Mohon tunggu...
Ahmad Hadi
Ahmad Hadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Revolusi Pajak: Kekuatan dan Tantangan Sistem Self Assessment dalam Pembiayaan Pembangunan Indonesia

14 Januari 2024   10:56 Diperbarui: 14 Januari 2024   11:01 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak merupakan salah satu instrumen yang sangat penting dalam menentukan pendapatan suatu negara. Mengingat peranannya yang sangat penting bagi suatu negara, pemerintah mengharuskan bahwa setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Pajak bersifat memaksa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Meskipun rakyat tidak langsung mendapatkan imbalan atas kewajiban ini, pajak yang dibayarkan digunakan untuk membiayai belanja atau keperluan negara dan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam sejarahanya, pemungutan pajak yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu self assessment system dan officil assessment system. Dan untuk sekarang Indonesia sedang menganut self assessment system. Sistem ini dianut sejak reformasi perpajakan tahun 1983 sampai sekarang. Namun, dalam praktiknya, masyarakat banyak menyampaikan keluhan, seperti kompleksitas mekanisme pemungutan pajak, kecenderungan wajib pajak untuk menghindari kewajiban pembayaran pajak, keluhan terkait ketidakjelasan tugas petugas pajak, dan sebagainya.

Reformasi besar perpajakan di Indonesia dimulai pada tahun 1984 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, serta Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Undang-undang tersebut menggantikan regulasi perpajakan yang sebelumnya dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda (seperti ordonansi PPs 1925 dan ordonansi PPd 1944). Sistem pemungutan pajak di Indonesia juga berubah dari official assessment system menjadi self assessment system yang masih berlaku hingga sekarang. Reformasi awal perpajakan ini dipicu oleh beberapa faktor, termasuk:

  • adanya perubahan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat;
  • sistem perpajakan yang berlaku sebelumnya tidak dapat sepenuhnya menggerakkan peran serta semua lapisan subjek pajak dalam pengangkatan penerimaan negara;
  • kebutuhan akan peningkatan dan pengembangan penerimaan negara;
  • perlunya pembaharuan dan penyesuaian undang-undang perpajakan sehingga lebih memberikan kepastian hukum, kesederhanaan, kemudahan dalam pelaksanaan serta lebih adil dan merata;
  • hendak memberikan kepercayaan kepada subjek pajak untuk melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya dibidang perpajakan (Satya & Dewi, 2010).

Dalam self assessment system yang umumnya diterapkan di Indonesia saat ini, pelaksanaan kewajiban perpajakan perlu mendapatkan dukungan dari pengawasan yang memadai dan kepastian hukum. Self assessment system diatur dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). “jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Lebih lanjut, Pasal 12 ayat (3) menyebutkan: “Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang”. Dengan demikian, jelas bahwa pengawasan memiliki peran sangat strategis dalam sistem perpajakan. Unsur lain yang tidak kalah penting adalah kepastian hukum karena tanpa kepastian hukum yang diwujudkan dalam kejelasan subjek, objek, tarif dan prosedur, maka wajib pajak maupun petugas pajak akan mengalami kesulitan untuk menjalankan hak dan kewajibannya (Rizki, 2018).

Perubahan sistem pemungutan pajak dari official assessment system menjadi self assessment system di Indonesia merupakan langkah signifikan yang diambil pemerintah untuk meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Meskipun demikian, keefektifan sistem self assessment sebagai dasar pengutipan pajak masih menjadi sorotan. Sejumlah masalah seperti kompleksitas mekanisme pemungutan pajak, kecenderungan wajib pajak untuk menghindari kewajiban pembayaran pajak, dan ketidakjelasan tugas petugas pajak menjadi tantangan yang perlu diatasi.

Dalam teori yang berlaku, reformasi perpajakan tahun 1983 telah mendorong perubahan sistem pemungutan pajak menjadi self assessment system. Namun, pelaksanaan kewajiban perpajakan perlu didukung oleh pengawasan yang memadai dan kepastian hukum. Faktor-faktor seperti perubahan ekonomi, kebutuhan peningkatan penerimaan negara, dan kepercayaan kepada subjek pajak menjadi pendorong utama reformasi ini.

Konsekuensi logis dari pilihan self assessment system, yang memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan kewajiban perpajakannya, mengharuskan fiskus untuk menitikberatkan tugas-tugas pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan dari wajib pajak, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang masih memandang pajak sebagai beban, yang dapat menyebabkan upaya penghindaran, pengelakan, dan pelalaian pajak.

Dalam konteks ini, peran Direktorat Jenderal Pajak menjadi sangat penting dalam melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan, dan pelayanan terkait pemenuhan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan melalui perubahan sistem pemungutan pajak, terutama dari official assessment system menjadi self assessment system, memiliki dampak signifikan terhadap peran positif wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Namun, untuk memastikan efektivitas self assessment system, pelaksanaan penegakan hukum menjadi aspek krusial. Pemeriksaan atau penyidikan pajak serta penagihan pajak merupakan instrumen penting untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, baik secara formal maupun material, terhadap peraturan perpajakan yang berlaku. Kepatuhan wajib pajak adalah kunci bagi penerimaan pajak yang optimal, dan penegakan hukum merupakan cara yang efektif untuk mengatasi ketidakpatuhan dan memastikan kepatuhan pajak seiring dengan perubahan sistem pemungutan pajak.

Dalam konteks global, masalah kepatuhan wajib pajak menjadi penting, baik di negara maju maupun negara berkembang. Kesadaran teknis dan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan tidak hanya tergantung pada masalah teknis semata, melainkan juga pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan pemahaman wajib pajak mengenai kewajiban mereka. Oleh karena itu, langkah-langkah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui pendekatan pemeriksaan pajak menjadi suatu hal yang strategis.

Penggelapan pajak atau tax evasion, yang sering kali dilakukan untuk menghindari pembayaran pajak, dapat merugikan negara dengan berkurangnya penerimaan pajak ke kas negara. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran dan pendekatan hukum yang tegas perlu diambil untuk mencegah praktik penggelapan pajak dan memastikan bahwa wajib pajak mematuhi kewajiban perpajakan mereka dengan penuh tanggung jawab.

Dengan demikian, perubahan dalam sistem pemungutan pajak mencerminkan upaya pemerintah untuk memajukan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Meskipun demikian, untuk mencapai tujuan ini, penting bagi pemerintah untuk terus meningkatkan kepercayaan masyarakat, memberikan kepastian hukum, dan memperkuat pengawasan serta penegakan hukum dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan. Hanya dengan demikian, sistem self-assessment dapat berjalan secara efektif, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dan mendukung penerimaan pajak yang optimal untuk mendukung pembangunan negara.

Jadi dapat diambil kesimpulan, bahwa eskipun sistem self assessment mencerminkan upaya pemerintah untuk memajukan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan, langkah-langkah lanjutan perlu diambil. Meningkatkan kepercayaan masyarakat, memberikan kepastian hukum, dan memperkuat pengawasan serta penegakan hukum menjadi kunci untuk menjalankan sistem self-assessment secara efektif. Hanya dengan demikian, sistem ini dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mendukung penerimaan pajak yang optimal, sesuai dengan tujuan pembangunan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Rizki, I. (2018). Self Assesment Sistem Sebagai Dasar Pungutan Pajak Di Indonesia. Jurnal Al-‘Adl, 11(2), 81–88.

Satya, V. E., & Dewi, G. P. (2010). Perubahan Undang Undang Pajak Penghasilan dan Perannya Dalam Memperkuat Fungsi Budgetair Perpajakan. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 1(1), 75–100. https://jurnal.dpr.go.id/index.php/ekp/article/view/75

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun