Pernikahan adalah pintu masuk hubungan sah dan suci berkeluarga. Hukum pernikahan dalam konteks Indonesia, menempati posisi penting dan vital. Namun, entah salah kaprah atau terlanjur dipahami keliru, hukum keluarga kemudian dipersempit dan seolah hanya terbatas soal Perceraian, harta gono gini, rebutan hak asuh anak dan beberapa masalah akibat perceraian lainnya.
Harus diakui, berdasarkan pengalaman, saat kita merencanakan menikah dan kemudian mendaftar ke Kantor Urusan Agama (KUA)--setidaknya pengalaman pribadi saya dulu saat mau menikah di KUA--memang ada semacam pelatihan dan pendidikan pra-Nikah antar calon pasangan mempelai, program ini kemudian dan belakangan saya tahu bernama kursus calon pengantin (Suscatin), sebagai program yang telah berjalan dibawah kementerian Agama (Kemenag).
Tapi, saya kira yang terjadi saat itu adalah formalitas belaka. Mengingat, waktunya yang sangat terbatas, bayangkan, pelatihan yang cuma sehari untuk sebuah hubungan yang langgeng dan abadi.
Kedua, dari sisi tenaga pengajarnya yang tidak menunjukkan keseriusan. Disamping problem lain yang sangat menentukan yaitu program ini, seolah bukan menjadi prioritas dari program KUA sendiri. Terbukti saat pelaksanaan dijalankan, sama sekali terlihat setengah hati, untuk tidak mengatakan hanya main-main belaka. Sehingga dari pengalaman ini, tentu kita bisa mengambil gambaran dan kesimpulan hasilnya yang apa adanya.
Keluarga Cermin Peradaban Bangsa
Saya kira, di Indonesia, hingga saat ini belum ada sistem pernikahan dan keluarga --hukum keluarga--yang komprehensif. Baik dalam kerangka konsep maupun praksis. Maksud saya, system yang komprehensif mengatur dengan ideal hubungan keluarga, dari pra-nikah, saat proses nikah berkeluarga dan hingga berakhir pernikahan (meninggal atau sebab lainnya). Terlepas, bahwa urusan keluarga adalah urusan domestic, sehingga adakalanya memang takperlu Negara mengatur-ngatur urusan domestic dan privat keluarga.
Padahal, keluarga sebagai entitas terkecil dan penting dalam bangunan besar berbangsa dan bernegara, sangat menentukan dan menjadi ukuran dan standart inheren, apakah sebuah bangsa berperadaban maju ataukah sebaliknya. Pendek kata, maju dan tidaknya sebuah bangsa dicerminkan oleh setiap keluarga masing-masing warga Negaranya.
Semakin banyak keluarga yang sukses, sejahtera lahir dan bathin, berperadaban tinggi dan baik, maka kesejahteraan dan peradaban bangsa adalah niscaya. Sebaliknya, manakala tingkat broken home setiap keluarga pada masyarakat meningkat tinggi tanpa bisa dikontrol dan dibatasi, maka kehancuran bangsa akan menjadi hal yang menyusul kemudian hari.
Sehingga saya kira, tetap perlu dipikirkan bagaimana menjaga dan merumuskan dan mewujudkan norma pernikahan yang suci untuk membentuk keluarga yang harmani---yang tentu menjadi impian dan tujuan awal para calon mempelai---tidak jauh panggang dari api.
Sertifikasi Nikah, Apakah tidak sebaiknya Sertifikasi Pelatihan Pra-Nikah?
Mengingat betapa penting dan sucinya hubungan keluarga, dan vital untuk mempertahankannya tetap langgeng dan utuh, demi peradaban kemanusiaan. Maka, menyiapkan dan mengkonstuksinya agar tetap sesuai dengan tujuan dan harapan semua pihak, memang dibutuhkan keterlibahatan Negara untuk hadir.
Tawararan pak Muhadjir Efendy, selaku Menteri Kordinator Pemberdayaan Manusia Kebudayaan (PMK) yang belakangan ramai dan menuai kontroversi ini, Â saya lihat dan akan saya tempatkan sebagai bentuk dan ikhtiyar untuk memberikan solusi dalam menciptakan bangunan keluarga yang semestinya. Akan tetapi, mungkin dipahami oleh kebanyakan orang, bahwa ini adalah hal baru dan menambah masalah baru pula.
Jika konteksnya untuk merevitalisasi pendidikan pra nikah bagi para calon pasangan mempelai, yang nantinya akan membangun keluarga yang selamanya, dan seumur hidup, saya kira program ini musti didukung. Karena diakui maupun tidak, peran Kantor Urusan Nikah (KUA) selama ini tidaklah maksimal. Bahkan hanya untuk sekedar mencatat nikah, dan hal-hal teknis selama ini, saya kira sangat mubadzir. Artinya, ide, wacana dan program sertifikasi Nikah musti diarahkan dan dipastikan untuk memberikan pemahaman yang utuh dan integral sesuai kebutuhan terhadap para calon pasangan yang akan melangsungkan pernikahan.
Terkait materi dan isi dalam pendidikan, tentu musti disesuaikan dan disiapkan dengan matang dan mapan sesuai dengan kebutuhan. Dan yang lebih penting, harus Gratis meski dilaksanakan minimal 3(tiga) bulan pada 2020 mendatang, sebagaimana yang telah diwacanakan. Tidak mungkin, pendidikan pra nikah diberikan kepada calon mempelai, hanya dalam kurun waktu sehari, sebagaimana yang sudah-sudah. Selamat bersiap-siap para Jomlowan/wati untuk dapat pendidikan Gratis sebelum menikah. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI