Masa Bertahan Pergerakan Nasional
Masa pergerakan nasional di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga masa yaitu masa kooperatif, masa radikal, dan terakhir disebut masa bertahan. Sejarah Indonesia sejak tahun 1908 memulai babak baru, yaitu babak pergerakan nasional. Hal itu ditandai dengan berdirinya Budi Utomo. Tiga tahun setelah Boedi Oetomo lahir, tahun 1911 berdiri organisasi bagi orang-orang Islam di Indonesia, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo oleh Haji Samanhudi. Lalu namanya dirubah menjadi Sarekat Islam untuk menarik anggota lebih banyak. Selain organisasi yang disebut diatas masih banyak organisasi lain yang didirikan baik bersifat kooperatif maupun radikal. Tetapi tujuan dari organisasi tersebut hampir sama yaitu kemerdekaan Indonesia walaupun tidak terang-terangan diungkapkan. Banyak sekali organisasi-organisasi radikal yang melakukan aksinya. Tetapi akhirnya, Gubernur Jenderal saat itu sangat reaksioner terhadap pergerakan, maka organisasi-organisasi pada masa ini dinyatakan terlarang dan tokoh-tokohnya diasingkan. PNI merupakan organisasi terakhir yang menandai berakhirnya masa pergerakan radikal.
Pada masa awal tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis. Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama, akibat krisis ekonomi atau malaise yang melanda dunia, memaksa Hindia Belanda untuk bertindak reaksioner dengan tujuan menjaga ketertiban dan keamanan. Dalam rangka kebijakan itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan beberapa pasal karet dan exorbitante rechten secara lebih efektif. Kedua, diterapkannya pembatasan hak berkumpul dan berserikat yang dilakukan pengawasan ekstra ketat oleh polisi-polisi Hindia Belanda yang diberi hak menghadiri rapat-rapat yang diselenggarakan oleh pattai politik. Selain itu juga dilakukan pelarangan bagi pegawai pemerintah untuk menjadi anggota partai politik. Ketiga, tanpa melalui proses terlebih dahulu Gubernur Jenderal dapat menyatakan suatu organisasi pergerakan atau kegiatan yang dilakukannya bertentangan dengan law and order sesuai dengan Koninklijk Besluit tanggal 1 September 1919. Peraturan itu merupakan modifikasi dari pasal 111 R.R. (Regrering Reglement). Keempat, banyak tokoh pergerakan kebangsaan di Indonesia yang diasingkan, seperti Soekarno, Hatta, dan Syahrir.1
Hal diatas menjadi semakin parah ketika Hindia Belanda diperintah Gubernur Jenderal yang konservatif dan reaksioner yaitu de Jonge (1931-1936). . Periode awal 1932 sampai dengan pertengahan 1933 tidak hanya ditandai oleh perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegerasian organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakin meningkat terutama sebagai dampak politik agitasi yang dijalankan oleh Soekarno. Tetapi dalam hal ini, Gubernur Jenderal de Jonge secara konsekuen menjalankan politik “purifikasi” atau “pemurnian” artinya menumpas segala kecenderungan ke arah radikalisasi dengan agitasi massa dan semua bentuk nonkooperasi . Dengan tangan besinya, Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan otoritasnya, sehingga setiap gerakan yang bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggunng jawab atas keadaan di Hindia Belanda, dan baginya dibayangkan bahwa dalam masa 300 tahun berikutnya pemerintah itu akan masih tegak berdiri . Politik represifnya berhasil menghentikangerakan politik nonkooperasi sama sekali.
Pemerintah Hindia Belanda tidak bersedia memulihkan hak politik bagi pergerakan nasional di Indonesia. Tetapi Hindia Belanda masih membiarkan organisasi pergerakan yang moderat untuk hidup. Hal itu juga disebabkan beberapa hal seperti menjamin demokrasi yang makin tumbuh pasca Perang Dunia I, keamanan yang diciptakan organisasi itu, dan sebab-sebab lainnya yang dianggap tidak merugikan pihak Hindia Belanda. Pemerintah Belanda tidak hendak mematikan pergerakan di Indonesia. Mereka tahu bahwa perasaan rakyat yang tidak tersalurkan karena dibungkam oleh pemerintah akan mencari jalan lain yang dapat menimbulkan gerakan-gerakan eksplosif yang tidak diinginkan. Pemerintah Hindia Belanda hanya hendak melemahkan aktivitas pergerakan yang bersifat radikal-revolusioner. Yang diharapkan oleh pemerintah kolonial adalah semacam nasionalisme yang lunak dan kompromis, yang dapat digunakan sebagai alat untuk membendung perasaan rakyat yang membara dan menyalurkan ke arah pergerakan yang tidak membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda.2 Kita lihat bagaimana pemerintah Hindia Belanda tidak menghilangkan pergerakan nasional di Indonesia tetapi dilemahkan dengan mengadakan vergaderverbod (larangan berkumpul). Tokoh-tokoh pergerakan Indonesia banyak yang diasingkan sehingga ruang gerak baginya dan organisasinya semakin sempit. Akan tetapi hal itu tidak membuat pergerakan nasional berhenti.
Sementara itu suasana politik dunia semakin tegang, tambahan pula Jepang dengan pemerintahan militernya menjalankan pula politik ekspansionisme di daerah pasifik. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia kaum nasionalis menyadari bahwa dalam menghadapi fasisme tidak adaalternatif lain daripada memihak demokrasi. Maka dari itu perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dilakukan secara mutlak bersikap anti. Ada kebersamaan yang mendekatkan kaum nasionalis dengan penguasa kolonial, yaitu mempertahankan demokrasi terhadap bahaya fasisme. Kesadaran itu muncul lebih dahulu di kalangan Perhimpunan Indonesia yang mulai melakukan haluan kooperasi. Pergerakan nasional yang berada di Indonesia juga mulai bersikap kooperatif.
Aktivitas Pergerakan pada Masa Bertahan
Sejak tahun-tahun 1930-an peranan lembaga politik kolonial (Volksraad) makin meningkat. Lembaga itulah yang satu-satunya alat yang dibenarkan pemerintah kolonial untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan pelbagai golongan. Sebab itu suara yang muncul dalam volksraad yang berasal dari golongan kooperasi itu sangat penting untuk mengetahui pemikiran-pemikiran bangsa Indonesia sejak sekitar tahun 1930 sampai 1942. Dalam masa dari tahun 1935 sampai 1942, partai-partai politik bangsa Indonesia menjalankan taktik-taktik parlementer yang moderat. Hanya organisasi-organisasi nonpolitik dan partai-partai yang bersedia bekerjasama dan setuju punya wakil dalam dewan-dewan ciptaan Belanda yang terjamin mendapat sedikit kekebalan dari gangguan pengawasan polisi. Dan satu-satunya forum yang secara relatif bebas menyatakan pendapat politik adalah dewan perwakilan ciptaan pemerintah kolonial Belanda itu. Dengan demikian, satu-satunya cara bagi gerakan nasionalis untuk mengusahakan perubahan ialah dengan jalan mempengaruhi pemerintah kolonial Belanda secara langsung melalui dewan tersebut, tidak dengan mengatur dukungan massa.3
Tokoh-tokoh pergerakan mulai memunculkan ide tentang pembentukan Fraksi Nasional di dalam volksraad. Akhirnya fraksi ini dapat didirikan tanggal 27 Januari 1930 di Jakarta beranggotakan 10 orang yang berasal dari daerah Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Aktivitas dalam volksraad berlangsung dengan berbagai aktivitas pergerakan yang dilakukan. Perjuangan yang pernah dilakukan antara lain adalah dikelurkannya Petisi Soetardjo, dsb.
Gagasan pembentukan badan konsentrasi nasional
Setelah kekalahan Petisi Soetardjo dalam volksraad, maka gerakan yang dilakukan kembali memutar otak. Meskipun akhirnya Petisi Soetardjo itu ditolak, petisi itu ternyata mempunyai pengaruh juga yaitu membantu membangkitkan gerakan nasionalis dari sikap mengalah yang apatis yang telah menimpanya sejak gerakan nonkooperasi dilumpuhkan. Suatu gagasan untuk membina kerjasama diantara partai-partai poltik dalam bentuk federasi timbul kembali pada tahun 1939. Thamrin (tokoh Parindra) menggagas pembentukan suatu badan konsentrasi nasional. Badan itu sangat dibutuhkan ketika kondisi saat itu benar-benar membutuhkan. Dalam penjelasannya, Thamrin mengatakan bahwa badan ini nantinya tidak mengikat organisasi-organisasi yang ada, mereka tetap bebas untukmelakukan programnya sendiri. Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta berhasilah didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai-partai politik dan organisasi-organisasi dengan diberi nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). 4
GAPI dan signifikansinya dalam perjuangan kemerdekaan
Di dalam anggaran dasarnya, diterangkan bahwa GAPI berdasarkan kepada:
Hak untuk menentukan nasib sendiri.
Persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia, dengan berdasarkan kerakyatan dalam faham politik, ekonomi, dan sosial.
Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia.5
Dalam konferensi pertamanya pada tanggal 4 Juli 1939, GAPI menyatakan tentang aksinya yaitu “Indonesia Berparlemen”. Hal itu menjelaskan bahwa GAPI tidak langsung menuntut kemerdekaan penuh, tetapi menginginkan parlemen yang berdasarkan kepada nilai demokrasi. Perjuangan untuk mendapatkan dukungan, baik dari pemerintah colonial Belanda maupun dari organisasi-organisasi pergerakan yang ada saat itu sangat terlihat dalam setiap gerak langkah yang ia lakukakn. Ketika dunia disibukkan dengan meletusnya Perang Dunia ke-2, yaitu penyerbuan Jerman terhadap Polandia, pada tanggal 20 September 1939, GAPI mngeluarkan pernyataan (yang dikenal dengan Manifest GAPI) yang berisi tentang ajakan terhadap rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerjasama menghadapi fasisme. Hal itu mendapat sambutan luas sekaligus liputan pers yang cukup banyak. GAPI juga melakukan rapat umum yang mencapai puncaknya pada tanggal 12 esember 1939. Tidak kurang dari 100 tempat di Indonesia mempropagandakan tujuan GAPI seakan-akan Indonesia bergemuruh dengan seruan Indonesia berparlemen. Untuk mendukung aksinya, GAPI membentuk Kogres Rakyat Indonesia. Tujuannya adalah Indoneswia Raya, bertemakan untuk kesejahtreraan rakyat Indonesia dan kesempurnaan cita-citanya, dan sasaran utamanya adalah Indonesia berparlemen penuh. Keputusan penting dari Kongres tersebut adalah penetapan bendera Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia, serta peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia.6
GAPI mulai mendapat perhatian dari pemerintah Belanda. Pembahasan mengenai tuntutan Indonesia berparlemen sudah dibahas sampai kepada tingkat tweede kamer. Tetapi secara umum, beberapa pihak di Belanda kurang setuju dengan tuntutan tersebut. Melihat kenyataan tersebut, GAPI mengeluarkan pernyataan pada tanggal 5 Februari dan 5 Maret 1940 yang menyatakan bahwa tuntutan Indonesia berparlemen akan diteruskan sampai berhasil. Aksi lainnya yang dilakukan GAPI antara lain adalah dengan mengeluarka resolusi yang menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hokum tatanegara dalam masa genting (nood staatsrecht). Isis resolusi tersebut yaitu mengganti volksraad dengan parlemen sejati yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, merubah fungsi kepala-kepala departemen (departemenshoofden) menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen tersebut. Tuntutan ini dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, volksraad, Ratu Wilhelmina, dan cabinet Belanda di London. Atas dasar itulah maka pada tanggal 14 September 1940 dibentuklah komisi untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan (Commissie tot bestudeering van staatsrechtelijke). Komisi ini diketuai oleh Dr. F.H Visman, selanjutnya dikenal dengan nama Komisi Visman. Pada awal pembentukannya, kalangan pergerakan mempertanyakan keberadaan kegunaan komisi itu. Akhirnya Komisi Visman menghasilkan laporan yang cukup tebal tentang berbagai tuntutan dan harapan-harapan rakyat Indonesia. Laporan itu terbit pada tahun 1942 hanya beberapa minggu sebelum kedatangan tentara Jepang ke Indonesia, sehingga laporan tersebut tidak jelas nasibnya.7
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono. (1990). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia
Notosusanto, Nugroho. (1993). Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka
Utomo, Cahyo Budi. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press
1 Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan, IKIP Semarang Press, Semarang, 1955, hal. 149-150.
2 Cahyo, op.cit, hal.157.
3 Ibid., hal.161.
4 Nugroho, op.cit., hal. 231
5 Ibid
6 Ibid., hal. 232-233
7 Cahyo, op.cit., hal. 166
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H