Di Indonesia, corak populisme yang muncul adalah populisme yang berdasarkan Islam. Populisme Islam di Indonesia pada dasarnya mimiliki sejarah yang panjang, yang jika dilacak bisa kita lihat sejak era Hindia-Belanda. Dari masa-kemasa, kelompok Islam politik menjadi titik sentral dari terbentuknya artikulasi politik dalam bentuk populisme Islam. Di masa demokratisasi saat ini, kelompok Islam politik mewarnai kehidupan politik Indonesia, terutama saat momen-momen elektoral. Kemunculannya bisa dilihat dari pasca pilpres 2014, di mana Prabowo dan Jokowi bersaing merebut kursi presiden.
Pada awal abad ke-20 di Indonesia, bisa dibilang, artikulasi politik berbasiskan pada identitas keislaman, secara bersamaan, juga merupakan bagian dari semangat nasionalisme yang anti-kolonial. Hal tersebut terjadi secara bersama dan menyatu dikarenakan baik kalangan nasionalis atau Islam memiliki tujuan politik yang sama yakni terbebas dari kolonialisme. Selain itu, mereka juga merespon hal yang sama yakni menentang sistem ekonomi kolonial yang kapitalistik.
Misalnya adalah organisasi pergerakan Sarekat Islam, di mana salah satu pemimpinnya yakni Tjokroaminoto sangat bergairah menentang sistem ekonomi kolonial tersebut. Hal itu dia tuangkan panjang lebar dalam risalahnya berjudul "Islam dan Sosialisme" yang pada intinya mencoba mengemukakan perspektif bagaimana Islam memandang sistem ekonomi Hindia-Belanda yang kapitalistik dan bagaimana Islam memandang sosialisme tidak dalam bentuk pertentangan. Salah satu pemimpin Sarekat Islam yang lain, yakni Haji Agus Salim, sampai-sampai mengatakan bahwa gagasan-gagasan Marxisme sudah terkandung dalam Qur'an.
Sarekat Islam adalah penanda kemunculan populisme Islam di Indonesia. Dalam tataran diskursif, mereka mengartikulasikan politik populisme dengan mewacanakan sikap anti kolonialisme. Mereka muncul dalam bentuk politik Islam yang emansipatif. Tetapi, mereka menolak perubahan revolusioner. Sebagaimana dikomentari oleh Hadiz karena mereka memiliki basis kelas sosial borjuis kecil. Sehingga perubahan revolusioner tersebut dapat menggagalkan klaim kepemilikan properti miliknya (Hadiz, 2019: 103). Hal itu terbukti dengan pecahnya Sarekat Islam yang kemudian dikenal sebagai Sarekat Islam merah yang komunis, dan Sarekat Islam putih yang Islam. Di mana Sarekat Islam putih menentang aktivitas revolusioner Sarekat Islam merah, yang selanjutnya adalah cikal-bakal dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sarekat Islam bukanlah satu-satunya entitas politik untuk melawan kolonialisme di Hindia-Belanda. Pecahnya Sarekat Islam dapat dipahmi dengan lahirnya kelompok politik lain, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) yang awalnya berasal dari Sarekat Islam merah. Lahirnya PKI dengan demikian menandakan lahirnya sebuah entitas politik berbasis kelas untuk tujuan perubahan politik secara revolusioner, di mana hal ini ditentang sebelumnya oleh Sarekat Islam. Kalangan nasionalis juga mengisi posisi strategis dalam menentang kolonialisme, di mana Soekarno yang merupakan anak didikan Tjokroaminoto dari Sarekat Islam, menjadi tokoh nasionalis yang berpengaruh.
Artikulasi politik berbasis Identitas keislaman yang diwakili oleh Sarekat Islam ini merupakan salah satu bentuk populisme Islam lama. Mereka membangun garis pemisah yang tegas antara 'rakyat' yang tertindas dan 'elite' yang menindas. Misalnya aspirasi politik mereka yang menentang kolonialisme dan sistem ekonomi kapitalistik HindiaBelanda dapat dilihat dalam kerangka populisme Islam lama tersebut, di mana di satu sisi ada 'elite' yang tamak dan 'rakyat' yang menderita.
Selain Sarekat Islam, selanjutnya muncul gerakan politik Islam yang aktif dalam pemberontakan senjata sejak 1940 hingga 1962. Mereka dipimpin oleh pejuang kemerdekaan lainnya, yakni Kartosuwiryo yang memimpin gerakan Darul Islam. Ia dan gerakannya berupaya mendirikan sebuah negara Islam di Indonesia. Darul Islam lahir dilatari oleh perselisihan antara prajurit militer. Kartosuwiryo diketahui adalah sebagai pemimpin pasukan milisi di Jawa Barat era 1940-an. Milisi ini tidak setuju dengan cara pemerintahan Indonesia yang waktu itu masih muda, ingin merundingkan akhir peperangan dengan Belanda.
Gerakan Darul Islam telah melakukan beberapa pemberontakan militer, hingga akhirnya ditumpas habis oleh militer Indonesia pada tahun 1962 yang berujung pada dieksekusinya Kartosuwiryo. Darul Islam mengambil bentuk populisme Islam dengan menginginkan adanya sebuah persatuan di anatar kelompok Islam untuk membentuk negara Islam. Mereka menganggap bahwa negara Indonesia tidak seharusnya mengambil bentuk negara di luar dari hukum Islam. Dengan kata lain, wacana populisme Islam yang coba dikemukakan Darul Islam adalah dengan mengkonstruksi sebuah anggapan mengenai adanya suatu penyelewengan terhadap hukum Islam, yakni negara Indonesia yang sekular berideoligi Pancasila bukanlah cita-cita Islam.
Menurut Hadiz, ada tiga alasan mengapa Darul Islam memiliki signifikansi sejarah. Pertama, gerakan itu telah hampir menjadi contoh mitos perjuangan 'heroik' untuk mendirikan negara Islam. Gerakan tersebut menjadi model bagi perjuang-perjuang politik selanjutnya untuk mendirikan negara Islam guna menggantikan negara yang mereka anggap sekuler dengan ideologi Pancasila. Kedua, berbagai bentuk penjelmaan dari Darul Islam akan berguna sebagai kendaraan bawah tanah yang digunakan untuk menghidupkan oposisi terhadap Soeharto, khususnya pada masa 1970-an dan 1980-an. Ketiga, kendaraan itu memiliki peran penting untuk menasionalisasikan secara politis banyak generasi politik Islam masa kini, khususnya mereka yang berada di pinggiran masyarakat dan negara (Hadiz, 2019: 123).
Selain kemunculan kelompok populisme Islam seperti Sarekat Islam dan Darul Islam, corak populisme Islam di Indonesia juga sedikit banyak dikarakterisasikan dengan pengkonstruksian 'umat' melawan etnis Cina. Menurut Hadiz, bentuk lama dari populisme Islam di Indonesia adalah pertama-tama dan terutama merupakan reaksi terhadap penggerogotan ekonomi oleh kepentingan bisnis etnis Cina dan kalangan non-Muslim lainnya.
Bentuk populisme yang muncul dalam hal ini adalah dengan mengangkat wacana populis yakni 'anti-Cina'. Hal tersebut dikarenakan bahwa ladang bisnis etnis Cina telah merambah wilayah yang sebetulnya dimiliki oleh borjuis Islam kecil. Selain itu, mereka juga mendapat posisi penting di dalam pemerintahan Hindia-Belanda, baik itu posisinya sebagai pengusaha, ataupun sebagai controleur. Hal ini kemudian menjadi dasar sejarah bagi bentuk-bentuk populisme Islam di Indonesia kontemporer, di mana wacana 'anti-Cina' sering dipakai sebagai bentuk politik populis kelompok Islam politik.
Pada masa Orde Lama, represi negara terhadap populisme Islam terjadi tatkala Darul Islam yang mencita-citakan negara berdasarkan Islam ditumpas sedemikian rupa oleh kekuatan militer Indonesia. Ujung dari penumpasan ini yakni dieksekusinya Karto Suwiryo oleh militer Indonesia.
Setelah lama absen dari politik Indonesia, kelompok Islam muncul kembali dengan format yang berbeda, yakni berkoalisi dengan negara dalam hal penumpasan kelompok komunis di Indonesia. Menurut Hadiz, munculnya kelompok Islam di Indonesia dalam konteks ini dengan melakukan penumpasan terhadap kelompok komunis, harus dipahami dalam kerangka politik yang melatarbelakanginya.
Pada saat itu perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur sedang berlangsung. Di mana posisi kelompok Islam dalam politik global ini mempunyai dua kerentanan sekalgus, yakni ancaman terhadap komunisme oleh Blok Timur, dan ancaman terhadap kapitalisme oleh Blok Barat.
Dalam konteks Indonesia, kelompok Islam justru membangun koalisi dengan kelompok nasionalis yang didukung oleh Amerika dari Blok Barat untuk menumpas komunisme di Indonesia sebagai representasi bentuk politik Blok Timur. Negara Orde Baru menggunakan mereka sebagai ujung tombak dari pembantaian tersebut. Hal itu terjadi karena antara kelompok Islam dan komunis memiliki sejarah konflik yang panjang di Indonesia. Di mana saat program reforma agraria berlangsung, kalangan komunis merebut tanah-tanah dari kelompok Islam di pedesaan. Dengan demikian, antara kelompok Islam dan militer berhasil mencapai tujuan bersama yakni menggagalkan proyek komunisme yang mengancam kepentingan ekonomi kelompok borjuis kecil Islam dan kepentingan militer. Kepentingan kelompok militer sering bersebrangan dengan kelompok komunis, di mana militer yang sering menjadi aktor dalam nasionalisasi aset sering beradu dengan serikat-serikat buruh yang terasosiasi dengan kelompok komunis.
Tahun 1970-an dan 1980-an merupakan titik di mana terjadi represi terhadap segala bentuk aktivitas politik yang menentang Orde Baru. Pada masa itu, bentuk artikulasi politik dengan identitas Islam hampir sama sekali terkubur. Peminggiran terhadap umat ini didorong dengan sebuah sistem politik yang otoriter. CSIS (Centre for Strategic and International Studies)---mereka mendapat lindungan dari Ali Moertopo, seorang pebisnis keturunan Cina---merupakan arsitek utama dalam hal membentuk sistem politik yang tertutup, yang tujuannya untuk menstabilkan pembangunan ekonomi negara Orde Baru. Strateginya diantara lain adalah dengan pengaturan sistem pemilu secara ketat, organisasi korporatis yang diciptakan negara, dan politik massa mengambang. Hal ini ampuh mencegah kemungkinan mobilisasi umat.
Orde Baru menggunakan Pancasila sebagai asas tunggal sebagai cara merepresi entitas politik yang menurut mereka berkhianat terhadap Ideologi negara tersebut. Hal ini juga lah menjadi faktor di mana politik Islam terdepolitisasi. Tidak mungkin Orde Baru atas dasar alasan mengatakan bahwa kelompok politik Islam terpengaruhi oleh ideologi asing seperti yang mereka lancarkan kepada kelompok komunis. Dengan demikian aturan tersebut secara tidak langsung dapat dibaca sebagai represi terhadap kelompok politik Islam yang masih tidak sepakat dengaan Pancasila.
Ketika era demokratisasi pasca Orde Baru berlangsung, kelompok Islam politik muncul dalam bentuk dua wajah. Pertama adalah sebagai kelompok yang berpartisipasi dalam demokrasi, baik itu secara formal seperti yang dilakukan oleh PKS, atau secara informal dengan ormasormas Islam ekstra parlemen. Kedua, yakni secara koersif melalui aksiaksi teror dengan narasi menentang identitas barat yang sekuler, dan keinginan utopis tentang negara Islam.
Mereka yang mengambil bentuk secara koersif, merupukan perwujudan dari kelemahan dan frustasi setelah sekian lama ditindas oleh negara Orde Baru (Sidel, 2006). Keterbukaan politik pasca Orde Baru digunakan oleh kelompok-kelompok seperti Jamaah Islamiyah untuk melakukan aksi teror. Hal ini mustahil dilakukan pada era Orde Baru, di mana mereka menghadapi represi dari negara secara langsung dan tidak langsung.
PERKEMBANGAN POPULISME ISLAM KONTEMPORER / PASCA REFORMASI
Dalam perkembangan terkini, populisme Islam di Indonesia telah sukses mewarnai kehidupan politik. Setidaknya hal itu bisa dilihat dengan munculnya aksi Bela Islam sepanajang 2016-2017 yang menuntut pemenjaraan terhadap Basuki Thaja Purnama atau Ahok yang telah menistakan Al-Qur'an. Aksi Bela Islam ini di motori oleh GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa-Majelis Ulama Indonesia). Dalam Aksi Bela Islam ini, selain diikuti oleh kelompok-kelompok Islam garis keras seperti FPI dan HTI, kalangan moderat juga terlibat seperti dari Muhammadiyah dan sebagian dari pengikut Nahdlatul Ulama (NU) dari kalangan Nahdliyin atau Warga NU (Kusumo & Hurriyah, 2018).
Dalam perjalanannya, GNPF-MUI---yang di dominasi oleh FPI dan HTI---menjalin koalisi politik untuk memenangkan calon presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno pada pilpres 2019. Tetapi kemudian kalah dalam pertarungan politik melawan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Jika mengikuti perspektif Hadiz, hal ini karena mereka membangun aliansi yang asimestris dengan disatu sisi bergabung bersama kelompok yang memiliki kekuasaan material dan politik yang kuat, dan di sisi lain mereka sebagai kelompok Islam politik yang memiliki kelemahan kekuasaan politik dan sumber daya ekonomi. Atas dasar alasan itulah mereka terpinggirkan secara politik akibat calon yang mereka dukung, yakni Prabowo dan Sandiaga Uno bergabung dalam pemerintahan Jokowi. Kelompok oligarki pada dasarnya sama sekali tidak memiliki ketertarikan terhadap aspirasi ke-Islaman yang diusung oleh kelompok Islam politik, hanya saja menurut mereka hal itu adalah basis politik untuk menang dalam pertarungan. Hal ini membuat kelompok Islam politik yang mengartikulasikan bentuk populisme Islam terpinggirkan dari arena politik akibat dinamisnya tindakan politik kelompok oligarki yang pada dasarnya oportunis saja. Dalam perkembangan selanjutnya, FPI maupun HTI yang merupakan kelompok populisme Islam di Indonesia pada akhirnya dibubarkan oleh pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Mereka secara ideologis dianggap bertentangan dengan Pancasila karena menginginkan bentuk negara Islam. Mietzner (2018) menganggap , baik kelompok Islam garis keras tersebut dan tindakan pemerintah untuk membubarkannya sama-sama merupakan bentuk politik iliberal
Sejarah Popularitas Islam di indonesia sangatnya panjang mulai dari awal sebelum kolonial hingaa era sekrang. Makan dari itu perkembangan islam di indonesia mengalami perubahan dari masa ke masa. Dan banyak pula tata cara yang di rubah se iring berjalannya era. Akan tetapai ajaran Islam yang meliputi Aqidah dan akhlaq mudah dimengerti sehingga mudah diterima oleh masyarakat. Hal itu untuk mengetahuai sejarah perjalanan islam terutama di indonesia. Sejarah popularitas islam di indonesia mengalami perjalanan yang begitu panjang maka oleh karena itu harus mengatahui awal mula perkembangan sejarah islam terutama yang ada Indonesia.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H