Di rumah produksi tersebut biasanya memiliki beberapa pegawai yang membantu sesuai dengan keahliannya. Sebagian karyawan biasanya sudah memiliki keahlian untuk membuat produk tersebut dikarenakan lingkungannya dan jika memungkinkan nantinya mereka akan juga membuka usahanya sendiri dengan dibantu oleh organisasi koperasi INTAKO.
Para pengrajin ini biasanya menggunakan bahan baku kulit yang didapatkan dari perusahaan kulit lokal. Namun beberapa tahun terakhir bahan baku kulit lokal harganya melonjak lumayan tinggi.Â
Dengan adanya hal tersebut memaksa pengrajin membeli bahan baku dari luar dengan harga yang relatif murah dibandingkan kulit dari perusahaan lokal. Sebagian pengrajin juga mulai menggunakan kulit imitasi atau kulit tiruan untuk dapat bersaing dengan harga produk di luaran.Â
Karena saat ini produk dari luar terutama dari Cina memang menyajikan produk dengan model yang bagus namun dengan harga yang murah. Para pengrajin akhirnya juga harus beradaptasi juga dengan hal tersebut, jika tidak mereka akan kesusahan untuk menjual produknya.Â
Cara seperti menggunakan bahan kulit imitasi atau tiruan ini memang cukup berpengaruh apalagi dengan harga yang lebih murah. Namun para pengrajin juga harus memperhatikan kualitas mereka.Â
Walaupun bahan baku yang digunakan mulai diganti dengan bahan imitasi, tetapi mereka juga tetap harus menjaga kualitas produk mereka karena itulah salah satu keunggulan dari produk yang ada di sentra pengrajin ini.
Sentra pengrajin di Tanggulangin saat ini memang tidak seramai dulu, bukan cuma karena pandemi covid yang melanda tetapi sebelum itu memang sudah mulai kehilangan konsumennya.Â
Penurunan para konsumen ini dimulai semenjak terjadi bencana lumpur lapindo tahun 2006 silam. Sejak saat itulah ekonomi di sentra pengrajin tersebut menurun drastis. Ada banyak sekali pengusaha atau pengrajin yang tidak bisa bertahan dan akhirnya gulung tikar karena efek dari semburan lumpur lapindo tersebut.
Sebelum adanya semburan lumpur lapindo, total pengrajin yang ada di sentra tersebut kurang lebih sebanyak 300an dan memperkerjakan kurang lebih 5000 pegawai. Namun semenjak kejadian itu, para pengerajin tersebut jumlahnya turun drastis hingga hanya tersisa 90an pengrajin.Â
Menurut data pembukuan penjualan dari INTAKO, sebelum semburan lumpur lapindo omset dari penjualan kerajinan tersebut bisa mencapai 900 juta per bulan. Sebagian pengrajin menutup usahanya dan beralih membuka usaha dibidang yang lain seperti membuka toko dan warung.
Kondisi ini sebenarnya sudah mulai membaik lagi namun pandemi covid menjadi rintangan berikutnya dari para pengrajin. Namun, dengan kebijakan pemerintah kabupaten Sidoarjo yang mana pemerintah sangat mendukung penuh kegiatan usaha-usaha kecil yang ada di Sidoarjo sehingga hal ini menjadi titik terang bagi para pengerajin.Â