Maka tahun 2009 itulah kegiatannya sangat sibuk dan harus membagi waktu. Di desa ngurusi Karangtaruna. Dia ngajar di sekolah. Dan ia kuliah. Di kampus ia ternyata bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa yang mengharapkan Nurani jadi mentor, terutama setelah Nurani melaunching buku karyanya yang berjudul “Memahami Filsafat Cinta” untuk menyemarakkan peringatan Hari Valentine. Maka, dikampus itulah ia semakin dikerubungin mahasiswa yang ingin belajar nulis. Itulah yang melatarbelakangi berdirinya sebuah UKM yang bernama Komunitas Mahasiswa Pecinta Sastra (KOMPAS).
Di luar kampus, ternyata Nurani menemukan kota kecil tempat tinggalnya sebagai kota yang kian menarik bagi posisinya yang terlanjur dikenal sbagai penulis. Dan ternyata ia mulai berkenalan dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Dan ia baru tahu ternyata di Trenggalek banyak penulis senior yang sebenarnya pada dekade 1980-an dan 1990-an melahirkan penulis-penulis seperti Bonari Nabonenar, St Sri Emyani di mana keduanya aktif mengisi rubrik sastra (cerkak dan geguritan) di berbagai majalah berbahasa Jawa (Joko Lodang, Penyebar Semangat, Jaya Baya). Juga beberapa kenalan pemuda Trenggalek yang kuliah di luar kota yang juga aktif di kegiatan jurnalistik dan kepenulisan. Pada saat yang sama ia melihat kehadirannya melahirkan minat yang besar di kalangan anak-anak muda untuk belajar menulis.
Itulah yang kemudian menginspirasi Nurani dan beberapa temannya untuk mendirikan kegiatan literasi bulanan yang dinamakan “Arisan Sastra”. Kegiatannya cukup unik. Sekitar 40-an orang berkumpul tiap bulan, arisan uang Rp 10 ribuan, lantas uang itu dikopyok dan yang “motel” (dapat uangnya) diwajibkan menulis dan mempresentasikan karyanya untuk diapresiasi bersama-sama. Karya yang diprresentasikan adalah bebas, bisa puisi atau prosa, bisa panjang atau pendek, satu atau lebih. Di acara itu dihadirkan pengulas yang kompeten, seperti dosen sastra atau penulis luar kota.
Kadang juga bedah buku. Tercatat beberapa kali bedah buku karya penulis luar Trenggalek. Misalnya adalah buku catatan perjalanan, “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia” karya Sigit Susanto terbitan INSIST Yogya. Penulis buku ini lebih banyak tinggal di luar negeri keliling dunia. Lalu, buku “Surat Dari Praha” (kumpulan cerpen) karya Yusri Fajar sastrawan Malang. Juga buku “Gerakan Literasi Mencerdaskan Bangsa” karya Muhsin Kalida dosen kampus UIN Yogya sekaligus ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) pusat.
Tempat arisan sastra tergantung pada peserta yang kebagian mempresentasikan karya. Bisa dibawa ke rumahnya, di sekolah, kampus, balai desa, dan sekali pernah dibawa ke Pendapa Kabupaten Trenggalek yang waktu itu dihadiri para pejabat pemerintah. Karena itulah persebaran budaya menulis dan istilah sastra itu sendiri sejak saat itu mulai ‘booming’—suatu yang sebelumnya tak terfikirkan atau tak dikenal. Peserta dan anggota arisan sastra amat majemuk (plural), ada guru, mahasiswa, pelajar, pejabat, tua, muda, belia... Semuanya bersatu atas nama kreativitas di bidang sastra dan kepenulisan.
Nurani sendiri lebih banyak menulis karya yang non-fiksi atau bukan sastra. Tulisannya yang dimuar di media kebanyakan adalah opini, esai, resensi buku, dan hanya sedikit puisi. Tapi ketertarikannya pada sastra sudah muncul sejak SMA ketika ia menulis di majalah dinding, lalu dimuat di Majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA), majalah terbitan Departemen Agama Jawa Timur. Itu terjadi kelas 3 SMA. Di waktu kuliah tulisannya banyak menghiasi majalah kampus dan luar kampus, juga media lokal.
Ia baru tahu kalau menulis itu bisa mendapatkan honor banyak ketika teman kampusnya memberitahukan bahwa tulisannya dimuat di ruang ppini Kompas Jatim (waktu itu masih ada Kompas daerah) dan mendapatkan honor Rp 400.000,-. Mulai saat itulah, tahun 2004, Nurani mengirimkan tulisannya di koran-koran. Hingga ia telah bisa menembus koran-koran nasional (Kompas, SINDO, Jawa Pos, Surya, Suara Karya, Media Indonesia, Sinar Harapan, dll). Terutama ketika ia mendapatkan sumbangan uang Rp 5 Juta dari Jakoeb Utama setelah ia mengirimkan proposal untuk pembelian labtop, iapun bertekad bertahan hidup dari menulis, sekaligus hidup dalam dunia sastra dan pemikiran. Bertahan hidup dari menulis itulah yang membuatnya bertahan hidup dengan berperan sebagai aktivis gerakan.
Setelah buku pertamanya terbit pada Mei 2007, iapun lebih banyak masuk ke dunia penulisan buku sambil sesekali menulis di media. Itupun tak bisa ditinggalkan ketika ia pulang kampung dan berperan dengan tingkat kesibukan yang tenyata juga tak kalah dengan ketika ia jadi aktivis pergerakan. Bahkan, kelihaiannya mempengaruhi orang yang membuat sebuah forum Arisan Sastra berdiri, tak lepas dari ketrampilan mengorganisir orang yang ia dapat ketika ia jadi aktvis baik mulai di Jember, hingga di Jakarta ketika ia ditugaskan di organisasi buruh. Itulah yang membuat pengorganisiran kegiatan melalui Arisan Sastra menjadi mudah dilakukan dan gaungnya juga cepat.
Acara Arisan Sastra bulanan, selain dihadiri para penulis luar Trenggalek, juga dihadiri satrawan dari berbagai kota Jawa Timur. Mereka hadir untuk membaca puisi atau berbagi pengetahuan seputar sastra, dunia buku, dan tulis-menulis. Inilah yang menjadikan Forum Arisan Sastra ini menjadi fenomenal. Kegiatan Arisan itu berlangsung selama tiga tahunan (2010-2013). Berikutnya arisan sastra bulanan diganti dengan acara yang tidak rutin. Ada beberapa hal yang digarap. Membangun Taman Bacaan, menerbitkan karya-karya penulis Trenggalek baik yang senior atau yang pemula. Diklat menulis minimal setahun sekali, lomba nulis minimal setahun sekali. Hingga diskusi-diskusi seputar sastra, budaya, hingga permasalahan masyarakat. Arisan Sastra dikenal memiliki anggota-anggota yang kritis terhadap persoalan-persoalan.
Ternyata semua kegiatan tak mampu diambil semua oleh Nurani. Ia akhirnya tak lulus kuliah untuk mendapatkan ijasah mengajar (guru). Kesibukannya bertambah ketika ia diajak mantan teman SMA-nya untuk menjadi pembicara Seminar Guru dengan materi “Kiat Menulis di Media Massa untuk Guru”. Mengingat bukunya sudah dua puluh judul lebih yang ditulisnya, juga seratus lebih tulisan di koran, temannya yang kerja di Lembaga Diklat Guru di Malang itu tak mau kehilangan kesempatan untuk menjadikan Nurani sbagai Narasumber. Selama hampir 3 bulan Nurani dikontrak untuk mengisi diklat profesionalisme guru itu di hampir semua kabupaten/kota di Jatim.