Hal lain yang membuat saya takjub adalah di kursi seberang sebelah kanan tempat saya duduk, saya melihat dua pemuda laki-laki yang saya kira mereka adalah teman dengan satu tujuan stasiun yang sama. Keduanya memegang buku bacaan. "Sjahrir", begitu judul di sampul buku milik salah satu pemuda itu. Mengingatkan saya pada masa kuliah yang gemar membaca buku pemikiran para pendiri negara ini.Â
Saya sesekali mengamati kedua pemuda itu, yang saya ingat, bila kita sesekali membaca buku di sela waktu tidur di dalam perjalanan, berbeda dengan mereka. Saya rasa mereka adalah kebalikannya.Â
Membaca buku adalah yang pertama, sehingga hal itu seperti tidur hanya menjadi selaan ketika membaca buku. Saya selalu mengapresiasi orang yang membaca buku di tempat umum. Saya yakin, orang yang membaca buku di tempat umum bukanlah orang yang sok gaya-gayaam agar terlihat keren. I don't care about it. May menenteng buku bacaan saja sudah mending, menurut saya. Paling tidak, dengan memegang buku saja kita sudah mau untuk menjaga buku sebagai sumber pengetahuan. Apa pun bukunya. Karena di tempat saya tidak pernah dijumpai orang kamu mebaca buku di tempat-tempat publik. Beda lokasi beda juga kebiasaannya.
Kedua hal di atas bagi saya menjadi sebuah kewajiban dan kesadaran untuk tiap individu yang paham untuk apa hidup ini. Beribadah adalah kewajiban dan kita perlu sadar bahwa kita perlu beribadah. Bukan untuk syarat, tapi memang hakikat kita hidup adalah untuk beribadah, melakukan penyembahan terhadap Sang Pencipta dalam segala bentuk peribadahan. Pun dengan membaca buku.Â
Membaca adalah bentuk kesadaran bahwa kita bodoh. Orang bodoh harus belajar agar bukan hanya menjadi pintar, tetapi juga tahu makna. Membaca buku yang seharusnya menjadi kewajiban pada saat sekarang ini belum terwujud di setiap kalangan. Toh juga kita membaca untuk diri kita sendiri. Syjur-syukur ilmu nya bisa kita sebar kepada orang lain. Maka, sebagai manusia yang bodoh, kita wajib sadar dan sadar akan kewajiban kita di dunia ini. Untuk beribadah dan belajar.
Salam.