“Apa pendapat anda tentang Dorce?”
“Tentang apanya? Saya sudah cukup sering mendapat pertanyaan tentang dia, dan biasanya saya menjawab secara kurang serius.”
“Maksud anda?”
“Dari pertanyaan-pertanyaan mereka itu kan saya tahu bahwa mereka semua ingin agar saya menegaskan bahwa Dorce itu salah. Bahwa dia itu sudah melakukan dosa besar karena menentang takdir, menentang kudrat (kehendak; konsep) Allah. Tapi saya tak pernah memberikan jawaban seperti itu.”
“O ya? Apa jawaban anda atas pertanyaan-pertanyaan mereka?”
“Saya selalu selalu balik bertanya kepada mereka, ‘Apakah anda ingin agar Dorce mengembalikan burungnya? Apakah anda mau mencarikan burung untuknya, atau meminjamkan burung anda?”
“Oh! Tapi, saya kira, itu jawaban yang tidak bermutu!”
“Hehe! Anda benar. Tapi sebenarnya dengan jawaban itu saya ingin para penanya menyadari bahwa apa yang yang dilakukan dorce, dalam hal ini berganti kelamin, adalah sesuatu yang sudah terjadi. Walaupun mereka yakin bahwa itu suatu kesalahan, suatu dosa, tapi itu sudah terlanjur dilakukan, sudah terlanjur terjadi, dan tidak bisa dikoreksi. Jelasnya, kalaupun misalnya Dorce ingin mengoreksi – dengan mengembalikan ‘burung’-nya ke posisi semula – hal itu tidak bisa dilakukan oleh Dorce maupun para dokter yang dibayarnya.”
“Hmh, ya, ya. Lantas, pelajaran apa yang bisa diambil oleh kita?”
“Banyak. Pertama, seperti saya isyaratkan di atas, ada kesalahan-kesalahan yang bila sekali kita lakukan maka selamanya tidak bisa dikoreksi. Ia menjadi kesalahan permanen, kesalahan abadi, setidaknya selama kita hidup di dunia ini. “
“Kesalahan permanen, kesalahan abadi, setidaknya selama di dunia ini… Jelasnya bagaimana?”
“Artinya, bila anda melakukan kesalahan seperti itu, anda seperti melakukan kesalahan yang berulang-ulang, karena kesalahan yang anda lakukan itu terus melekat dengan diri anda, menjadi semacam cap yang tak pernah hilang. Itulah yang terjadi pada Dorce. Karena ia melakukan kesalahan yang bersifat permanen itu, melakukan dosa yang melekat itu, maka maka hukumannya pun terus mengejarnya, terus menempelnya, terus membayang-bayanginya.”
“Anda tadi menyebut kata pertama. Tentu ada yang kedua, ketiga dan seterusnya?”
“Ya. Kedua, selain ada kesalahan-kesalahan yang akan terus membayang-bayangi para pelakunya, kita juga sebaiknya tahu dan menyadari bahwa kita tidak boleh, dan memang tidak bisa, memaksakan kebenaran dari diri kita sendiri, yaitu kebenaran subjektif, menjadi kebenaran objektif. Kebenaran subjektif itu kan sifatnya anggapan, persepsi. Atau bahasa Al-Qurãnnya zhann(un). Periksa misalnya surat Yunus ayat 36. Kebenaran subjektif itu biasanya hanya bertumpu pada pikiran dan persaan kita, dan karena itu pembutktiannya pun sering kali kita yang menunjuk, kita yang mengada-adakan. Sebaliknya, kebenaran objektif, satu sisi bersifat normatif, berasal dari kitabullah, misalnya. Sisi lain, ia faktual. Berupa fakta yang nyata.”
“Dalam kaitan dengan Dorce?”
“Dia melakukan kesalahan yang tidak bisa dikoreksi.”
“Ganti kelamin?”
“Ya.”
“Mengapa kesalahan itu tidak bisa dikoreksi?”
“Di atas sudah saya sebutkan. Dia, walaupun misalnya ingin, tidak bisa mengembalikan fisiknya kepada keadaan semula.”
“Tapi, tampaknya dia tak ingin kembali menjadi lelaki…”
“Kalau begitu, kenapa dia harus terganggu oleh penilaian orang? Sampai-sampai sekarang, misalnya, sedang ramai isu bahwa dia ingin pindah ke Amerika.”
“Menurut anda, kenapa?”
“Karena, kalau dia jujur atau sadar, sebenarnya ‘penghakiman’ orang terhadap dia itu memang mempengaruhi dirinya, mengusik perasaannya.”
“Jadi, apakah dia tidak yakin dengan pilihannya?”
“Tampaknya begitu. Walaupun dia membantah, yang kita lihat adalah begitu. Artinya, jauh di lubuk hatinya, dia mengakui bahwa yang dia lakukan itu – berganti kelamin – adalah perbuatan yang menentang kudrat Allah. Adalah perbuatan dosa.”
“Bagaimana anda bisa memastikan bahwa dia, misalnya, merasa berdosa?”
“Gampang saja. Rasulullah kan sudah memberi kita sebuah rumus untuk mengetahui suatu perbuatan itu termasuk dosa atau bukan.”
“Bagaimana?”
“Sebagai orang beriman, ketika anda melakukan suatu perbuatan dan anda merasa malu bila diketahui orang, maka yang anda lakukan itu sebuah dosa.”
“Bila saya tak beriman?”
“Rasulullah pernah mengatakan bahwa malu adalah bagian dari iman. Dalam kesempatan lain, beliau mengatakan, bila kamu tak punya malu, berbuatlah sesukamu. Berarti, orang yang tak punya malu adalah orang yang tak beriman. Maka dia dipersilakan untuk berbuat sesuka dia.”
“Kembali ke Dorce. Kalau saya lihat, tampaknya dia tidak merasa malu… Buktinya dia kan memaklumkan tindakannya – ganti kelamin. Dan dia sudah menjalani kehidupan barunya sebagai wanita.”
“Kalau begitu, sekali lagi saya katakan, kenapa dia harus terganggu dengan penilaian orang? Itu kan menjadi isyarat, bahwa dia bagaimana pun tetap merasa bersalah. Dan dari rasa bersalah itu kan timbul rasa malu.”
“Itu kan menurut anda. Dalam diri dia mungkin perasaan bersalah dan malu itu tidak ada. Mungkin dia hanya kesal terhadap orang-orang yang terus menganggapnya bersalah.”
“Perasaan dan kenyataan memang sering berbeda. Perasaan Dorce, tentu tidak bisa saya yang memastikan. Tapi gejala-gejala bahwa dia merasa bersalah dan malu itu kan tampak dari kata-kata dan perilakunya, dari reaksi-reaksinya, dari pembelaan-pembelaan dirinya di depan publik, termasuk yang dia tampakkan di Trans Tv kemarin, dalam acara yang dipandu Deddy Corbuzier.”
“Apa yang anda maksud dengan pembelaan-pembelaan diri, yang dilakukan oleh Dorce?”
“Itu berkaitan dengan yang saya sebutkan di atas.Yaitu bahwa sebaiknya tahu dan menyadari bahwa kita tidak boleh, dan memang tidak bisa, memaksakan kebenaran dari diri kita sendiri, yaitu kebenaran subjektif, menjadi kebenaran objektif. Kebenaran subjektif itu kan sifatnya anggapan, persepsi.”
“Kaitannya dengn Dorce?”
“Dorce itu kan selalu ingin menunjukkan bahwa dia seorang muslim yang baik. Karena itu dia pergi haji, dia banyak berderma, dia punya tempat pemeliharaan anak yatim, dia punya banyak anak angkat, dia membangun masjid, dan entah apa lagi. Dengan itu, dia sadari atau tidak, dia kan ingin melakukan pembelaan terhadap dirinya, bahwa kesalahan apa pun yang telah dilakukan di masa lalu, selebihnya dia adalah seorang muslim yang baik. Bahkan semua kebaikan yang dia lakukan, pada kenyataannya toh tidak dilakukan oleh banyak orang yang menyalahkan dan mencelanya.”
“Jadi, menurut anda, dia tidak melakukan semua itu secara tulus?”
“Mudah-mudahan sih dia tulus. Tapi, menurut analisis saya, di balik semua kebaikan yang dia lakukan, ada terselif keinginan untuk melakukan semacam pembelaan.”
“Itu analisis anda. Jadi belum tentu benar ya?”
“Ya. Seandainya dia tulus, itu baik buat dia. Bila tidak, bila itu hanya semacam pembelaan, berarti dia ingin melakukan pembenaran terhadap kesalahannya.”
“Jadi, apa yang dia lakukan – berganti kelamin – itu tetap sebuah kesalahan?”
“Ya.”
“Jelasnya, seperti apa kesalahannya itu? Fasal hukum apa yang dilanggarnya?”
“Kita percaya bahwa bila Allah melahirkan kita secara fisik berbentuk lelaki, maka kita harus menerima hal itu sebagai takdir. Sebagai ketetapan atau kehendak Allah atas diri kita, yaitu bahwa kita harus menjadi lelaki. Bila kita mengubahnya, dengan operasi ganti kelamin, maka kita telah menentang kehendak Allah. Lebih dari itu, kita bahkan seperti menganggap Allah telah melakukan kesalahan dalam menciptakan kita.”
“Tapi, bagaimana dengan diri Dorce dan lain-lain, yang justru merasa bahwa diri mereka adalah wanita?”
“Itu kan hanya perasaan!”
“Bagaimana bila perasaan itu begitu dominan, dan tidak bisa diubah?”
“Harus ada sesuatu yang menjadi pemasti.”
“Misalnya apa?”
“Bila mereka, misalnya, merasa sebagai wanita, mereka tidak boleh bertumpu pada perasaan, tapi harus mempunyai bukti-bukti faktual, bukti-bukti fisik, yang menunjukkan bahwa mereka sebenarnya memang tidak dilahirkan sebagai lelaki.”
“Misalnya?”
“Yaa… Misalnya… mereka mempunyai organ terpenting sebagai bukti bahwa mereka wanita. Yaitu bahwa mereka terbukti mempunyai rahim!”
“Bila tidak?”
“Berarti mereka ditipu oleh perasaan!”
“Bila mereka ngotot melakukan operasi ganti kelamin juga?”
“Yaa… di situ letak kelasalahan mereka. Tugas manusia yang hakiki itu kan melawan nafsu, melawan perasaan, yang sering menggiring kita untuk menentang Allah. Bila kita menyatakan beriman, maka kita tidak boleh takluk pada perasaan.”
“Bila ternyata kesalahan itu sudah dilakukan? Sudah menjadi keterlanjuran, yang tidak bisa dikoreksi seperti kata anda?”
“Bila anda minta jawaban pada ajaran Allah, jawabannya melegakan kok.”
“O ya? Bagaimana?”
“Satu hal perlu anda catat! Islam itu berorientasi ke depan, bulan ke belakang. Anda dinilai berdasar keadaan anda sekarang, bukan berdasar keadaan anda di masa lalu. Bila di masa lalu anda melakukan kesalahan, maka – kata Rasulullah – susullah perbuatan buruk anda dengan perbuatan baik.”
“Wow! Itu berarti bahwa kebaikan bisa menghapus keburukan?”
“Ya. Tapi, pertama-tama anda harus memahami bahwa kebaikan itu bersumber pada ajaran Allah, dan keburukan itu berpangkal pada ajaran setan.”
“Jelasnya?”
“Anda belum bisa dikatakan berbuat baik, bila anda belum mau mengambil ajaran Allah sebagai acuan. Bila, misalnya, anda mengatakan bertaubat dari perbuatan buruk, kemudian anda melakukan ‘kebaikan’ berdasar pikiran dan perasaan anda sendiri, tanpa mengacu pada ajaran Allah, maka sebenarnya anda belum bertaubat.”
“Mengapa?”
“Karena anda baru melakukan kebaikan yang mengacu pada kebenaran subjektif! Harap anda catat bahwa ‘kebenaran subjektif’ itu kemungkinan besar masih terletak dalam ‘lingkaran setan’.”
“Wah, kok bisa?”
“Ya. Karena kebenaran subjektif itu kan bentuknya pikiran dan perasaan anda. Kecuali bila anda sudah mencelup pikiran dan perasaan anda itu dengan ajaran Allah. Dan untuk itu, tentu dibutuhkan proses yang panjang.”
“Proses apa?”
“Proses mempelajari ajaran Allah; dan proses meleburkan diri dengan itu.”
“Bila tidak menempuh proses itu?”
“Berarti subjektifisme anda masih dominan. Dengan kata lain, anda belum mau bertaubat.”
“Bila dalam keadaan demikian itu saya melakukan kebaikan-kebaikan? Katakan saja… seperti yang dilakukan Dorce?”
“Anda akan terus dihantui perasaan tidak mantap, perasaan tidak tenteram, seperti yang dirasakan Dorce.”
“Kalau misalnya Dorce menempuh proses mempelajari ajaran Allah; dan proses meleburkan diri dengan itu, apakah Allah mengampuni kesalahannya?”
“Tadi saya katakan bahwa anda tidak dinilai berdasar masa lalu anda!”
“Bagaimana dengan penilaian masyarakat yang tetap menganggap dia salah dan berdosa karena menentang kudrat Allah?”
“Itu akan jatuh menjadi penilaian subjektif, yang tidak perlu dihiraukan. Tapi, selain itu, tentu harus ada ada semacam pembelaan dari pihak-pihak yang dianggap berwenang, supaya Dorce merasa tenang. Dan tentu pembelaannya harus bersifat mencerahkan masyarakat awam juga.”
“Pihak yang dianggap berwenang? Setahu saya, Kraton Solo sudah memberi semacam pengesahan bahwa Dorce adalah seorang Raden Ayu, kalau tak salah. Itu penegasan bahwa dia wanita!”
“Dorce itu dihakimi masyarakat berdasar agama. Walaupun masyarakatnya sendiri sebenarnya kan tidak begitu mengerti agama. Dan Kraton Solo itu, kan anda tahu bahwa itu bukan lembaga agama!”
“Jadi harus dari MUI, misalnya?”
“Seharusnya begitu. MUI itu kan seharusnya memberi pencerahan kepada umat dalam hal-hal yang pelik begini.”
“Ooo, begitu ya? Terus, apakah obrolan kita ini tidak bisa menjadi semacam pembelaan itu?”
“Semacam pencerahan, mungkin. Mudah-mudahan. Tapi itu sangat tergantung pada sikap Dorce; apakah ia masih kukuh berpegang pada kebenaran subjektif, atau dia mau memegang ajaran Allah?”∆
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H