Ketika seseorang ditanya, apakah benda yang paling tajam? Sudah tentu pisau, pedang dkk yang keluar. Namun Imam Al-ghozali memiliki pandangan lain dalam hal tersebut. Lidah walaupun ia barang lunak tak bertulang sebenarnya ialah benda tertajam yang pernah ada. Dengan lidah kita dapat membuat kebaikan besar atau keburukan besar. Lidah akan menjadi baik ketika kita dapat menggunakannya unutuk menggerakkan atau menggelorakan massa untuk melakukan perubahan positif dengan ketentuan ketentuan dan batasan-batasan yang sesuai norma, seperti Ir. Soekarno dan Abraham Lincoln. Dan lidah juga bisa menjadi barang terburuk jika penggunaanya melebihi batas kewajaran serta menimbulkan kemadharatan bagi pendengarnya.
Salah satu produk lidah yang paling sering diumbar dalam kehidupan sehari-hari kita yaitu canda. Canda memang kadang kala bahkan sering dibutuhkan untuk memecahkan kebekuan suasana yang dengannya pembahasan sesuatu yang sebetulnya ilmiah akan menjadi renyah. Canda juga kadang dibutuhkan untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama muslim. Namun dalam bercanda kita harus memperhatikn betul dimana kita dan sedang apa kita. Jangan sampai candaan yang seharusnya menyenangkan menadi menghinakan. Maka benarlah sebuah sya’ir arab:
لكلّ مقال مقام ولكلّ مقام مقال
Yang artinya: “setiap perkataan itu ada tempatnya dan setiap tempat itu ada perkataaanya.”
Oleh karenanya tidak pantaslah seorang anak kecil diberi candaan yang masih samar dan menimbulkan perdebatan. Sebab anak kecil tanpa pikir panjang akan mempercayainya bahkan mengadopsinya. Maka cukup perkataan yang benar adanyalah yang tepat untuk anak kecil.
SEKEDAR BUMBU
Baru-baru ini muncul statement bahwa da’I itu kudu bisa melawak. Pernyataan tersebut bisa benar bisa juga salah. Hal itu kembali dari sudut mana kita menilai. Jika dipandang dari sudut pragmatis maka sudah pasti hal itu hampir mutlak kebenarannya. Dengan kecerdikan da’i dalam melawak sekarang ini tempat-tempat pengajian dibanjiri massa, selain sebagai tempat mengaji, berkumpul juga dapat menjadi tempat hiburan. Akan berbeda jika kita memandangnya dari sudut realita jangka panjang, mungkin sekarang tempat pengajian masih dianggap tempat sakral untuk menimba ilmu namun di massa yang akan datang tidak tau kapan mungkin tempat pengajian akan dikira tak ubahnya seperti panggung komedi yang pembicaranya dengan ajaibnya membuat orang terpingkal-pingkal. Bahkan seorang da’i yang pandai melawak tanpa memperhatikan kualitas materi dakwahnya lebih digandrungi daripada da’i yang tulus menyampaikan secara syar’i. Hal seperti itu memang sudah diperkirakan. Selain faktor eksternal, factor internal dari manusia yang cenderung menyukai hal-hal menyenangkan lah yang mendasarinya.
Dengan demikian, apakah seorang da’i harus mengalah dan mengesampingkan tujuan dakwah demi menuruti hawa nafsu manusia yang notabenenya sering dikuasai syaitan? Tentu tak akan pernah. Da’i yang benar-benar berniat tulus mengabdi di dunia dakwah harus pintar betul mengondisikan dirinya dan apa dikatakannya agar sesuai rute tanpa melenceng sedikitpun dan jika memang diperlukan, candaan cukup dijadikan sebagai terminal atau stasiun untuk kembali mengisi energy dan bahan bakar.
Dakwah itu pada dasarnya merupakan ibadah. Dan ibadah seseorang tidak akan diterima tanpa tiga syarat, yaitu: Iman, ikhlas dna mengikuti sunnah. Candaan yang berlebihan dalam dakwah dan melupakan esensinya sama saja beribadah dengan sia-sia secara akhirat. Karna hanya nikmat keduniaan lah dirainya.
Berikut ini beberapa kaidah fiqih tentang humor dan candaan dalam dakwah, agar candaan kita berkualitas, positif serta tanpa melupakan esensi dari dakwah itu sendiri, dan tidak menimbulkan dampak negative bagi pndengar:
1. Tidak menjadikan simbol-simbol Islam (tauhid, risalah, wahyu dan dien) sebagai bahan gurauan. Firman Allah: “Dan jika kamu tanyakan mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. at-Taubah:65)
2. Jangan menjadikan kebohongan dan mengada-ada sebagai alat untuk menjadikan orang lain tertawa, seperti April Mop di masa sekarang ini. Sabda Rasulullah saw: “Celakalah bagi orang yang berkata dengan berdusta untuk menjadikan orang lain tertawa. Celaka dia, celaka dia.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Hakim)
3. Jangan mengandung penghinaan, meremehkan dan merendahkan orang lain, kecuali yang bersangkutan mengizinkannya. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan); dan jangan pula wanita mengolok-olokkan wanita-wanita lain., karena boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan); dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan pula kamu panggil-memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk gelar ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman..” (QS. al-Hujurat:11) “Cukuplah keburukan bagi seseorang yang menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)
4. Jangan bergurau untuk urusan yang serius dan jangan tertawa dalam urusan yang seharusnya menangis. Tiap-tiap sesuatu ada tempatnya, tiap-tiap kondisi ada (cara dan macam) perkataannya sendiri. Allah mencela orang-orang musyrik yang tertawa ketika mendengarkan al-Qur’an padahal seharusnya mereka menangis, lalu firman-Nya: “Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis. Sedang kamu melengahkannya.” (QS. an-Najm:59-61). Hendaklah gurauan itu dalam batas-batas yang diterima akal, sederhana dan seimbang, dapat diterima oleh fitrah yang sehat, diridhai akal yang lurus dan cocok dengan tata kehidupan masyarakat yang positif dan kreatif.
5. Islam tidak menyukai sifat berlebihan dan keterlaluan dalam segala hal, meskipun dalam urusan ibadah sekalipun. Dalam hal hiburan ini Rasulullah memberikan batasan dalam sabdanya; “Janganlah kamu banyak tertawa, karena banyak tertawa itu dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi). “Berilah humor dalam perkataan dengan ukuran seperti Anda memberi garam dalam makanan.” (Ali ra.). “Sederhanalah engkau dalam bergurau, karena berlebihan dalam bergurau itu dapat menghilangkan harga diri dan menyebabkan orang-orang bodoh berani kepadamu, tetapi meninggalkan bergurau akan menjadikan kakunya persahabatan dan sepinya pergaulan.” (Sa’id bin Ash).
Demikianlah hendaknya seorang da’i membatasi perkataan dalam humornya. Sehingga pendengarpun senang mengkuti acara ceramah atau pengajian serta memperoleh unsur ilmu yang menjadi tujuan dari dadkwah itu sendiri.
Semoga ada perubahan dalam cara berdakwah para da’i negeri ini. Amin.
Wallahu A’lam
Dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H