Mohon tunggu...
Fahri Huseinsyah
Fahri Huseinsyah Mohon Tunggu... Staf Kedutaan Pakistan -

Staf Kedutaan Pakistan Jakarta Pejuang - Pemikir Tertarik : Organisasi Kepemudaan, Politik Domestik & Internasional

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agama Kemanusiaan

3 April 2013   08:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:49 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama pada kenyataan sejati pasti tidak akan satu, karena setiap orang, mempunyai prinsip untuk terafiliasi ke mana, dan meyakini kebenaran yang diyakininya sebagai penjiwaan atas dasar keluhuran agama. jika kita terus berbantah-bantahan untuk persoalan mana agama yang salah dan mana yang benar, maka selamanya kita akan terkungkung pada pandangan sentimentil, yang dampaknya sangat tidak baik bagi kehidupan bermasyarakat. yang bersumber dari perasaan penuh curiga, was-was, kebencian dan upaya saling mengindikasikan pandangan sentimentil yang ada diantaranya. selama kita masih berbeda, tidak ada salahnya kita tetap bersama karena dunia ini kita diciptakan berbeda-beda pula, hakikat penciptaan Tuhan mengapa kita tidak sama kan bukankah sudah jelas? yaitu agar masing-masing kita dengan segala perbedaan yang ada saling memahami dengan penuh toleransi, nilai kemanusiaan, karena setiap agama tentu mengajarkan umatnya agar berlandaskan kepada pemahaman-pemahaman yang bersifat menyucikan diri dari noda duniawi, perbuatan dan akibat buruknya, dan sebagai tempat identifikasi diri bahwa sesungguhnya manusia hidup dengan kebutuhan tertinggi akan spiritualitas.

Nilai kebenaran memandang pada dua sisi, yaitu Tuhan sebagai sumber dari seluruh kesempurnaan yang nyata, yaitu Dia adalah Kebenaran Mutlak. Dan manusia sebagai penerjemah dari kebenaran-kebenaran lahiriah dan batiniah. Agama bukan pula sebuah kreasi manusia, namun sistem kepercayaan menjadi kemudian beragam, dan bukan Cuma satu agama, yang membuat sifat agama apabila kita memandang dari segi perspektif masing-masing sebagai kebenaran yang sifatnya relatif. Menjadi hanya pengutaraan kalimat-kalimat yang tidak etis, apabila sampai menyinggung keberadaan dan jakikat agama yang lain. Dan bukti sebuah penodaan atas nilai nilai luhur yang diajarkan agama. Apakah iya agama mengajarkan untuk saling memberi pembenaran di dalam melatarbelakangi tindakan-tindakan kotor?

Substansi dari Maha Sempurna, yaitu Tuhan, dapat dipahami dari setiap ajaran agama yang ada. Meski kita tidak bisa menampik adanya perbedaan, dari dasar pemikiran, konsepsi ajaran sampai jalur pemahaman dari substansi agama sebagai jalan lapang manusia untuk sebantiasa menasbihi keberadaan Sang Maha Sempurna. Kita melihat titik simetris, juga garis singgung tentang arah dan tujuan yang sama secara vertical dari keberadaan agama-agama, yaitu menuju kepada satu arah : Tuhan. Dan silahkan setiap agama masing-masing, memberi pemahaman, dan pendalaman kepada siapa saja yang mencari kekuatan sejati sebuah spiritualitas. Sebab bukan manusia namanya apabila ia tidak memiliki spiritualitas, karena hal tesebut merupakan pokok dan yang paling asasi dari manusia yaitu fithrah (asasi suci) manusia. Agama memberikan ruang pembelajaran bagi manusia di dalam menggali dasar-dasar nilai mendalam tentang kebijaksanaan, nilai-nilai luhur, dan universalisme. Islam,bahkan rasul Muhammad sendiri bukan utusan yang ditujukan untuk menebar ajaran islam menjadi satu landasan mutlak, prerogative dan satu-satunya bagi umat manusia. Melainkan rasul Muhammad datang sebagai pembawa pesan-pesan perdamaian yang mengusung nilai-nilai kemuliaan, pembebeasan dari belenggu tradisi primitif, dan ajaran yang menebar rasa cinta. Rasul Muhammad tidak membawa panji-panji satu agama untuk saling membenci dan memandang remeh satu sama lain. Melainkan agama dikemas pada bingkai-bingkai kemanusiaan. Menghargai sati sama lain, sehingga peradaban Islam adalah kenyataan sejarah yang memberi bukti bahwa pernah ada satu keberadaan yang sama-sama hidup dengan substansi dan ajaran untuk saling menghargai hak-hak hidup. Bukan saling memaksakan kehendak dan pendapat. Silang dengan perbedaan meruncing, sungguh sekali lagi tidak. Sehingga harmonisasi tidak hanya sebuah waca public namun pertanda terhadulu mengenai toleransi dalam keberagaman.

Tidak selayaknya kita, penganut agama apapun, terkotak-kotak pada pandangan saling sinis berdasrkan subjektivitas belaka, dan pemahaman sempit tentang agama dan golongan. Karena hal tersebut akan membatasi tindakan dan perilaku di dalam berlaku sebagai manusia seutuhnya, yang hidup sebagai mahkluk sosial, berkenalan bergaul dan berinteraksi dengan sesama. Agama bukan pijakan untuk saling memisahkan manusia berdasrkan golongan. Agama adalah sarana spiritualitas. adalah satu pandangan yang menggarisbawahi bahwa kebenaran relatif dari manusia adalah hasil daripada perbedaan-perbedaan yang kemudian menjadi dinamika.

Dan sangat disayangkan apabila agama hanya memberi justifikasi yang sifatnya mengikat secara mutlak, sulit terkikis namun mengakar kuat sebagai nilai sejati dan menolak terhadap keniscayaan perbedaan. Dan pemahaman universalisme memberi sebuah domain disaat kita lebih baik memilih moderasi sebagai jalan hidup, dengan latar belakang perbedaan yang ada. Bahwa perbedaan bukanlah paten mutlak, karena dibalik perbedaan, terdapat kesamaan dan beberapa nilai segaris yang kebetulan beririsan secara linier. Selama kita mampu menebar kasih sayang dan nilai keluhuran secara bersama-sama, untuk apa tetap menggebu-gebu saling menyerang dengan landasan keagaam dan konstruksi relijiusitas untuk menyerang. Itu sebabnya kita seharusnya harus memiliki titik temu untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan sebagai hal yang diperjuangkan bersama. Namun tidak berarti bahwa kita mengesampingkan identitas asli/asal dan menjadikan universalisme sebagai pegangan utama, bukan lagi kepada persamaan dari perbedaan-perbedaan yang ada. Memahami orang lain, dan hidup dengan segala perbedaan sungguh indah, ketimbang masing-masing bertahan dalam segala pandangan agresif dan tendensius dengan segala perbedaan yang nyatanya masih tetap ditolak sebagai asasi suci dari kehidupan ini. hidup ini pun tidak bisa berjalan dengan seenaknya tanpa memiliki landasan, dalam hal ini landasan dalam menjiwai kehidupan adalah berdasar pada agama. Karena memang sifat agama adalah sensitif. Maka harus ada ruang yang cukup dan terbatas untuk membicarakan isu-isu agama pada penempatanya. Karena isu mengenai agama dan segala perniknya, mampu menjadi boomerang bagi setiap pemegang teguh ajaran agama masing-masing, apalagi dalam konteks yang saling serang. Pandangan sentimental berbuah keburukan dan dampak-dampak buruk yang dapat ditumbulkan secara sosio-kultural dan kehidupan bermasyarakat.

Namun satu hal lagi, bahwa menjadikan bahan perbedaan dalam substansi agama yang berbeda untuk dicarikan persamaanya, adalah tindakan yang mencederai nilai-nilai keberagamaan. Agama hidup melalui subtansi ajaran yang dianut oleh pemeluknya, sekaligus keluhuran sebuah agama ditunjukan dari personifikasi para penganutnya. Maka segala tindak-tanduk yang kita lakukan, adalah cerminan mengenai apa yang diberikan dan diturunkan oleh agama bersangkutan yang kita genggam. Pandangan dengan memandang rendah yang lain, tentu akan berimplikasi buruk secara langsung terhadap perbuatan dan pemikiran yang secara khusus merupakan cerminan dari pengetatahuan daripada sistem nilai yang telah diajarkan. Agama semenjak diciptakan, tidak ditujukan untuk saling membenci dengan yang lain. Meski terafilisasi kepada kepercayaan tertentu, konsekuensi daripada sebuah identitas agama, namun bukan cerminan orang beragama untuk tidak melingkupi cara hidup mereka dengan nilai-nilai sosial yang integratif. Cenderung tidak bisa melebur dan berbaur, dan tetap berlandaskan kepada nilai absolute suatu ajaran.

Terakhir, perbedaan yang ada bukan sebuah jalan bagi kita untuk saling berpecah-belah. Sesame penganut agama harus teguh dengan imanya, yakin atas kepercayaanya, dan tetap hidup dengan menganut kepada pemahaman terhadap hakikat agama sebagai sumber keluhuran dan menjadi patron dan agen-agen utama dalam menebar kebaikan kepada sesame dan sisi kemanusiaan sebagai hakikat yang seharunsya dijunjung tinggi. Selama kita masih bisa hidup dengan mencari persamaan yang ada diantara kita, untuk apa kita terus beranggapan dengan penuh kehati-hatian perasaan penuh curiga oleh sebab kita adalah berbeda? Oleh karena itu, sebabnya jangan pernah hidup dengan segala keterbatasan dan keengganan untuk saling paham dengan satu dasar bahwasanya dimanapun, agama adalah hasil rekonstruksi dalam filosofi kebaikan universal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun