Namun, setiap harinya selalu saja titik api yang baru muncul dan meluas. Tentu, inilah sebab dari munculnya kabut asap yang semakin hari semakin parah. Hal itu diperparah lagi dengan terganggunya kesehatan masyarakat yaitu ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), sesak napas, dan iritasi tenggorokan. Di Kalimantan Selatan kebanyakan orang terkena ISPA. Terhitung dari Januari-September kasus ISPA di Kalsel berada pada angka 189.111 orang.
Karhutla ini bukan hanya menimbulkan kerugian dari segi kesehatan, tapi juga dari segi materil dan jiwa. Ketika karhutla terjadi disekitar pemukiman warga, rumah warga ada yang juga ikut terbakar, bahkan ada kasus seorang lansia yang ikut terbakar karena tidak sempat menyelamatkan diri.
Kalau kita lihat di atas, begitu besar dampak dan akibat yang ditimbulkan dari karhutla ini, baik itu dari segi kesehatan, materil bahkan jiwa seseorang yang jadi korbannya. Kita tidak bisa menyangkal bahwa fenomena ini memang benar adanya bahkan karhutla ini sudah menjadi bencana tahunan atau event tahunan yang sering terjadi. Lalu apakah dibiarkan begitu saja? Kita perlu ada penanggulangan atau mitigasi resiko bencana dalam menghadapi bencana karhutla. Di sini semua lapisan masyarakat perlu berperan dalam menanggulangi bencana karhutla ini.
Upaya yang Nihil dan Mitigasi Resiko yang Masih Melayang-layang
Sebagai masyarakat yang menganut agama Islam, pastinya upaya yang paling utama untuk menangani karhutla ini adalah dengan sholat istisqa atau sholat meminta hujan. Dengan turunnya hujan, titik api yang banyak dan luas itu akan padam dengan cepat dan tidak susah payah lagi memadamkannya. Itulah yang diharapkan pemerintah setempat dan masyarakat. Kalau kita lihat dari segi musim, ini jelas hanya sedikit sekali kemungkinan turun hujan.
Upaya itu pun dilakukan pemerintah dan masyarakat yaitu sholat istisqa berjamaah. Sebagai hamba, hal ini menandakan kita sebagai makhluk yang lemah dan tidak punya kuasa atas dunia ini. Hanya Tuhanlah yang bisa berkehendak dan berkuasa atas jalannya kehidupan di dunia ini. Tetapi, bukankah kita juga di suruh berusaha/ikhtiar untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan? Maka tidak cukup kalau hanya berdo'a tanpa usaha untuk mencapainya.
Pemerintah pada awalnya hanya melakukan pemadaman secara berkala dengan menggunakan Helikopter pemadam atau ketika hanya ada karhutla baru dikerahkan pemadam kebakaran. Hal itu juga di barengi dengan upaya pembagian masker oleh aparat pemerintah dan mahasiswa/i yang peduli terhadap kesehatan masyarakat. Tentu hal itu bukan upaya yang pasti dan terorganisir untuk menanggulangi bencana karhutla ini.
Entah kenapa, mitigasi resiko yang dilakukan pemerintah setempat masih belum terlihat secara pasti dan jelas, hanya ketika terjadi karhutla baru melakukan pemadaman. Menurut saya yang seperti itu sama saja menunggu sesuatu itu terjadi dahulu baru bergerak. Salah satu harapannya dari adanya mitigasi resiko ini adalah berkurangnya titik api yang membakar hutan dan lahan. Tapi yang terjadi malah sebaliknya,semakin hari titik api semakin bertambah dimana-mana.
Upaya yang nihil dan mitigasi resiko yang masih berada di atas awan seharusnya menjadi sesuatu yang menjadi urgen dalam penanganannya, bahkan karhutla di Kalsel ini sudah masuk dalam kategori siaga darurat. Tapi masih saja belum ada penanggulangan yang konkret dan jelas untuk dilakukan. Peran pemerintah dalam sosialisasi tentang akibat dan dampak karhutla dan UUD yang menjerat pelaku juga perlu dilakukan, guna meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap akibat dan dampak karhutla dan guna membuat efek jera terhadap pelaku pembakar lahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H