Aku memeluk sepi
Imbas ia mengakarkan diri
Padahal, aku tak memilihnya berada di sini
Ia memaksa tinggal, menolak untuk pergi
Bahkan ketika aku tersadar
Bahkan ketika aku sudah turun tangan
------
Bayangku tertanam pada rumah berkaca tinggi-tinggi. Tubuhnya yang megah sempat diselimuti kabut debu dan ranting-ranting kayu rusak imbas terduduknya dirinya di bawah pohon mangga. Nahas, figur usangnya itu tersiram hujan air yang membasuh satu muka dunia dari atas langit hingga kaki-kaki jalan. Lantas, rumah itu menjadi gelap, seakan-akan bumi menelannya dalam kebisingan beribu ketukan cabang pohon yang menyuruhnya untuk segera menutup pintu dan jendela sebab kalau tidak, dipastikan lantai-lantai keramik kering di dalam tubuhnya berubah jadi tergenang.
Mataku terpaku pada guntur dan angin yang memadu kasih di luar sana. Sangat dekat, tetapi juga sangat jauh dari tempat berdiriku. Dahiku mengernyit menyaksikan kisah mereka yang makin kelam, pula makin besar. Tanganku berpegangan erat pada badan sang jendela.
"Hujan ini pasti lama berakhirnya," keluh batinku.