Mohon tunggu...
ahmad Farzah
ahmad Farzah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ahmad Farzah Putra (43223010158) Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mercu Buana, Dengan nama dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Gaya Kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono

24 Oktober 2024   13:28 Diperbarui: 24 Oktober 2024   13:48 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PENDAHULUAN

Kepemimpinan adalah suatu konsep yang terus berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan konteks zaman dan situasi sosial masyarakat. Dalam sejarah Indonesia, gaya kepemimpinan tradisional seringkali berakar kuat pada nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. 

Salah satu tokoh yang mencerminkan hal tersebut adalah Raden Mas Panji Sosrokartono, seorang cendekiawan, jurnalis, penerjemah, dan pejuang kemerdekaan yang juga dikenal sebagai kakak dari tokoh emansipasi perempuan Indonesia, Raden Ajeng Kartini. 

Sosrokartono memiliki peran penting dalam pergerakan intelektual dan politik pada masa penjajahan Belanda, dan meskipun kiprah kepemimpinannya mungkin kurang mendapatkan perhatian sebesar Kartini, pengaruh dan gaya kepemimpinannya tetap relevan untuk dikaji lebih dalam.

Diskursus tentang gaya kepemimpinan Sosrokartono menarik untuk dibahas karena ia bukan hanya seorang pemikir yang brilian, tetapi juga seorang figur yang mampu menjembatani antara tradisi dan modernitas. Sosrokartono mendapatkan pendidikan barat di Universitas Leiden, Belanda, salah satu universitas paling bergengsi di Eropa pada masa itu. 

Meskipun mendapatkan pendidikan di Barat, ia tetap menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual dan kebudayaan Jawa, yang kemudian membentuk pendekatan kepemimpinannya yang unik. Gaya kepemimpinannya mencerminkan penggabungan antara rasionalitas barat dan spiritualitas timur, menjadikannya seorang pemimpin yang memiliki wawasan holistik dan kemampuan untuk memadukan berbagai pandangan dalam satu kesatuan yang harmonis.

Sosrokartono dikenal dengan julukan "Si Jenius dari Timur", yang mencerminkan pengakuan terhadap kecerdasannya yang luar biasa. Ia menguasai lebih dari 24 bahasa asing, suatu prestasi yang sangat langka di zamannya.

 Kemampuan linguistiknya ini membantunya untuk berperan dalam forum-forum internasional dan berkontribusi dalam upaya diplomasi Indonesia di kancah global.

 Namun, di balik kecerdasannya yang luar biasa, Sosrokartono memiliki pendekatan kepemimpinan yang lebih bersifat spiritual, kontemplatif, dan penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Gaya kepemimpinannya bukanlah gaya yang mengandalkan kekuasaan atau otoritas formal, melainkan lebih kepada pendekatan persuasif, kebijaksanaan, dan contoh moral yang ia tunjukkan dalam kehidupannya sehari-hari.

Sebagai seorang pemikir, kepemimpinan Sosrokartono tidak hanya berakar pada ideologi politik atau sosial tertentu, tetapi lebih pada pandangan filosofis yang ia anut. Ia percaya bahwa kepemimpinan sejati harus didasarkan pada kebijaksanaan (wisdom), keadilan, dan pengabdian kepada kemanusiaan. 

Gaya kepemimpinannya tidak menekankan pada otoritas yang bersifat formal atau kekuasaan yang dipegang dalam struktur pemerintahan. 

Sebaliknya, ia lebih mengutamakan pengaruh moral dan etika yang ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari, menciptakan model kepemimpinan yang lebih reflektif, spiritual, dan humanis.

Pembahasan tentang diskursus gaya kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono penting dilakukan untuk memahami peran para pemimpin intelektual di Indonesia pada masa kolonial dan bagaimana mereka mempengaruhi masyarakat dalam membentuk identitas nasional.

 Sosrokartono, sebagai seorang intelektual yang memiliki akses ke dunia barat namun tetap berakar pada nilai-nilai lokal, menawarkan model kepemimpinan yang relevan untuk dipelajari dalam konteks modern. 

Di era globalisasi seperti sekarang ini, di mana kepemimpinan sering dihadapkan pada dilema antara modernitas dan tradisi, gaya kepemimpinan Sosrokartono dapat menjadi inspirasi dalam menghadapi tantangan kepemimpinan di masa depan.

Dalam pembahasan ini, penulis akan mengupas lebih dalam mengenai sosok Raden Mas Panji Sosrokartono, gaya kepemimpinan yang ia kembangkan, serta bagaimana pengaruh kepemimpinannya dapat dibaca dalam konteks pergerakan nasional dan global. 

Diskusi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru tentang bagaimana kepemimpinan yang didasarkan pada keseimbangan antara pemikiran rasional dan spiritualitas dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan.


APA ITU DISKURSUS GAYA KEPEMIMPINAN RADEN MAS PANJI SOSROKARTONO?

Diskursus tentang gaya kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono merupakan kajian tentang bagaimana cara Sosrokartono memimpin dan mempengaruhi orang lain, yang didasarkan pada nilai-nilai tertentu yang ia anut. 

Sosrokartono adalah sosok yang unik dalam sejarah Indonesia, tidak hanya karena kecerdasannya yang luar biasa, tetapi juga karena gaya kepemimpinannya yang sangat berbeda dari kebanyakan pemimpin pada masanya. 

Gaya kepemimpinan ini tidak hanya berhubungan dengan tindakan langsung atau keterlibatan politik yang formal, tetapi lebih kepada pengaruhnya secara moral, intelektual, dan spiritual.

Pada dasarnya, kepemimpinan Sosrokartono tidak bersifat konvensional seperti yang kita lihat dalam sosok pemimpin militer atau politik. Kepemimpinannya lebih bersifat kultural dan spiritual, yang berarti ia memimpin dengan cara memberikan teladan moral dan kebijaksanaan, bukan dengan kekuasaan atau otoritas resmi.

 Sosrokartono percaya bahwa seorang pemimpin yang baik harus memiliki karakter yang kuat, kebijaksanaan yang mendalam, serta hati yang penuh pengabdian kepada sesama manusia. Karena itulah, dalam banyak hal, ia lebih dikenal sebagai pemimpin spiritual daripada pemimpin politik.

Salah satu prinsip utama yang sering dikaitkan dengan gaya kepemimpinan Sosrokartono adalah semboyannya, "Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake." Semboyan ini bermakna bahwa kekayaan tidak selalu harus diukur dengan harta benda, kekuatan tidak harus bergantung pada senjata, dan kemenangan sejati adalah ketika kita dapat mencapai tujuan tanpa merendahkan atau menjatuhkan orang lain. 

Bagi Sosrokartono, kepemimpinan adalah tentang kekuatan moral dan kebijaksanaan yang mampu membimbing orang lain tanpa paksaan atau kekerasan. Ia lebih percaya pada pengaruh batin dan spiritual yang mendalam daripada menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan kehendak.

Selain itu, Sosrokartono memiliki pandangan yang sangat holistik tentang kepemimpinan, yang berarti ia melihat seorang pemimpin tidak hanya sebagai seseorang yang memiliki kekuasaan atau keahlian teknis, tetapi juga seseorang yang harus seimbang dalam hal intelektual, emosional, dan spiritual. 

Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai seorang bangsawan Jawa, di mana budaya Jawa sangat menekankan pentingnya harmoni antara pikiran, hati, dan jiwa. 

Sebagai seorang yang juga terdidik di Barat, khususnya di Universitas Leiden, Belanda, Sosrokartono mampu menggabungkan nilai-nilai tradisional Jawa dengan pemikiran modern dari Barat. Hasilnya adalah gaya kepemimpinan yang tidak hanya bijaksana dan reflektif, tetapi juga progresif dan relevan dalam konteks global.

Sosrokartono dikenal luas sebagai seorang cendekiawan yang menguasai lebih dari 24 bahasa. Hal ini menunjukkan betapa ia memiliki wawasan yang luas dan pemahaman mendalam tentang berbagai budaya dan pandangan dunia. 

Kemampuannya berkomunikasi dalam banyak bahasa juga membuatnya berperan sebagai diplomat dan jurnalis perang di Eropa selama Perang Dunia I.

 Dalam peran ini, Sosrokartono menunjukkan gaya kepemimpinan yang sangat berfokus pada diplomasi dan perdamaian, menghindari konfrontasi dan mencari solusi yang damai melalui dialog. Ia percaya bahwa konflik tidak harus diselesaikan dengan kekerasan, tetapi bisa diatasi melalui kebijaksanaan, pemahaman, dan komunikasi yang efektif.

Pada intinya, diskursus tentang gaya kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono adalah sebuah kajian tentang bagaimana nilai-nilai spiritual, moral, dan intelektual dapat membentuk cara seseorang memimpin. 

Gaya kepemimpinannya tidak hanya relevan dalam konteks sejarah Indonesia, tetapi juga dapat menjadi inspirasi bagi pemimpin masa kini yang menghadapi tantangan dunia modern. 

Sosrokartono mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati bukanlah tentang kekuasaan atau kekuatan fisik, tetapi tentang kemampuan untuk mempengaruhi dan menginspirasi orang lain melalui integritas, kebijaksanaan, dan dedikasi terhadap kemanusiaan.

MENTAL JAWA

Dalam diskursus gaya kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono,"MENTAL JAWA" menjadi elemen kunci yang membentuk karakter dan pola pikirnya sebagai pemimpin. Mental Jawa, dalam konteks ini, merujuk pada serangkaian nilai, filosofi, dan cara pandang hidup yang tumbuh dari tradisi dan budaya Jawa. 

Filosofi ini tidak hanya sekadar pandangan tentang bagaimana menjalani kehidupan pribadi, tetapi juga berperan penting dalam cara seseorang memimpin dan berinteraksi dengan masyarakat. Bagi Sosrokartono, mental Jawa adalah dasar utama yang menuntun setiap tindakannya, baik dalam ranah sosial, intelektual, maupun spiritual.

Salah satu inti dari mental Jawa adalah konsep Keseimbangan/Harmony.

Masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai harmoni antara manusia dengan alam, antara manusia dengan sesama, dan antara manusia dengan dirinya sendiri. Konsep ini berkaitan erat dengan pandangan hidup yang tidak terburu-buru, menjaga keselarasan dalam setiap keputusan, serta menghindari konflik terbuka. Dalam hal kepemimpinan, mentalitas ini diterjemahkan menjadi gaya kepemimpinan yang lebih mengutamakan kompromi, kesabaran, dan kebijaksanaan.

 Seorang pemimpin yang mengusung mental Jawa tidak hanya memikirkan hasil akhir, tetapi juga proses yang ditempuh untuk mencapainya, memastikan bahwa setiap langkah dilakukan dengan penuh pertimbangan dan tanpa merusak keseimbangan sosial.

Selain itu, Tepo Seliro atau Tenggang Rasa

adalah konsep lain yang sangat penting dalam mental Jawa. Ini mengajarkan bahwa seseorang harus mampu memahami perasaan dan kebutuhan orang lain sebelum bertindak. Dalam konteks kepemimpinan, tepo seliro menekankan pentingnya seorang pemimpin untuk memiliki empati yang kuat terhadap rakyatnya. 

Sosrokartono menerapkan nilai ini dengan menunjukkan kepedulian yang besar terhadap kemanusiaan, di mana ia selalu berusaha menolong dan membimbing orang-orang di sekitarnya, baik melalui pendidikan maupun pelayanan spiritual.

 Mental Jawa yang berlandaskan tenggang rasa ini membuat Sosrokartono selalu berusaha mencari solusi yang damai dan menghindari cara-cara yang bersifat koersif atau memaksa.

Kemudian, ada juga prinsip Nrimo ing Pandum

yang berarti menerima apa yang telah ditentukan atau diberikan oleh Tuhan dengan ikhlas. Masyarakat Jawa percaya bahwa setiap individu memiliki takdirnya masing-masing, dan bagian dari kebijaksanaan hidup adalah menerima hal tersebut dengan lapang dada, tanpa ambisi yang berlebihan. Dalam gaya kepemimpinan Sosrokartono, nrimo ing pandum ini tercermin dalam sikapnya yang sederhana dan rendah hati. 

Meskipun memiliki latar belakang bangsawan dan pendidikan tinggi di Barat, ia tetap hidup dengan penuh kesederhanaan, jauh dari kemewahan dan kekuasaan.

 Sosrokartono tidak mengejar popularitas atau kedudukan tinggi dalam pemerintahan kolonial, tetapi lebih memilih menjadi guru spiritual yang mengabdikan hidupnya untuk masyarakat. Sikap ini memperlihatkan bagaimana mental Jawa menuntun seseorang untuk hidup dalam kesederhanaan, serta fokus pada pengabdian dan kebajikan.

Filosofi lain yang juga penting dalam mental Jawa adalah Aja Dumeh

yang berarti jangan merasa lebih tinggi atau sombong meskipun berada dalam posisi yang kuat atau berkuasa. Mental ini mendorong seseorang untuk tetap rendah hati, tidak menggunakan kekuasaan untuk merendahkan orang lain, dan selalu mengingat bahwa kekuasaan bersifat sementara dan harus digunakan untuk kebaikan bersama. Sosrokartono sangat memegang prinsip ini dalam kepemimpinannya. 

Ia tidak pernah menggunakan pengetahuannya yang luas atau status sosialnya untuk menunjukkan superioritas, melainkan selalu bersikap rendah hati, baik di dalam interaksi sehari-hari maupun dalam perannya sebagai intelektual. Sikapnya yang tidak sombong dan selalu menghormati orang lain menjadikannya sosok pemimpin yang dicintai dan dihormati oleh banyak kalangan, baik di dalam maupun di luar Indonesia.

 

Dalam pembahasan ini, mental Jawa menjadi landasan utama dari gaya kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono yang unik. Berbeda dengan pemimpin yang mengandalkan kekuatan fisik, militer, atau politik untuk mencapai tujuan, Sosrokartono lebih mengandalkan nilai-nilai spiritual, kebijaksanaan, dan harmoni.

 Ia percaya bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin terletak pada kemampuannya untuk menjaga keseimbangan, memahami perasaan orang lain, hidup sederhana, serta bersikap rendah hati. 

Filosofi-filosofi mental Jawa ini tidak hanya membentuk cara berpikir dan bertindak Sosrokartono, tetapi juga menginspirasi banyak orang untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna dan damai.

Secara keseluruhan, mental Jawa dalam gaya kepemimpinan Sosrokartono adalah sebuah pendekatan yang mengedepankan moralitas, spiritualitas, dan harmoni, yang menawarkan model kepemimpinan alternatif di tengah dunia yang sering kali dipenuhi oleh konflik dan ambisi. 

Mentalitas ini menekankan pentingnya menjadi pemimpin yang bijaksana, penuh pengertian, dan tidak tergoda oleh kekuasaan atau status, tetapi lebih fokus pada kesejahteraan dan kemajuan bersama.

Mengapa menjadi penting untuk menerapkan gaya kepemimpinan ini?

Menerapkan gaya kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono sangat penting, terutama dalam konteks dunia modern yang penuh dengan tantangan sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. 

Gaya kepemimpinannya yang menekankan nilai-nilai spiritual, kebijaksanaan, harmoni, dan kemanusiaan memberikan pendekatan yang berbeda dan lebih seimbang untuk menghadapi permasalahan yang ada. 

Dalam dunia yang sering kali berfokus pada kekuatan fisik, kekuasaan politik, atau keuntungan ekonomi, gaya kepemimpinan seperti ini menawarkan cara alternatif untuk memimpin dengan moralitas dan hati nurani. Berikut adalah beberapa alasan mengapa penting untuk menerapkan gaya kepemimpinan ala Sosrokartono.

1. Keseimbangan antara Spiritualitas dan Rasionalitas

Salah satu ciri khas dari gaya kepemimpinan Sosrokartono adalah kemampuannya untuk menggabungkan spiritualitas tradisional dengan rasionalitas modern. Dalam dunia yang semakin global dan dipengaruhi oleh modernisasi yang cepat, banyak pemimpin cenderung mengandalkan pendekatan pragmatis atau rasional saja, sering kali mengesampingkan aspek spiritualitas atau moralitas. 

Sosrokartono, melalui filosofi Jawa yang dipegangnya, menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang efektif harus mampu menggabungkan kedua aspek ini.

Pendekatan ini penting karena memungkinkan pemimpin untuk memiliki kepekaan emosional dan moral yang lebih tinggi, sambil tetap mempertimbangkan logika dan strategi. Dalam dunia bisnis, politik, atau bahkan pendidikan, keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas dapat membantu pemimpin mengambil keputusan yang tidak hanya menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi juga bermanfaat secara berkelanjutan dan etis.

 Keputusan yang diambil berdasarkan prinsip ini cenderung lebih bijaksana, tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap manusia, lingkungan, dan masyarakat secara luas.

2. Mengedepankan Harmoni dalam Berbagai Situasi

Kepemimpinan Sosrokartono sangat mengedepankan harmoni, baik dalam hubungan antarindividu maupun dalam konteks sosial yang lebih luas. Nilai ini menjadi sangat relevan dalam dunia yang sering kali penuh dengan konflik, baik di tingkat politik, organisasi, maupun personal. Kepemimpinan yang menekankan harmoni seperti ini penting karena mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kerja sama dan pembangunan bersama.

Sebagai contoh, dalam organisasi modern yang beragam, seorang pemimpin yang mampu menciptakan harmoni di antara anggota tim dengan latar belakang yang berbeda akan lebih mudah membangun kesepahaman dan kebersamaan. Ketimbang menciptakan lingkungan kompetitif yang cenderung merusak relasi, gaya kepemimpinan ini akan lebih berfokus pada kolaborasi dan persatuan. 

Pendekatan ini juga penting di tingkat internasional, di mana diplomasi yang menekankan perdamaian dan dialog menjadi kunci untuk menghindari eskalasi konflik yang bisa berdampak buruk bagi banyak negara.

3. Pemimpin yang Berempati dan Rendah Hati

Salah satu alasan utama mengapa gaya kepemimpinan Sosrokartono patut diterapkan adalah karena ia menekankan pentingnya empati dan kerendahan hati. Dalam masyarakat modern, sering kali kita melihat pemimpin yang berfokus pada pencapaian pribadi atau mengejar kekuasaan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. 

Sosrokartono, melalui konsep tepo seliro (tenggang rasa), menunjukkan betapa pentingnya seorang pemimpin untuk memahami perasaan dan kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya.

Pemimpin yang berempati mampu menciptakan hubungan yang lebih kuat dan bermakna dengan orang-orang di sekitarnya. Hal ini penting dalam berbagai konteks, baik dalam dunia politik, bisnis, maupun pendidikan. 

Seorang pemimpin yang mampu mendengarkan dan memahami masalah atau kesulitan yang dihadapi oleh bawahannya atau konstituennya akan lebih mampu menciptakan solusi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Empati juga membuat seorang pemimpin lebih dihormati dan dicintai, karena orang-orang merasa didengar dan dihargai.

Selain itu, kerendahan hati juga menjadi kunci dalam gaya kepemimpinan Sosrokartono. Pemimpin yang rendah hati tidak akan berusaha menonjolkan dirinya sendiri atau mengejar kekuasaan demi kepentingan pribadi. Sebaliknya, ia akan fokus pada pengabdian kepada masyarakat dan berusaha untuk menjadi teladan moral bagi orang lain. Dalam dunia modern yang sering kali memuja kekuasaan dan ambisi, kepemimpinan yang mengedepankan kerendahan hati bisa menjadi alternatif yang penting dan lebih berkelanjutan.

4. Mengutamakan Pengembangan Mental dan Spiritual

Sosrokartono sangat menekankan pentingnya pengembangan mental dan spiritual dalam kepemimpinannya. Ia percaya bahwa seorang pemimpin harus memiliki ketenangan batin dan kebijaksanaan yang mendalam untuk bisa memimpin dengan baik. Dalam konteks modern, banyak pemimpin yang terjebak dalam rutinitas dan tekanan yang tinggi, sehingga sering kali kehilangan fokus dan arah dalam mengambil keputusan.

Dengan menekankan pengembangan mental dan spiritual, gaya kepemimpinan ini mengajarkan pentingnya refleksi diri dan kontemplasi. Seorang pemimpin yang mampu menjaga keseimbangan antara dunia luar dan batinnya sendiri akan lebih mampu menghadapi tekanan dengan tenang, serta mengambil keputusan yang bijak dalam situasi sulit. Pengembangan spiritual juga membantu pemimpin untuk tetap terhubung dengan nilai-nilai moral dan etika, sehingga ia tidak mudah tergoda oleh ambisi atau godaan kekuasaan.

5. Relevan dalam Menghadapi Tantangan Global

Terakhir, gaya kepemimpinan Sosrokartono sangat relevan dalam menghadapi tantangan global saat ini, seperti ketidakstabilan politik, krisis lingkungan, dan ketidaksetaraan sosial. 

Gaya kepemimpinan yang mengedepankan moralitas, empati, dan kebijaksanaan bisa menjadi solusi untuk masalah-masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan kekuasaan atau teknologi. Dalam era globalisasi ini, kepemimpinan yang memahami pentingnya dialog, kolaborasi internasional, dan kemanusiaan sangat diperlukan.

Kesimpulannya, menerapkan gaya kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono penting karena ia menawarkan alternatif yang lebih seimbang, manusiawi, dan berkelanjutan di tengah dunia modern yang sering kali terfokus pada kekuatan fisik dan ambisi pribadi. 

Gaya kepemimpinannya yang mengutamakan harmoni, empati, kerendahan hati, serta keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas dapat menginspirasi pemimpin masa kini untuk menghadapi tantangan dengan cara yang lebih bijaksana dan berfokus pada kemanusiaan.

PPT PROF APOLLO
PPT PROF APOLLO

Dalam tradisi spiritual Jawa, khususnya dalam ajaran yang berkaitan dengan tokoh Bima Werkudara, terdapat pemahaman mengenai perjalanan manusia menuju kesempurnaan yang terbagi dalam empat tahapan, yaitu syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Keempat tahapan ini memberikan panduan tentang bagaimana individu dapat berkembang secara spiritual, mental, dan emosional menuju keadaan yang ideal sebagai manusia sempurna. Berikut penjelasan mengenai masing-masing tahapan tersebut:

1. Syariat (Hukum)

Tahapan pertama dalam perjalanan menuju manusia sempurna adalah syariat. Syariat merujuk pada hukum-hukum dan aturan-aturan yang mengatur perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. 

Dalam konteks agama, syariat mencakup ajaran-ajaran dan praktik yang diatur oleh teks-teks suci, yang memberikan panduan tentang bagaimana seseorang seharusnya bertindak, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia.

Pada tahap ini, individu diharapkan untuk mematuhi norma-norma moral dan etika, serta menjalankan ibadah dengan benar. Misalnya, dalam tradisi Islam, syariat mencakup pelaksanaan rukun Islam, seperti sholat, zakat, puasa, dan haji. Bagi individu yang menjalani syariat, fokus utamanya adalah pada tindakan dan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama. 

Melalui kepatuhan terhadap syariat, individu mulai membangun pondasi moral yang kuat, yang akan mendukung perjalanan spiritual mereka ke tahap-tahap berikutnya.

2. Tarekat (Jalan)

Setelah melewati tahap syariat, individu memasuki tahap tarekat. Tarekat merupakan jalan spiritual yang lebih dalam, di mana seseorang mulai mengeksplorasi praktik-praktik spiritual yang lebih khusus dan intensif. Dalam konteks ini, tarekat bisa mencakup latihan-latihan seperti meditasi, dzikir, atau pengajian yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Pada tahap tarekat, individu mulai memahami bahwa syariat bukan hanya sekadar serangkaian aturan yang harus diikuti, tetapi lebih kepada jalan yang harus dilalui untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan. Di sinilah individu belajar untuk memperdalam penghayatan spiritual, meningkatkan kesadaran, dan menginternalisasi nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari.

 Tarekat juga mengajarkan pentingnya disiplin dan komitmen dalam menjalani praktik spiritual, serta menyadari bahwa perjalanan spiritual adalah proses yang memerlukan waktu dan usaha.

3. Hakikat (Kebenaran)

Tahapan ketiga adalah hakikat, yang berkaitan dengan pencarian kebenaran dan pemahaman yang lebih dalam mengenai hakikat kehidupan dan keberadaan. Pada tahap ini, individu mulai menggali esensi dari ajaran-ajaran yang telah dipelajari sebelumnya dan mencari makna yang lebih dalam di balik praktik-praktik spiritual. 

Hakikat merujuk pada pemahaman tentang realitas yang lebih tinggi, di mana individu menyadari bahwa ada dimensi yang lebih luas dari kehidupan yang harus dipahami.

Dalam konteks ini, individu mulai mengembangkan pengalaman spiritual yang lebih mendalam. Mereka belajar untuk mengenali dan memahami sifat-sifat Tuhan, serta hubungan antara diri mereka dan alam semesta. Tahap hakikat ini sering kali melibatkan pengalaman transendental, di mana individu merasakan kedekatan yang mendalam dengan Tuhan dan menginternalisasi nilai-nilai spiritual yang universal. 

Pada tahap ini, kesadaran individu tentang tujuan hidup dan eksistensinya menjadi semakin jelas, dan mereka mulai melihat dunia dari perspektif yang lebih luas dan mendalam.

4. Makrifat (Pengetahuan)

Tahapan terakhir dalam perjalanan menuju manusia sempurna adalah makrifat, yang berarti pengetahuan atau pemahaman yang hakiki. Makrifat merupakan puncak dari perjalanan spiritual di mana individu mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi tentang diri mereka, Tuhan, dan realitas. Pada tahap ini, individu tidak hanya memiliki pengetahuan teoritis, tetapi juga pengalaman langsung dan pemahaman yang mendalam tentang kebenaran.

Makrifat melibatkan penyingkapan berbagai rahasia alam semesta dan hubungan antara ciptaan dan Sang Pencipta. Individu yang telah mencapai makrifat dapat melihat realitas dengan cara yang tidak biasa, mampu memahami tujuan dan makna di balik segala sesuatu. Ini adalah tahap di mana ego dan keterikatan duniawi berkurang, dan individu merasakan kesatuan dengan Tuhan dan segala ciptaan-Nya.

Dalam konteks ajaran Bima Werkudara, keempat tahapan ini --- syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat --- saling terkait dan membangun satu sama lain. Setiap tahap membawa individu lebih dekat kepada pemahaman dan pengalaman spiritual yang lebih dalam, akhirnya mengarah pada pencapaian kesempurnaan sebagai manusia.

 Melalui perjalanan ini, individu belajar untuk hidup dengan integritas, moralitas, dan kesadaran yang tinggi, serta mampu berkontribusi secara positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

konsep laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa, yang sering digunakan dalam ajaran spiritual, khususnya dalam tradisi Jawa. Keempat konsep ini menggambarkan pendekatan yang holistik dalam pengembangan diri menuju kesempurnaan.

1. Laku Raga

Laku raga merujuk pada tindakan fisik atau aktivitas tubuh yang dilakukan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Ini mencakup berbagai bentuk aktivitas yang diperlukan untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Dalam konteks spiritual, laku raga juga mencakup disiplin fisik seperti olahraga, meditasi, atau praktik-praktik lain yang menyehatkan tubuh.

Pentingnya laku raga tidak hanya terletak pada aspek kesehatan fisik, tetapi juga berpengaruh pada kesehatan mental dan spiritual. Ketika tubuh sehat dan bugar, individu cenderung memiliki pikiran yang lebih jernih dan dapat lebih mudah menjalani praktik spiritual. 

Laku raga juga merupakan cara untuk menunjukkan rasa syukur terhadap tubuh sebagai anugerah Tuhan dan mengingatkan individu akan pentingnya menjaga kesehatan agar dapat menjalani hidup dengan optimal.

2. Laku Budi

Laku budi merujuk pada tindakan moral dan perilaku etis yang dilakukan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Ini mencakup sikap-sikap baik seperti kasih sayang, kejujuran, kedermawanan, dan penghormatan terhadap sesama. Laku budi menekankan pentingnya pengembangan karakter dan moral dalam menjalani kehidupan.

Dalam konteks spiritual, laku budi sering kali dianggap sebagai manifestasi dari pengendalian diri dan penerapan nilai-nilai kebaikan dalam setiap tindakan. Melalui laku budi, individu berusaha untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain dan masyarakat. Proses ini tidak hanya meningkatkan kualitas hubungan antarindividu, tetapi juga membawa kedamaian dan harmoni dalam lingkungan sosial.

3. Laku Manah

Laku manah berhubungan dengan aspek emosional dan kecerdasan hati. Pada tahap ini, individu belajar untuk mengelola emosi, merasakan, dan memahami perasaan sendiri maupun perasaan orang lain. Laku manah menekankan pentingnya keterhubungan dan empati dalam berinteraksi dengan sesama.

Melalui laku manah, seseorang dapat mengembangkan kecerdasan emosional, yang merupakan kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi dengan baik. Individu yang menguasai laku manah mampu mengatasi konflik dengan lebih baik, berkomunikasi secara efektif, dan menjalin hubungan yang lebih dalam dengan orang lain. Ini menjadi fondasi penting dalam membangun kerjasama dan kedamaian dalam komunitas.

4. Laku Rasa

Laku rasa berkaitan dengan pengalaman spiritual dan intuisi. Ini adalah tahap di mana individu berusaha untuk merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya dan menghubungkan dirinya dengan dimensi yang lebih tinggi. Laku rasa mendorong individu untuk menyelami perasaan dan pengalaman spiritual yang mendalam, seperti rasa syukur, cinta, dan kebahagiaan yang berasal dari kedekatan dengan Tuhan.

Melalui laku rasa, seseorang tidak hanya memahami ajaran-ajaran spiritual secara kognitif, tetapi juga mengalami kedalaman spiritual yang dapat membawa transformasi dalam hidupnya. Ini adalah perjalanan menuju kesadaran yang lebih tinggi, di mana individu dapat merasakan keterhubungan dengan alam semesta dan semua ciptaan.

PPT PROF APOLLO
PPT PROF APOLLO

PPT PROF APOLLO
PPT PROF APOLLO

IDENTITAS PERILAKU

Dalam tradisi budaya dan spiritual Jawa, terdapat konsep mengenai identitas perilaku yang dapat dikategorikan dalam tiga istilah, yaitu jawi bares, jawi deles, dan jawi sejati. Masing-masing istilah ini menggambarkan karakteristik dan perilaku individu dalam konteks budaya Jawa. Berikut penjelasan mengenai ketiga identitas perilaku tersebut:

  • 1. Jawi Bares

Jawi bares mengacu pada individu yang menunjukkan perilaku yang langsung, terbuka, dan tanpa basa-basi. Istilah "bares" berarti "telanjang" atau "terbuka", sehingga dalam konteks perilaku, orang yang memiliki identitas ini cenderung jujur dan tidak menyembunyikan niat atau perasaannya. Mereka lebih suka menyampaikan pikiran dan perasaan mereka secara langsung, tanpa ada kepura-puraan atau manipulasi.

Perilaku jawi bares sering kali dihargai dalam konteks kejujuran dan keterusterangan. Namun, dalam beberapa situasi, pendekatan yang terlalu langsung ini juga dapat dianggap kurang sensitif terhadap perasaan orang lain. Meskipun demikian, orang dengan karakter ini biasanya dapat dipercaya dan memiliki integritas tinggi. Mereka lebih mudah untuk diajak berkomunikasi karena apa yang mereka katakan mencerminkan pikiran dan hati mereka yang sebenarnya.

  • 2. Jawi Deles

Jawi deles merujuk pada individu yang menunjukkan perilaku yang lebih halus, lembut, dan diplomatis. Istilah "deles" dapat diartikan sebagai "sopan" atau "lembut". Orang dengan identitas ini cenderung berperilaku dengan cara yang lebih hati-hati dan penuh pertimbangan, terutama dalam interaksi sosial. Mereka lebih memilih untuk menyampaikan pendapat atau perasaan dengan cara yang lebih lembut, sering kali dengan menggunakan bahasa yang lebih halus untuk menghindari konflik atau ketidaknyamanan.

Perilaku jawi deles menunjukkan pentingnya kesopanan dan tata krama dalam budaya Jawa. Mereka sangat menghargai hubungan antarindividu dan berusaha untuk menjaga keharmonisan dalam berinteraksi. Meskipun demikian, kadang-kadang pendekatan yang terlalu lembut ini dapat membuat orang lain kesulitan untuk memahami sikap atau maksud yang sebenarnya. Namun, orang dengan karakter ini sering kali berhasil menciptakan suasana yang nyaman dan saling menghormati dalam interaksi sosial.

  • 3. Jawi Sejati

Jawi sejati adalah konsep yang merujuk pada individu yang mencapai keseimbangan antara kejujuran dan kelembutan dalam perilaku mereka. Istilah "sejati" berarti "sejati" atau "otentik", sehingga orang yang memiliki identitas ini dapat berperilaku dengan cara yang benar-benar mencerminkan siapa diri mereka, baik dalam sikap terbuka maupun dalam pendekatan yang lembut. Mereka mampu menggabungkan sifat-sifat dari jawi bares dan jawi deles dengan cara yang harmonis.

Perilaku jawi sejati menunjukkan kedalaman dan kedewasaan dalam berinteraksi dengan orang lain. Mereka dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan cara yang jujur, tetapi juga mempertimbangkan perasaan orang lain. Dalam konteks ini, individu dengan identitas jawi sejati dapat berfungsi sebagai jembatan dalam hubungan sosial, membantu mengatasi konflik dan menciptakan pemahaman yang lebih baik antarindividu.

DOSEN PROF APOLLO
DOSEN PROF APOLLO

DOSEN PROF APOLLO
DOSEN PROF APOLLO

DOSEN PROF APOLLO
DOSEN PROF APOLLO

IDENTITAS ATAU PENGENALAN DIRI

  • Tansah anglampahi muriding agesang (senantiasa menjadi hidup sebagai murid kehidupan) "Tansah anglampahi muriding agesang" merupakan ungkapan yang menggambarkan komitmen individu untuk menjalani ajaran dan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. 

  • Ini mengajak setiap orang untuk tidak hanya memahami ajaran tetapi juga mengamalkannya secara nyata, sehingga dapat mencapai kehidupan yang lebih bermakna dan berkontribusi positif bagi diri sendiri serta masyarakat. Melalui proses ini, individu dapat menemukan tujuan hidup yang lebih dalam dan mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik.
  • Sinau ngarosake lan nyumerapi tunggalipun manungsa, tinggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksud agesang (belajar merasa mengetahui dimana manusia itu satu, asal sama, berlajar memahami tujuan hidup) mengajak kita untuk memahami bahwa proses belajar dan kesadaran diri adalah bagian integral dari keberadaan kita sebagai manusia. 

  • Dengan menyadari perasaan kita, memahami asal-usul kita, dan mengejar tujuan hidup yang lebih dalam, kita dapat mencapai kehidupan yang lebih bermakna dan harmonis. Ini bukan hanya tentang belajar dari pengalaman, tetapi juga tentang belajar untuk saling menghargai dan membangun hubungan yang lebih baik dengan sesama.
  • Murid, gurune pribadi, muride pribadi, Pamulangane sengsama sesami (murid, guruna pribadi; guru, murid pribadi; pelajarannya penderitan sesame, pahala kebaikan, dan keharuman sesama)Ungkapan "Murid, gurune pribadi, muride pribadi; Pamulangane sengsama sesami" menekankan pentingnya hubungan yang saling mendukung dalam proses pembelajaran. 

  • Dalam konteks pendidikan, hubungan antara guru dan murid tidak hanya bersifat formal, tetapi juga personal dan saling menguntungkan.

  •  Pengalaman dan pelajaran yang dibagikan oleh kedua belah pihak menciptakan lingkungan belajar yang positif. Kesadaran akan penderitaan dan kebaikan sesama memperkuat rasa empati dan saling menghargai. Hal ini pada akhirnya membentuk karakter individu dan menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan berkeadaban.

DOSEN PROF APOLLO
DOSEN PROF APOLLO

DOSEN PROF APOLLO
DOSEN PROF APOLLO

DOSEN PROF APOLLO
DOSEN PROF APOLLO

DOSEN PROF APOLLO
DOSEN PROF APOLLO

Catur Murti dalam konteks "pikiran benar, perasaan benar, perkataan benar, dan perbuatan benar" adalah konsep yang merujuk pada empat aspek penting dalam pengembangan diri dan perilaku manusia. Konsep ini sering diadopsi dalam filosofi kehidupan, spiritualitas, serta pendidikan, terutama dalam tradisi Jawa dan ajaran-ajaran etika yang lebih luas. Mari kita bahas setiap aspek secara mendetail:

1. Pikiran Benar

Pikiran benar merujuk pada pemikiran yang jernih, positif, dan logis. Dalam konteks ini, pikiran benar mencakup:

  • Keterbukaan Pikiran: Memiliki pikiran yang terbuka terhadap berbagai sudut pandang dan tidak terjebak dalam prasangka atau stereotip. Ini memungkinkan individu untuk melihat realitas dengan lebih objektif.
  • Refleksi Diri: Mempertimbangkan konsekuensi dari pikiran dan ide yang dimiliki, serta mengevaluasi apakah pikiran tersebut sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan hidup.
  • Kreativitas dan Inovasi: Mengembangkan ide-ide baru yang konstruktif dan inovatif. Pikiran yang benar juga mencakup kemampuan untuk berpikir kritis dan menyelesaikan masalah dengan cara yang kreatif.

2. Perasaan Benar

Perasaan benar berkaitan dengan emosi dan intuisi yang sehat. Aspek ini menekankan pentingnya:

  • Kesadaran Emosional: Memahami dan mengenali emosi sendiri dan orang lain. Kesadaran ini membantu individu untuk mengelola emosi dengan baik dan menghindari reaksi impulsif yang merugikan.
  • Empati: Mampu merasakan dan memahami perasaan orang lain, yang merupakan dasar dari hubungan sosial yang sehat. Perasaan benar mendorong individu untuk bertindak dengan kasih sayang dan pengertian terhadap sesama.
  • Keseimbangan Emosi: Menciptakan harmoni antara perasaan positif dan negatif. Perasaan benar bukan hanya tentang merasakan kebahagiaan, tetapi juga bagaimana menghadapi emosi sulit dengan cara yang konstruktif.

3. Perkataan Benar

Perkataan benar mengacu pada komunikasi yang jujur, tepat, dan membangun. Beberapa elemen pentingnya meliputi:

Kejujuran: Mengungkapkan kebenaran tanpa menyembunyikan fakta atau berbohong. Ini membangun kepercayaan dalam hubungan interpersonal.

Pilih Kata: Menggunakan bahasa yang baik dan sopan. Perkataan yang benar memperhatikan dampak dari kata-kata terhadap orang lain.

Memberi Inspirasi dan Dukungan: Perkataan yang baik dapat memberikan motivasi dan dukungan kepada orang lain. Berbicara dengan cara yang membangun dapat memperkuat hubungan sosial dan menciptakan lingkungan yang positif.

4. Perbuatan Benar

Perbuatan benar berkaitan dengan tindakan yang selaras dengan pikiran dan perasaan yang baik. Ini mencakup:

  • Konsistensi: Tindakan yang diambil harus sejalan dengan pikiran dan perasaan. Konsistensi ini menciptakan integritas dan kepercayaan.

  • Kepedulian Terhadap Lingkungan dan Sesama: Melakukan tindakan yang bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan. Perbuatan yang benar mencerminkan rasa tanggung jawab sosial dan moral.

  • Tindakan Positif: Berusaha untuk memberikan kontribusi positif, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam masyarakat. Perbuatan yang benar mendorong individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang memajukan kesejahteraan bersama

Diskursus mengenai gaya kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono tidak hanya membawa kita untuk memahami aspek kepemimpinan yang dipraktikannya, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan nilai-nilai dan filosofi yang mendasari tindakan dan pemikirannya. Raden Mas Panji Sosrokartono, sebagai seorang tokoh yang tidak hanya dikenal karena kecerdasan dan wawasan luasnya, tetapi juga karena integritas dan ketulusan dalam melayani masyarakat, memberikan teladan yang relevan bagi konteks kepemimpinan masa kini.

Melalui konsep Catur Murti yang mencakup pikiran benar, perasaan benar, perkataan benar, dan perbuatan benar, beliau menunjukkan bahwa kepemimpinan yang efektif harus berakar pada moralitas dan etika yang tinggi. Selain itu, pemahaman tentang mental Jawa yang mengedepankan nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial mengingatkan kita bahwa kepemimpinan yang baik adalah yang mampu mendengar, memahami, dan melayani masyarakat dengan sepenuh hati.

Gaya kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono menginspirasi kita untuk membangun komunikasi yang konstruktif antara pemimpin dan pengikut, serta untuk mengembangkan kualitas diri yang mencakup pikiran, perasaan, dan tindakan yang sejalan dengan nilai-nilai kebaikan. 

Dalam konteks pendidikan dan perkembangan karakter, pengaplikasian prinsip-prinsip Catur Murti memberikan landasan yang kuat untuk membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas moral.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, gaya kepemimpinan Raden Mas Panji Sosrokartono mengajarkan kita bahwa kepemimpinan yang efektif bukan sekadar tentang kekuasaan atau otoritas, tetapi tentang membangun hubungan yang saling menghormati dan saling mendukung antara pemimpin dan masyarakat. 

Dengan menginternalisasi nilai-nilai kepemimpinan yang berakar pada Catur Murti dan mental Jawa, kita dapat menciptakan pemimpin yang mampu menghadapi tantangan zaman dengan bijak, serta berkontribusi positif bagi kemajuan masyarakat.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk merenungkan dan menerapkan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks kepemimpinan formal maupun informal. 

Dengan begitu, kita tidak hanya melanjutkan warisan kepemimpinan yang baik dari Raden Mas Panji Sosrokartono, tetapi juga berusaha menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan bagi lingkungan sekitar.

DOSEN PROF APOLLO
DOSEN PROF APOLLO

DOSEN PROF APOLLO
DOSEN PROF APOLLO

DOOSEN PROF APOLLO
DOOSEN PROF APOLLO

DOSEN PROF APOLLO
DOSEN PROF APOLLO

DAFTAR PUSTAKA

  • Raharjo, M. "Kepemimpinan dalam Tradisi Jawa: Studi Kasus Raden Mas Panji Sosrokartono". Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 2020.
  • Rachmat, A. (2015). Spiritualitas Jawa: Catur Murti dan Etika Kehidupan. Yogyakarta: Penerbit Andi.
  • Notodirdjo, S. (2000). Pendidikan Karakter dalam Budaya Jawa: Sebuah Tinjauan Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun