Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Pengacara - Menulis apasaja, Berharap ada nilai manfaat dan membawa keberkahan. Khususnya, untuk mengikat Ingatan yang mulai sering Lupa.

Berusaha menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Santri, Advokat bisa hubungi saya di email : ozyman83@gmail.com, HP/WA : 085286856464.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Kenaikan UMP 2020, Berimbas pada Kesejahteraan Pekerja dan Bangkrutnya Pengusaha?

6 November 2019   10:57 Diperbarui: 6 November 2019   21:38 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sebagai Pemanis. (Dokpri)

Beberapa hari ini, Upah Minimum Provinsi Propinsi DKI Jakarta telah ditetapkan oleh Anis Baswedan, selaku Gubernur sebesar Rp. 4.267.349. naik dari sebelumnya (2019) sebesar Rp. 3.900.000. bulan November memang menjadi waktu dan ajang paling "sakral" dalam dunia Industri. karena dalam bulan ini, selalu akan ditetapkan dan diputuskan besaran Kenaikan Upah disemua daerah yang nantinya akan berlaku dan diberlakukan pada Januari, tahun berikutnya (2020)

Upah dalam relasi industrial, antara buruh atau pekerja pada satu sisi, dengan majikan atau pengusaha. Di sisi yang berbeda, adalah hal paling vital. Bahkan upah merupakan titik sentral sebagai akibat dan sekaligus penyebab timbulnya sebuah hubungan (relasi) buruh dan majikan.

Motivasi seorang pekerja dalam menjalankan pekerjaannya, sebagai fungsi dan relasi Industrial, adalah semata-mata untuk mendapatkan Upah. Takseorangpun pekerja, mau bekerja di tempat kerja (Perusahaan) milik Pengusaha, dengan Cuma-Cuma (gratis).

Sebaliknya, bagi Pengusaha. Dalam menjalankan bisnis atas usahanya---baik yang berkaitan langsung dengan tenaga manusia (Pekerja) maupun yang tidak langsung-- adalah semata-mata untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis. Tak satu pun pengusaha, dalam menjalankan bisnis atau usahanya, selain dan semata-mata untuk memperoleh keuntungan.

Sehingga dapat disederhanakan, bahwa Jika pekerja motivasinya dalam bekerja, adalah untuk semata-mata memperoleh gaji dan upah dalam memenuhi kehidupan sehari-harinya (upah layak).

Maka, Pengusaha dalam menjalankan bisnisnya, semata-mata untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, akumulusi dan bertambahnya nilai capital dan modal.

Disinilah terjadi pertemuan---untuk tidak mengatakan konflik of interest---antara Pekerja dan Pengusaha. Maka, Negara sesuai dengan kapasitas dan fungsinya, kemudian hadir dan diharapkan dapat hadir dalam sistem peraturan dan perundang-undangan yang membawa prinsip-prinsip keadilan. Muncullah istilah perlingungan Upah, upah layak, Upah Minimum Propinsi (UMP), Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dst.

Singkatnya, Dalam proses dan Perkembangannya, Penentuan keputusan nilai dan besaran Upah yang berlaku di Indonesia, hingga saat ini, ditentukan dan diputuskan secara "Politik".

Artinya, kebijakan Pengupahan ditentukan, digodok, dirumuskan dan ditentukan oleh keterwakilan pihak-pihak berkepentingan, untuk setiap tahunnya, dalam sebuah kelembagaan keterwakilan yang dikenal dengan istilah Dewan Pengupahan (DP), di bawah Kementerian/dinas ketenagakerjaan pada setiap Jenjang. Sebelum akhirnya, diputuskan dan ditetapkan oleh Gubernur dimasing-masing Propinsi.

Dewan Pengupahan, setidak-tidaknya, terdiri dari tiga unsur kepentingan. Pertama, Perwakilan pekerja direpresentasikan dan diwakilkan melalui Organisasi Serikat Pekerja.

Kedua, perwakilan Pengusaha diwakili dan ikut menentukan, melalui Asosiasi Pengusaha.

Dan ketiga, Pemerintah dan akademisi, dalam posisi sebagai "pihak netral".

Organ inilah yang diberikan kewenangan menentukan survey Harga-harga kebutuhan Pokok di Pasar, berdebat harga-harga Komponen Kebutuhan Hidup Layak, menghitung dan satu sama lain mempertahankan pendapatnya untuk mendapatkan nilai paling layak dan ideal dalam perspektif masing-masing.

Hingga kemudian, dikeluarkan keputusan berupa "rekomendasi" yang nantinya dijadikan pertimbangan dalam penentuan Upah Minimum Propinsi (UMP), sebelum kemudian diputuskan oleh Pemerintahan Daerah tingkat Propinsi, pada setiap Propinsi di seluruh Indonesia, melalui Peraturan Gubernur (Pergub) masing-masing daerah.

Sengkarut Penentuan Upah Minimum Propinsi (UMP), Wajar

Terjadinya aksi dan unjuk rasa (menyampaikan Pendapat dimuka Umum) yang dilakukan oleh Organisasi Serikat Pekerja, dalam isu Kenaikan Upah untuk setiap tahunnya, diseluruh Indonesia--barangkali untuk saat ini dan beberapa tahun kedepan--akan terus terjadi. Dan saya kira, ini hal biasa dan wajar. Mengapa?

Ruang regulasi dan situasinya memang sangat terbuka, dan dimungkinkan untuk terjadi hal yang demikian. Setidaknya, beberapa factor penting mengapa mengapa unjuk rasa kenaikan upah terus terjadi dan akan rutin setiap tahunnya, karena beberapa alasan.

Pertama, harga dan biaya Komponen kebutuhan Hidup masyarakat, yang terdiri atas sandang, papan dan pangan, terus mengalami kenaikan. Rasanya, tidak mungkin jika tahun sebelumnya.

Misalnya, Upah Minimum Propinsi (UMP) 2019, di Jawa Timur, katakanlah sebesar Rp 3.000.000 yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh lajang (berlum berumah tangga), selama sebulan, untuk tahun berikutnya (2019) dapat memenuhi kebutuhan layak mereka.

Nah, di sinilah, harga dan biaya hidup untuk memenuhi kebutuhan pokok, dipasar sangat menentukan Gerakan Buruh, sebagai pelaku dan subyek penting dalam hubungan industrial

Kedua, sistem pengupahan yang terumuskan saat ini, memang sangat demokratis, terbuka ruang konflik antara pihak yang berkepentingan. Mulai saat pra-Penetapan Kebijakan Upah oleh Pemerintah Daerah masing-masing, saat proses berlansung, maupun pasca-ditetapkannya Upah Minimum Propinsi oleh kepala Pemerintahan tingkat Propinsi (Gubernur).

Artinya, regulasi tentang Pengupahan untuk skala Lokal hingga Nasional membuka ruang dilakukannya pressure antara para pihak. Baik Buruh maupun pengusaha dipihak yang "berseteru", maupun Pemerintah dipihak yang seolah ditengah.

Ketiga, masih terdapat pekerja rumah (PR) besar dalam perlindungan Upah, dalam artian, meskipun Upah Minimum Propinsi telah ditetapkan, banyak Pengusaha yang tidak taat dan mengikuti aturan pengupahan.

Misalnya, dibanyak tempat terutama pekerja nonformal, diupah dengan "seadanya"---untuk tidak mengatakan seenaknya---oleh Pengusaha. Dan karena berbagai hal dan pertimbangan, umumnya pekerja nonformal yang diupah dibawah aturan pengupahan (UMP) yang berlaku, akhirnya memilih diam.

Keempat, kuat dan semakin membesarnya Gerakan Organisasi Pekerja. Artinya, semakin menguatnya organsiasi Serikat Pekerja, semakin menentukan Bergaining dan membuka ruang terjadinya dinamika gerakan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, yang tentunya meniscayakan mereka berjuang untuk bagaimana peningkatan dan kenaikan upah sebagaimana yang Serikat pekerja inginkan dan canangkan dalam perjuangannya.

Dalam konteks ini, bisa dibandingkan antara daerah yang gerakan Serikat Pekerjanya mengalami perkembangan dan peningkatan, dengan daerah dibeberapa tempat, yang memang relative tidak ada gerakan dan dinamika perkembangan organisasi Serikat Pekerja.

Setidaknya, keempat hal diatas menjadi factor-faktor paling dominan mengapa, unjuk rasa dan dinamika unjuk rasa dan gelombang Gerakan Buruh turun jalan untuk menyuarakan dan tuntutan kenaikan upah, saat menjelang diputuskannya kebijakan UMP, yang akan diberlakukan untuk setiap Awal Januari, untuk setiap tahunnya.

Bagaimanapun soal sengkarut dan ruwetnya isu Pengupahan, masih ada pendekatan paling kompromis, dan harmonis antara Pekerja dan buruh dalam menentukan dan satu samalain menegosiasikan upah yang sedang dan atau akan berlaku.

Hal semacam ini, sebetulnya juga telah dilakukan di beberapa perusahaan dan secara regulasinya diatur dengan cukup baik---setidaknya untuk saat ini, dan daripada tidak samasekali---melalui Peraturan Kerja Bersama (PKB) dengan pendekatan Persuasif, social dialoge antara keterwakilan Serikat Pekerja dengan pihak Mangement Perusahaan yang telah ditunjuk untuk kepentingan tersebut.

Meskipun jika langkah ini yang diambil tentu masing-masing pihak mesti mendahulukan kepercayaan antara satu sama lain, disamping kepentingan yang bagi banyak kalangan mustahil untuk dipertemukan.

Akhirnya, satu sisi, semoga kedepan Isu Pengupahan mengalami perbaikan secara dinamis, mampu mengakomodir kepentingan dan kebutuhan buruh untuk hidupnya lebih layak dan sejahtera.

Upahnya bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, dan ada yang bisa ditabung untuk keperluan dan kebutuhan yang terus mengalami perubahan dan pekembangan.

Sementara disisi lain, semoga regulasi pengupahan menjadi solusi bagi pengusaha untuk dapat mengelola dan memelihara, meningkatkan produktifitas pekerja, sehingga keuntungan dan nilai capital mengalami peningkatan signifikan, bukan sebaliknya.

Dan tentunya, Ekonomi secara nasional mengalami pertumbungan demi sejahteranya semua masyarakat pada umumnya. Karena bagaimanapun, daya beli buruh akan mengalami peningkatan, manakala upahnya naik layak dan memenuhi standart hidup. Sehingga ekonomipun berjalan sehat, dan meningkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun