Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Pengacara - Menulis apasaja, Berharap ada nilai manfaat dan membawa keberkahan. Khususnya, untuk mengikat Ingatan yang mulai sering Lupa.

Berusaha menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Santri, Advokat bisa hubungi saya di email : ozyman83@gmail.com, HP/WA : 085286856464.

Selanjutnya

Tutup

Money

Upah, Perseteruan Tahunan Tanpa Berkesudahan

29 November 2017   17:18 Diperbarui: 29 November 2017   17:29 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era milenial isu upah selalu actual, apalagi memasuki bulan-bulan diakhir tahun. Dimana, para pimpinan daerah diseluruh wilayah NKRI telah sedang memutuskan besaran kenaikan upah, yang kemudian disebut "Upah Minimum Propinsi (UMP)" yang akan berlaku dalam setahun, untuk tahun yang akan berjalan, 2018.

Dalam menentukan besaran upah untuk setiap daerah,  pimpinan daerah, mendasarkan keputusannya, pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh Dewan Pengupahan pada setiap tingkatan. Pada tingkat kabupaten kota, terdapat Dewan Pengupahan kabupaten/kota. Demikian juga pada tingkat propinsi, terdapat Dewan Pengupahan Propinsi.

Tugas terpenting mereka adalah menentukan besaran upah, berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) yang terdiri dari 3 kebutuhan pokok antara lain sandang, pangan dan papan,  bagi setiap pekerja lajang dalam setiap bulannya, disamping pertumbuhan ekonomi daerah dan pertumbuhan inflasi.

Dewan pengupahan ini, merupakan badan atau lembaga keterwakilan dari ketiga stake holder, antara lain keterwakilan pekerja yang diwakili oleh unsure organanisasi serikat pekerja, keterwakilan pengusaha yang diwakili oleh unsure organisasi pengusaha (APINDO) dan dari Pemerintah. Juga didalamnya, terdapat keterwakilan akademisi diluar pemerintah, buruh dan pengusaha yang netral. Biasanya diambil dari kampus salah satu Universitas daerah setempat.

Isu Upah, Kebijakan Politik Tahunan

Momentum penetapan upah dilakukan pada setiap tahun oleh pimpinan daerah menggunakan Peraturan Gubernur. Gubernur punya kewenangan untuk menentukan dan menetapkan upah berdasarkan rekomendasi dari dewan pengupahan. Akhir-akhir ini, terutama pasca ditetapkan Peraturan Pemerintah 78/2015 Tentang pengupahan, Dewan Pengupahan dalam menentukan rekomendasinya, tidak satu suara. Hal ini setidaknya terjadi di Propinsi DKI Jakarta.

Inilah mengapa kemudian dipahami, bahwa penetapan UMP adalah keputusan politik. Jika penetapan upah tidak sesuai dengan harapan buruh, maka dipastikan ada gelombang aksi perlawanan. Baik dengan cara aksi demonstrasi dan atau pemogokan kerja di masing-masing pabrik atau perusahaan. Inilah kenyaataan yang hingga saat ini menjadi fakta sejarah di Indonesia dan sepertinya tidak akan berkesudahan.

Bagi mayoritas kalangan buruh, sumber utama dari sengkarut pengupahan adalah diberlakukannya, PP 78/2015 tentang pengupahan, yang membatasi tingkat kenaikan upah tidak boleh lebih dari 10%. Bahkan pemerintah pusat, melalui kementerian dalam negeri kerap melakukan "intervensi" kepada pimpinan-pimpinan daerah agar dalam memutuskan besaran kenaikan UMP berdasarkan PP 78/2015.

Padahal UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan beberapa peraturan dibawahnya, terkait dengan kebijakan pengupahan---terutama dalam hal penentuan Upah Minimum Propinsi/Kabupaten/Kota----telah diatur dengan gamblang, yang kemudian menjadi domain Dewan Pengupahan yang ada dimasing-masing daerah disemua tingkatan.

Akhirnya, isu upah dan pengupahan saya kira akan menjadi isu tahunan yang tak akan berkesudahan seiring dengan perkembangan dunia industrial. Jika kedua pihak, antara pengusaha disatu sisi dan Pekerja/buruh disisi lainnya belum ada kata sepakat dalam konteks kesejahteraan dan keadilan maka pada saat yang sama, seteru pengupahan akan terus bergulir dan mungkin akan terus memanas dan rutin sepanjang zaman.

Diluar itu semua, yang jauh lebih penting adalah bagaimana memberikan rasa keadilan terutama kepada buruh dalam isu upah dan pengupahan. Setidaknya, upah yang diterima dalam sebulan, bisa menghidupi kebutuhan pokok keluarganya dalam sebulan. Bukan justru menambah dan menumpuk hutang, karena ketidaklayakan dan ketidakcukupan upah yang diterima setiap bulannya. khusus untuk buruh Jakarta, silahkan dipertanyakan dengan jujur, apakah dengan upah 3,6 juta anda bisa menghidupi keluarga dalam satu bulan? (Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun