kepemimpinan Trump akan mempercepat penurunan pengaruh AS secara global. Tapi tentu kita harus melihat apa yang ia perbuat selama menjadi presiden," ujar Galtung seperti dikutip dari laman The Independent.
Menurut Galtung, semakin kuat sebuah imperium, semakin cepat ia meningkatkan kontradiksinya. Pada gilirannya semakin tinggi kekacauan internal, maka semakin dekat ia pada keruntuhan. Ini adalah sebuah hukum yang disimpulkan Galtung dari analisis model perbandingan tentang kebangkitan dan kejatuhan 10 imperium yang bersejarah (motherboard.vice.com 6/12/2016).
Sejak Trump menjabat presiden Januari 2017, setidaknya ada tiga fenomena penting dan relevan berkaitan dengan prediksi yang dibuat Galtung pada tahun 2000. Pertama, perang dagang dengan China yang mulai muncul ke permukaan pada Maret 2018. Kedua, merebaknya Covid 19 Desember 2019. Terakhir, peristiwa terbunuhnya George Floyd yang diikuti demonstrasi pada akhir Mei 2020.
Pertama
Perang dagang AS dan China yang digagas Presiden Trump kenyataannya jauh panggang dari api. Alih-alih mengurangi defisit perdagangan dengan menutup impor yang tidak adil dan menegosiasikan kembali perjanjian perdagangan bebas, Trump malah merugikan ekonomi negaranya sendiri hingga senilai US$ 7,8 miliar di tahun 2018. Data tersebut didapat dari studi yang dilakukan oleh sejumlah universitas terkemuka di negeri itu (tribunnews.com 17/3/2019).
Senada dengan hal di atas, mantan penasihat ekonomi Gedung Putih Gary Cohn, menyebut perang dagang antara AS dengan China sulit dimenangkan. Lebih dari itu, perang dagang justru berpotensi merugikan ekonomi AS secara keseluruhan (republika.co.id 2/8/2019).