Pada masa Orde Lama, represi negara terhadap populisme Islam terjadi tatkala Darul Islam yang mencita-citakan negara berdasarkan Islam ditumpas sedemikian rupa oleh kekuatan militer Indonesia. Ujung dari penumpasan ini yakni dieksekusinya Karto Suwiryo oleh militer Indonesia.
Setelah lama absen dari politik Indonesia, kelompok Islam muncul kembali dengan format yang berbeda, yakni berkoalisi dengan negara dalam hal penumpasan kelompok komunis di Indonesia. Menurut Hadiz, munculnya kelompok Islam di Indonesia dalam konteks ini dengan melakukan penumpasan terhadap kelompok komunis, harus dipahami dalam kerangka politik yang melatarbelakanginya.
Pada saat itu perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur sedang berlangsung. Di mana posisi kelompok Islam dalam politik global ini mempunyai dua kerentanan sekalgus, yakni ancaman terhadap komunisme oleh Blok Timur, dan ancaman terhadap kapitalisme oleh Blok Barat.
Dalam konteks Indonesia, kelompok Islam justru membangun koalisi dengan kelompok nasionalis yang didukung oleh Amerika dari Blok Barat untuk menumpas komunisme di Indonesia sebagai representasi bentuk politik Blok Timur. Negara Orde Baru menggunakan mereka sebagai ujung tombak dari pembantaian tersebut. Hal itu terjadi karena antara kelompok Islam dan komunis memiliki sejarah konflik yang panjang di Indonesia. Di mana saat program reforma agraria berlangsung, kalangan komunis merebut tanah-tanah dari kelompok Islam di pedesaan. Dengan demikian, antara kelompok Islam dan militer berhasil mencapai tujuan bersama yakni menggagalkan proyek komunisme yang mengancam kepentingan ekonomi kelompok borjuis kecil Islam dan kepentingan militer. Kepentingan kelompok militer sering bersebrangan dengan kelompok komunis, di mana militer yang sering menjadi aktor dalam nasionalisasi aset sering beradu dengan serikat-serikat buruh yang terasosiasi dengan kelompok komunis.
Tahun 1970-an dan 1980-an merupakan titik di mana terjadi represi terhadap segala bentuk aktivitas politik yang menentang Orde Baru. Pada masa itu, bentuk artikulasi politik dengan identitas Islam hampir sama sekali terkubur. Peminggiran terhadap umat ini didorong dengan sebuah sistem politik yang otoriter. CSIS (Centre for Strategic and International Studies)---mereka mendapat lindungan dari Ali Moertopo, seorang pebisnis keturunan Cina---merupakan arsitek utama dalam hal membentuk sistem politik yang tertutup, yang tujuannya untuk menstabilkan pembangunan ekonomi negara Orde Baru. Strateginya diantara lain adalah dengan pengaturan sistem pemilu secara ketat, organisasi korporatis yang diciptakan negara, dan politik massa mengambang. Hal ini ampuh mencegah kemungkinan mobilisasi umat.
Orde Baru menggunakan Pancasila sebagai asas tunggal sebagai cara merepresi entitas politik yang menurut mereka berkhianat terhadap Ideologi negara tersebut. Hal ini juga lah menjadi faktor di mana politik Islam terdepolitisasi. Tidak mungkin Orde Baru atas dasar alasan mengatakan bahwa kelompok politik Islam terpengaruhi oleh ideologi asing seperti yang mereka lancarkan kepada kelompok komunis. Dengan demikian aturan tersebut secara tidak langsung dapat dibaca sebagai represi terhadap kelompok politik Islam yang masih tidak sepakat dengaan Pancasila.
Ketika era demokratisasi pasca Orde Baru berlangsung, kelompok Islam politik muncul dalam bentuk dua wajah. Pertama adalah sebagai kelompok yang berpartisipasi dalam demokrasi, baik itu secara formal seperti yang dilakukan oleh PKS, atau secara informal dengan ormasormas Islam ekstra parlemen. Kedua, yakni secara koersif melalui aksiaksi teror dengan narasi menentang identitas barat yang sekuler, dan keinginan utopis tentang negara Islam.
Mereka yang mengambil bentuk secara koersif, merupukan perwujudan dari kelemahan dan frustasi setelah sekian lama ditindas oleh negara Orde Baru (Sidel, 2006). Keterbukaan politik pasca Orde Baru digunakan oleh kelompok-kelompok seperti Jamaah Islamiyah untuk melakukan aksi teror. Hal ini mustahil dilakukan pada era Orde Baru, di mana mereka menghadapi represi dari negara secara langsung dan tidak langsung.
PERKEMBANGAN POPULISME ISLAM KONTEMPORER / PASCA REFORMASI
Dalam perkembangan terkini, populisme Islam di Indonesia telah sukses mewarnai kehidupan politik. Setidaknya hal itu bisa dilihat dengan munculnya aksi Bela Islam sepanajang 2016-2017 yang menuntut pemenjaraan terhadap Basuki Thaja Purnama atau Ahok yang telah menistakan Al-Qur'an. Aksi Bela Islam ini di motori oleh GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa-Majelis Ulama Indonesia). Dalam Aksi Bela Islam ini, selain diikuti oleh kelompok-kelompok Islam garis keras seperti FPI dan HTI, kalangan moderat juga terlibat seperti dari Muhammadiyah dan sebagian dari pengikut Nahdlatul Ulama (NU) dari kalangan Nahdliyin atau Warga NU (Kusumo & Hurriyah, 2018).
Dalam perjalanannya, GNPF-MUI---yang di dominasi oleh FPI dan HTI---menjalin koalisi politik untuk memenangkan calon presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno pada pilpres 2019. Tetapi kemudian kalah dalam pertarungan politik melawan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Jika mengikuti perspektif Hadiz, hal ini karena mereka membangun aliansi yang asimestris dengan disatu sisi bergabung bersama kelompok yang memiliki kekuasaan material dan politik yang kuat, dan di sisi lain mereka sebagai kelompok Islam politik yang memiliki kelemahan kekuasaan politik dan sumber daya ekonomi. Atas dasar alasan itulah mereka terpinggirkan secara politik akibat calon yang mereka dukung, yakni Prabowo dan Sandiaga Uno bergabung dalam pemerintahan Jokowi. Kelompok oligarki pada dasarnya sama sekali tidak memiliki ketertarikan terhadap aspirasi ke-Islaman yang diusung oleh kelompok Islam politik, hanya saja menurut mereka hal itu adalah basis politik untuk menang dalam pertarungan. Hal ini membuat kelompok Islam politik yang mengartikulasikan bentuk populisme Islam terpinggirkan dari arena politik akibat dinamisnya tindakan politik kelompok oligarki yang pada dasarnya oportunis saja. Dalam perkembangan selanjutnya, FPI maupun HTI yang merupakan kelompok populisme Islam di Indonesia pada akhirnya dibubarkan oleh pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Mereka secara ideologis dianggap bertentangan dengan Pancasila karena menginginkan bentuk negara Islam. Mietzner (2018) menganggap , baik kelompok Islam garis keras tersebut dan tindakan pemerintah untuk membubarkannya sama-sama merupakan bentuk politik iliberal