Mohon tunggu...
Ahmad Faisal
Ahmad Faisal Mohon Tunggu... Penulis - Indonesian Writter

Political Science FISIP Unsoed Alumnus. I like reading, writting, football, and coffee.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hati Nurani Politik: Antara yang Baik dan yang Buruk

9 Februari 2019   12:39 Diperbarui: 30 Maret 2019   14:23 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Dokumen Pribadi

Bahkan, beberapa teman satu angkatan saya pada saat kuliah juga ada yang menjadi caleg dengan usia mereka yang rata-rata masih sangat muda untuk umuran seorang politisi.

Sebenarnya tidak ada tolok ukur pasti untuk menentukan berapa batas usia orang dikatakan muda dalam dunia politik. Semua tergantung kepada seberapa tinggi nya jam terbang seseorang, fokus perhatian nya di dunia politik, dan visi nya sebagai seorang politisi. 

Yang terbaru misalnya kita tahu bahwa Mahatir Mohammad terpilih sebagai Perdana Menteri Malaysia di usia ke-92 tahun. Di saat yang sama juga Syed Saddiq menjadi menteri termuda di Asia dengan usia 26 tahun sudah menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia. 

Di Indonesia, kini karena kontestasi Pemilu dilaksanakan secara serentak, banyak nama-nama politisi muda yang mencuat dan menjadi tameng masing-masing Capres. Ini sekaligus bisa menjadi ajang unjuk gigi bagi politisi muda yang sekarang semakin sering kita lihat kiprahnya di media, khusus nya televisi. Mereka diundang untuk berdebat di program-program debat maupun talkshow politik.

Sebagai 'Darah Muda', politisi-politisi ini menggunakan ciri khas nya. Mereka cenderung lebih bersemangat dan berapi-api ketika beretorika. Saya melihatnya barangkali sama seperti mahasiswa baru, ideologinya masih sangat idealis. Itu bergantung juga bagaimana doktrin di masing-masing partai politik yang menjadi kendaraan mereka dalam berpolitik. 

Tidak ada patokan secara pasti sebenarnya ketika berbicara mengenai gaya beretorika politisi. Politisi tua pun akan berapi-api ketika berdebat jika emosinya terpancing. Di sini, ada semacam budaya baru dalam perpolitikan kita -seiring berkembangnya demokrasi Indonesia- di mana debat politik seakan menjadi tren dalam setiap edisi pesta demokrasi. 

Apalagi di edisi Pilpres kali ini hanya ada dua pasangan calon yang tentu saja akan memberi pilihan tegas bagi politisi untuk memilih akan berada di pihak mana. Karena ketika hanya ada dua paslon, ideologi politik yang diusung pun tentu saja akan berbeda. Apalagi ketika yang satunya adalah petahana. 

Kepentingan dalam Diri Politisi

Pada dasarnya, sebagai manusia, kita memiliki dua kepribadian umum, yaitu baik dan buruk. Dengan berbagai macam turunan dan aplikasinya, kebaikan dan keburukan selalu bertempur dalam diri setiap individu manusia. Akan selalu ada konflik emosional dalam diri setiap orang antara orang itu dengan dirinya sendiri. Ini lebih kompleks, menurut saya, jika dibandingkan dengan konflik yang terjadi antara satu orang dengan orang lainnya. 

Seperti hal nya dalam sebuah cerita, konflik kepentingan di dalam diri adalah sebuah titik abu-abu karena kita tidak bisa sepenuhnya condong ke arah mana diri kita akan berpihak. Ke arah yang baik atau ke arah yang buruk. Kadang, kita memilih kebaikan tetapi tidak sepenuhnya kita adalah orang baik. Masih ada saja titik keburukan dalam diri kita. 

Pun, sebaliknya, ketika kita memilih berpihak pada keburukan yang ada di dalam pilihan diri kita, kita akan terpengaruh oleh secercah pikiran baik yang ada di dalam diri kita. Maka, berdamailah dengan diri kita agar kedua elemen yang melekat pada diri kita itu bisa kita kuasai sepenuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun