Arah pandangku tertuju pada dua insan manusia. Berpegangan tangan, memeluk tubuh yang satu dengan yang lainnya. Mendekap erat lama, mengunci tatap tanpa jeda. Merasakan masing-masing bibir saling berpadu, memadu kasih pantang peduli. Sesekali tertawa, menjamah tiap-tiap bagian tubuh berdua. Puan dan sang tuan, mereka mencipta kama di atas tanah surga.
Alunan nada romansa terbang di udara, membuat seisi ruang dansa menjadi hangat dan penuh asmara. Namun, aku berselimut hampa, melihat orang yang aku damba menjadi tergila-gila dengan pesona orang ketiga. Lantas, aku semakin tersadar. Akan realita dunia, busuk dan kejamnya siksa semesta. Padahal, aku tak lelah meminta. Namun, seakan sekarang semuanya kembali sia-sia.
Membuat bendunganku untuk air bening yang semakin mengucur deras. Namun, aku masih murah senyum. Tak layak aku menunjukkan benci dan iri di depan sang perebut hati. Meski ia mulai tersadar aku mengamati sedari lama, dirinya tidak berbuat apa-apa. Lantaran aku bukanlah yang ia cinta, bukan juga yang ia harapkan untuk menorehkan kisah kasih bersama.
Aku memilih meletakkan kembali tiara yang aku sangat inginkan untuk miliki. Memang, aku tak pernah cocok menjadi ratu bagi dunia yang memuja bidadari berwajah kemayu. Aku harusnya cepat tersadar, mereka memilih candu pada tubuh langsing dan suara merdu. Lantas, mengutuk diri dan meratap dalam sepi adalah citra terbesar yang bisa aku beri pada diriku sendiri dan untukku saja seorang diri. Aku tak akan pernah bisa cukup bagi bumi manusia yang memilih menyumbat telinga dan menutup mulut.
Terinspirasi oleh: Beach Bunny - Prom QueenÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H