Di tengah hutan yang lebat, tersembunyi sebuah desa yang tak pernah disebutkan dalam peta mana pun. Desa itu tak memiliki nama, seolah-olah keberadaannya ingin dihapus dari ingatan dunia. Konon, siapa pun yang menemukan desa itu, tak akan pernah kembali dalam keadaan yang sama. Mereka yang beruntung kembali, pulang dengan wajah pucat pasi, tanpa bisa berbicara sepatah kata pun tentang apa yang terjadi.
***
Malam itu, Arif, seorang petualang muda yang gemar menjelajah daerah-daerah terpencil, mendengar desas-desus tentang desa tanpa nama ini dari seorang penduduk tua di sebuah warung kopi. "Jangan pernah ke sana," bisik orang tua itu dengan suara gemetar, "Ada sesuatu di dalam kegelapan yang tidak seharusnya kau lihat."
Namun, seperti biasa, rasa penasaran Arif mengalahkan ketakutannya. Berbekal peta usang dan senter, ia memutuskan untuk menjelajahi desa tersebut pada malam yang gelap tanpa bintang. Jalan setapak di hutan semakin menyempit, dan bayangan pepohonan menari-nari seperti makhluk hidup yang tengah mengawasinya. Udara semakin berat, seakan-akan malam itu sendiri memiliki kehidupan.
Setelah beberapa jam berjalan, Arif tiba di gerbang kayu tua yang berderit ketika disentuh angin. Tulisan di atasnya pudar, tak dapat terbaca. Di depan mata, tampak rumah-rumah kayu yang tampak hancur, seolah-olah ditinggalkan begitu saja puluhan tahun lalu. Anehnya, meskipun desa ini tampak sepi, Arif bisa merasakan kehadiran sesuatu—atau seseorang—mengamatinya dari kegelapan.
Di tengah-tengah desa, ada sumur tua yang dipenuhi rumput liar. Bisikan lembut terdengar dari arah sumur, memanggil-manggil namanya. Arif mendekat, hatinya dipenuhi rasa ingin tahu yang tak terbendung. Begitu ia melihat ke dalam sumur, sebuah tangan pucat yang kurus mencengkeram pergelangan kakinya dengan kuat.
Arif tersentak mundur, terjatuh ke tanah. Ketika ia bangkit, matanya tertuju pada sesuatu yang menjulang di kejauhan—sebuah pohon besar yang cabang-cabangnya menggantung seperti tali gantungan. Di bawah pohon itu, sosok-sosok berbayang berdiri tanpa bergerak, menatap lurus ke arahnya dengan mata kosong. Wajah-wajah mereka terlihat pudar, seperti tak lagi memiliki kehidupan.
Arif berlari, namun kakinya seperti tak bisa bergerak cepat. Langkah-langkahnya terasa berat seolah-olah sesuatu mengikat tubuhnya. Teriakan-teriakan tanpa suara bergema di sekelilingnya, memenuhi telinga dan pikirannya. Bayangan sosok-sosok itu semakin mendekat, tangan-tangan mereka terulur, menggapai dengan gerakan lambat namun pasti.
Ketika Arif hampir mencapai batas desa, tanah di bawahnya tiba-tiba retak dan terbelah. Dari celah-celah tanah itu muncul makhluk-makhluk mengerikan—tubuh mereka hitam, berlendir, dengan mata merah yang berkilauan di kegelapan. Mereka bergerak seperti ular, melingkari tubuh Arif, menyeretnya ke dalam jurang kegelapan yang tak berdasar.
Dalam detik-detik terakhir sebelum seluruh tubuhnya tersedot ke dalam tanah, Arif menyadari bahwa inilah akhir dari semua yang berani memasuki desa ini. Mereka bukan hanya mati—jiwa mereka dimakan, diserap oleh kegelapan yang lebih tua daripada waktu itu sendiri.
***