Malam ini, saya memenuhi undangan iNews TV untuk diwawancarai sebagai salah satu narasumber dalam acara live, bertajuk "talk to iNews", dalam kapasitas saya sebagai konsumen dan pengguna tol.
Bersama narasumber lainnya, pak Dwimawan Heru dari PT Jasamarga dan pak Tigor Nainggolan, sebagai advokat dan pengamat Transportasi. Sayang, dari Bank Indonesia tidak bisa dikonfirmasi hingga acara berlangsung.
Hal ini, sebagai rangkaian pasca saya unggah video, yang beberapa hari lalu, viral di sosial media, karena "kengenyelan" saya bersikeras tidak mau membayar dengan cara nontunai di gerbang Toll Granwisata, sebagai bentuk protes atas kebijakan yang diduga hanya menguntungkan segelintir pihak korporasi.
Singkat cerita, video viral tersebut kemudian mencuri perhatian publik secara luas. Terjadilah kemudian prokontra, penerapan Gerakan Nasional nontunai, yang akan segera efektif serentak secara nasional pada 30 Oktober 2017 nanti.
Dan tak henti di situ, akan segera disusul penerapan secara menyeluruh nirsentuh di semua gerbang tol pada Desember 2018. Setidaknya, demikian yang diinginkan oleh permen PUPR 16/2017.
Yang pro dengan kebijakan nontunai, tentu beranggapan dan berpendapat, bahwa pembayaran dengan sistem e-money nontunai adalah cara paling efektif dan solutif mengatasi kemacetan di jalan tol selama ini. Meskipun, faktanya kemacetan di tol bukan disebabkan satu-satunya, oleh sistem pembayaran manual (tunai). Masih terdapat banyak faktor di luar itu. Misalnya, makin membesarnya jumlah kendaraan, dll.
Sementara yang kontra, melihat bahwa kebijakan sistem e-money dan gerakan nasional nontunai masih menyisakan banyak problem dan persoalan. Mulai dari aspek pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, kesiapan alat dan teknologinya yang masih sering mengalami error' hingga pandangan, bahwa gerakan nasional nontunai ini semata-mata untuk kepentingan pengumpulan kapital dan investasi.
Di samping, dari aspek regulasi yang satu sama lain masih tumbang tindih. dan yang terakhir, soal ancaman PHK terdapat pekerja yang nantinya akan digantikan oleh mesin.
Di luar itu, beberapa hal penting sebagai solusi, paling tidak pemerintah terkait bersama Bank Indonesia bisa segera meninjau ulang kebijakan dan gerakan nasional nontunai, mengingat betapa kebijakan yang diharapkan menjadi solusi akan tetapi sebaliknya, menimbulkan banyak masalah baru.
Dengan misalnya, merevisi Permen PUPR sebagai payung hukum dari pembayaran nontunai di jalan tol. Dengan tetap memberikan ruang dan hak setiap konsumen memilih dengan cara apa dia mau membayar. Cara ini, saya kira merupakan jalan tengah.
Mengapa? Karena gerakan nasional nontunai tetap bisa dilaksanakan, sementara hak konstitusi siapapun pengguna toll sebagai konsumen tetap diberikan. Kecuali, semua sudah bisa dipastikan telah terintegrasi secara sistemik tanpa menyisakan persoalan-persoalan penting dan krusial, dalam kaitannya tiga hal besar,
Pertama, dari sisi aturan dan regulasi satu sama lain sinergi, tanpa ada pertentangan, bahkan potensi pelanggaran.
Kedua, dari sisi sumber daya, baik sumber daya teknologi lebih-lebih sumber daya manusia. Masuk dalam konteks ini adalah juga soal tenaga kerja.
Dan yang ketiga, secara ekonomi. Meskipun dalam kaitannya ini semata-mata bisnis. Harus dipastikan dan diyakinkan bahwa semua diuntungkan. Bukan yang satu buntung (konsumen dan rakyat), sementara yang lain, menikmati keuntungannya terlampau tinggi.
Keempat, media dan publik tetap diberikan ruang kritis untuk bisa sama-sama mengawasi setiap fasilitas publik dengan baik.
Akhirnya, saya ingin mengatakan dalam memberikan apresiasi tinggi, kepada semua pihak yang punya itikad baik dan cita-cita luhur agar negara ini tetap merdeka, adil merata secara sosial dan rakyatnya sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H