Sejak mulai gemar membaca pada saat kuliah, hobi yang menyenangkan itu berlanjut sampai sekarang. Keuntungannya, sekarang sudah bisa mengalokasikan sendiri dana untuk beli buku. Tinggal pilih mana buku yang sesuai dengan selera tanpa harus muluk-muluk ambisius buku ini buku itu. Yang penting rasa penasaran bisa terbayarkan dengan membeli buku yang saya inginkan. Lebih dari itu, bisa juga sebagai penambah pengetahuan tentang hal-hal yang barangkali orang lain tidak ketahui.
Semenjak gemar membeli buku via online, saya mencoba-coba berbagai macam penerbit dan juga kurir pengiriman. Dari hal itu saya bisa ketahui mana kurir yang asik untuk dipilih serta toko buku mana yang aman dan terkendali dalam proses jual beli buku. Tentu saja di awal-awal akan merasakan kecewa ketika pesanan tidak kunjung sampai. Meskipun ada garansi, tetapi kita tetap saja rugi waktu kalau pesanan tidak sampai. Pun kita akan merasa puas jika pesanan sampai lebih cepat atau setidaknya tepat waktu, sehingga kita tidak terlalu lama dalam menunggu.
Kali ini saya mencoba mengulas mengenai salah satu buku koleksi saya yang saya beli sekitar Bulan Juni 2018. Di Bulan Oktober saya baru menyelesaikannya. Bukunya cukup tebal untuk ukuran novel, yaitu sekitar 500-an halaman. Tema nya juga jarang orang umum sukai, yaitu tentang spiritual. Judul bukunya adalah "Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu" yang ditulis oleh Agus Sunyoto.Â
Saat mencari tahu mengenai buku ini, saya melihat cover nya cukup bagus dengan perpaduan warna hitam dan putih agak abu-abu. Gambar yang menempati book's cover juga cukup merepresentasikan lokalitas tokoh utama di dalam buku. Gambar covernya adalah sebuah wayang setengah badan yang saya tidak ketahui siapa wayang itu. Karena kalau di budaya Jawa ada nama-nama wayang sesuai dengan bentuk wayang tersebut. Di bagian depan cover saya tertarik dengan potongan kalimatnya. Disitu tertulis,
"Kalau engkau mau mencari Allah, belajarlah dari iblis! Bagaimana mungkin Sudrun diminta belajar kepada iblis, makhluk Tuhan yang divonis sesat dan terkutuk, untuk menemukan kebenaran ilahiah?!".
Bagi saya kalimat tersebut menarik karena tema spiritual akan tersaji ketika menghubungakn sebuah gagasan yang sekilas bertentangan. Orang kok disuruh belajar dari iblis. Pertanyaan saya seketika mencuat, apakah nantinya justru tidak malah menjadi sesat. Begitulah cara seorang penulis membuat penasaran calon pembacanya. Ngomong-ngomong, dibagian cover depan juga terdapat nama penulis, Agus Sunyoto dengan embel-embel sebagai penulis Novel Best Seller "Suluk Abdul Jalil Syaikh Siti Jenar". Kalau buku yang satu ini saya belum pernah membacanya. Selain dari kalimat mengenai iblis tadi, buku Sastra Jendra juga diterbitkan oleh LkiS, sebuah penerbit yang memang konsen ke tema-tema yang juga membahas mengenai spiritual dan kebudayaan.
Di bagian belakang cover buku ada testimoni dari Ahmad Tohari, penulis Novel "Ronggeng Dukuh Paruk", yang juga seorang budayawan asli Banyumas. Saya pernah sekali mengikuti sebuah acara di Baturraden dengan beliau sebagai pembicaranya. Memang orang nya konsen terhadap isu-isu yang menyangkut kebudayaan lokal. Ada juga testimoni dari Ki Herman Sinung Janutama. Kalau nama ini jujur saya belum terlalu familiar. Di bio nya tertulis kalau beliau adalah pakar Javanologi dan kebudayaan jawa.
Ada tiga poin secara substansial yang menurut saya bisa mewakili pendapat saya mengenai Novel Sastra Jendra ini. Pertama, novel ini memberikan perspektif tentang bagamana kita memandang agama. Agama adalah sebuah hal yang wajib dimiliki oleh orang Indonesia.Â
Sebagai negara yang mayoritas muslim, beberapa kelompok orang muslim justru mengklaim dirinya paling muslim atau paling agamis, sehingga yang berbeda agama dengan mereka menjadi kurang tepat, kalau tidak boleh dibilang salah. Jangankan yang berbeda agama, yang satu agama saja (islam), masih bisa dianggap salah. Di bagian awal buku juga sudah dituliskan oleh redaksi sebagai pengantar, bahwa,
"Agama bukanlah tujuan, melainkan jalan untuk mencapai kesadaran spiritual dan ketuhanan. Menjadikan agama sebagai tujuan hanya akan melahirkan fanatisme keagamaan berlebihan yang bisa berupa pamrih iming-iming surga dan atau terhindar dari siksa neraka. Lebih dari itu, menjadikan agama semata-mata sebagai tujuan cenderung bersifat destruktif terhadap ibadah formal keagamaan itu sendiri maupun bagi kesalehan sosial".
Di sini tokoh utama yang menurut saya namanya unik, Saya Sudrun, itu adalah orang yang tidak 'bersih-bersih' amat. Pada saat masih sekolah sering berbuat nakal seperti kebanyakan anak muda lainnya. Dekat dengan perempuan dan jail terhadap teman-temannya. Dijuluki kyai tetapi juga kyai gila karena ulahnya yang cenderung nyleneh. Dikaruniai kemampuan untuk bisa memasuki 'alam lain' dan kemudian bisa berinteraksi dengan makhluk ghaib, membuat Sudrun terkadang menjadi orang yang bimbang.
Inilah yang ada pada poin kedua yang menurut saya menarik. Yaitu adanya pertentangan antara Sudrun dengan dirinya sendiri. Dengan kemampuannya untuk berbicara dengan dirinya dalam bentuk lain, seperti interaksi di alam bawah sadar, seringkali Sudrun harus memilih satu atau beberapa hal yang krusial dalam hidupnya. Ketika harus meninggalkan perempuan yang dicintainya.Â
Ketika hijrah ke India dan bertemu dengan banyak karakter orang dengan latar belakang keyakinan spiritual dan pemahaman agama yang berbeda-beda. Pernah pada suatu waktu, di dalam pedalaman jiwanya, Sudrun bertemu dengan sosok yang mengaku dirinya adalah pengejawantahan Tuhan.Â
Di situ Sudrun hampir saja percaya, tetapi karena sudah terbiasa kritis dengan pertentangan-pertentangan yang biasa dia temui di pedalaman jiwanya, Sudrun pun akhirnya tidak percaya kepada sosok tersebut. Apalagi, hidup di India yang notabene bukan tempat asal Sudrun, bertemu dengan banyak orang yang kabur sekali batas antara baik dan buruknya. Yang paling bertentangan dengan diri Sudrun adalah ketika momen di akhir cerita pada saat Sudrun harus berpura-pura menjadi suami seorang perempuan yang pada akhirnya mereka berpisah dengan baik-baik. Dan seperti biasa, Sudrun pun pergi seperti memang sudah menjadi hakikatnya untuk menjadi pengembara.
Hal ketiga yang saya simpulkan dari novel tersebut adalah uniknya pemberian judul yang sangat sederhana. Ada 17 bab yang mana setiap bab hanya diberi nama sesuai dengan angka dari bab tersebut.Â
Bab 1 dengan judul Satu. Bab 2 dengan judul 2, begitu seterusnya sampai bab 17. Kekurangan dari novel ini adalah gaya penulisan yang kurang indah ketika ada banyak kalimat, kata-kata, atau istilah yang ditulis dengan huruf kapital semua.Â
Menurut saya, itu kurang estetis apabila dalam sebuah kalimat di tengah-tengah paragraf yang agak panjang ditulis dengan menggunakan huruf kapital semua. Ada juga halaman yang hilang satu lembar di bagian pengantar, sehingga tidak semua bagian bisa terbaca lengkap.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan novel tersebut, substansi cerita mengingatkan kita bahwa sosok iblis yang sering dibicarakan oleh banyak orang tidak selalu berbentuk menyeramkan seperti yang biasa kita lihat. Iblis bersemayam di dalam jiwa dari setiap masing-masing manusia. iblis bisa menjelma ke dalam diri kita dan mengaku-ngaku bahwa dia (iblis) adalah wujud dari jiwa kita. Di saat itulah kita dihadapkan oleh pertentangan antar yang baik dengan yang buruk, antara kita dengan diri kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI