Atau begitu fokus berkeluarga mereka hanya fokus di situ, tak membiarkn tubuhnya berperan di luar rumah untuk mengorganisir kegiatan atau gerakan. Saya kira memang ada fase hidup yang berubah, di mana pernikahan dan keluarga merubah cara pandang orang, mungkin karena mencari nafkah untuk keluarga itu tuntutan domestik yang kadang memusingkan, saking memusingkannya tak sempat memikirkan hal lain. Belum lagi kalau ada masalah domestik yang pelik. Makanya ya alhamdulillah, masih ada teman-teman yang meskipun sudah berkeluarga masih mau ikut bikin gerakan atau pemberdayaan atas sarana dan usungan isu apa saja. Yang jelas kita tak bisa maksa orang untuk mengikuti cara berpikir kita, tapi kita punya hak untuk menyampaikan pikiran kita. Ya kita mulai dari kita sendiri, kolektif kita dulu, baru bikin program untuk bagaimana pengaruhi orang. Mungkin itu konsep gerakan pengorganisiran kesadaran yang sejak dulu saya pahami.
5. Jika Dilihat dibeberapa media, terutama yang mengulas sosok anda, anda dulu pernah aktif di dunia gerakan mahasiswa, sering aksi-aksi di jalanan untuk menyikapi persoalan2 dan isu publik. Bagaimana anda melihatnya sekarang?
Jawab:
Yaitu tadi. Ada judul kisah “Revolusi Sampai Skripsi”, untuk saya tolong dikasih judul “Revolusi Belum Selesai” tapi ada kalau itu terlalu radikal, diganti aja “Perjuangan terus berlanjut” (A luta continua). Hahaha... Bagi saya namanya isu publik ya publik harus berpartisipasi aktif, kalau ada penyimpangan terhadap kebijakan publik karena akan berdampak pada publik, makanya publik harus sadar dan lantas mengontrol kebijakan publik. Makanya mendorong agar rakyat melek hak-hak publik dan alur pembuatan kebijakan publik harus terus dilakukan. Di sinilah yang kami maksud Literasi dalam arti luas. Jadi Literasi itu awalnya hanya mengajari generasi membaca dan menulis, memahami teks dan mengungkapkan pikiran. Lantas harus maju pada “political literacy” atau intinya melek kebijakan publik. Dengan membaca mereka akan mampu belajar memahami alur kebijakan dan arah tindakan orang-orang di sekitarnya. Dengan menulis dan bicara mereka akan berani aktif berkomunikasi untuk mengontrol agar yang salah ia berani bicara salah dan yang benar di benarkan.
Bagaimana sekarang? Ruang publik malah relatif terbuka dengan munculnya media sosial yang membuat apa yang mungkin pernah dicita-citakan Habermas sebagai “komunikasi bebas hambatan”. Coba, dengan facebook orang dari latarbelakang apa saja bisa bicara dan menulis. Nah, di sinilah ruang itu membuka kesempatan. Jadi konteks sekarang, literasi menjadi penting karena membaca akan memperbanyak kosakata, mengajari menulis akan membuat mereka bisa nulis status yang lebih bagus, bernalar, kritis, aspiratif. Nggak sekedar nulis status “Ihhh, sebel”. “Media literacy” istilahnya. Bagaimana menggunakan media untuk menyapaikan dan menerima pesan untuk pencerdasan dan pertukaran informasi yang memperbaiki keadaan.***
[Gambar ini adalah Profilnya, saat diangkat oleh harian KOMPAS pada 11 Desember 2015 yang lalu]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H