Mohon tunggu...
Ahmad Effendi
Ahmad Effendi Mohon Tunggu... Jurnalis - Berjalan sendiri adalah pilihan, bergumul dengan sosial adalah hakekat.

Mahasiswa Sejarah di salah satu perguruan tinggi kota Yogyakarta. Pecinta sastra dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pasukan Kelelawar yang Merindukan Malam Hari

7 Desember 2019   00:49 Diperbarui: 7 Desember 2019   00:48 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa-rasanya kisah tentang kejayaan Pasukan Kelelawar memang benar adanya. Menyoal dunia permalingan, Malik bakal bilang "urusan pil-gampil" dengan menjentikan jari kelingkingnya tanda "itu hal gampang".

Persoalan maling, Desa Banaran memang pernah resah dibuatnya, khusunya saat malam datang. Tujuh hari dalam seminggu, tujuh pemilik rumah bakal teriak-teriak panik. Para hansip akan meninggalkan papan catur mereka, dan bapak-bapak yang tengah ritual bersama istri berucap tak sedap: "Asu!", dan langsung meninggalkan ranjang dengan wajah marah kemudian keluar rumah.

Mereka mengincar satu target: Pasukan Kelelawar. Entah siapa yang menamainya pertama kali. Yang jelas nama itu dilabelkan kepada kelompok maling paling disegani di sana. Pasukan Kelelawar keluar di malam hari, berpakaian serba hitam, kemudian mengambil apa saja yang bisa dikais. Televisi, radio, sampai binatang ternak pun diembat.

"Bawa apa mereka malam ini?" teriak seorang warga.

"Kambing warga mas, ada empat. Haduh, padahal mau Pak Kasim buat selametan anaknya di kota yang baru aja diangkat jadi PNS."

"Memang itu maling tak punya hati."

"Mana ada maling yang punya hati, Mas. Mau maling ayam, sampai maling duit rakyat semua sama aja serakahnya."

Malam itu Pasukan Kelelawar membawa empat ekor kambing. Mereka menjualnya ke pasar hewan yang memang buka setiap hari rabu, kemudian membaginya empat sama rata.

"Apa yang kubilang, urusan maling-memaling itu gampil-gampil-gampil", seru Malik yang diikuti gelak tawa Taqim, Somad, dan Rabul. Mereka adalah sahabat karib sejak kecil sekaligus sobat sepermalingan yang telah beroperasi lebih dari dua tahun belakangan ini.

Setiap beroperasi, mereka membagi jobdesk masing-masing. Biasanya Taqim yang bertubuh kekar punya tugas congkel-mencongkel sekaligus menjaga pintu atau jendela. Sementara Malik, yang memang jadi "intel" dan paling paham medan target bakalan memimpin operasi dalam rumah. Tugas Rabul dan Somad sebagai eksekutor.

Perihal melarikan diri pun, mereka telah belajar banyak mengenai seni eskapologis. Perencanaan matang di siang hari, dengan membuat proyeksi jalur pelarian dari plan A sampai plan D. Bahkan mereka telah membangun kantong-kantong persembunyian di beberapa titik di tengah hutan yang mereka anggap mustahil tercium oleh warga.

Alhasil, selama dua tahun, usaha permalingan mereka lancar. Pasukan Kelelawar menjadi komplotan maling paling disegani. Bahkan, kalau dihitung, satu malamnya mereka akan menghasilkan tak kurang dari sejuta untuk masing-masing anggota.

"Jadi maling, apa jadi PNS resikonya sama kok, Sob. Kalau ketahuan ya kita sama-sama bakal dipenjara. Bedanya, kita rugi digebukin warga aja. Ha-ha-ha" Kata Rabul.

"Gaji kita lebih gede lho. Ya, sama-sama kerja kotor juga kok. Mereka cuman menang pake jas sama dasi aja. Kita kalah rapi. Ha-ha-ha" sambung Somad ditengah perayaan keberhasilan mereka malam itu. Gelak tawa pecah, bersama kokokan ayam jago di waktu subuh mereka tertawa puas atas pencapaian mereka malam itu.

"Hidup maling! Panjang umur permalingan. Pasukan Kelelawar sampai mati!"

**

Itu kisah lama. Kejayaan Pasukan Kelelawar tinggal cerita hari ini. Taqim, memutuskan pergi ke kota dan hidup bersama sang istri. Somad, merantau ke Jakarta dan kerja jadi kenek metromini. Kemudian Rabul, bekerja sebagai tukang kebun di salah satu rumah orang kaya bersama istrinya yang jadi pembantu. Alasan mereka meninggalkan dunia permalingan senada: Karena telah beristri dan ingin berubah.

Sementara Malik, Sang Intel, tidak kemana-mana. Jangankan istri, pekerjaan pun dia tidak punya. Dia jadi penganggur sejati. Menghabiskan waktunya untuk melamun dan beromantisme dengan masa kejayaan mereka dulu.

"Andai saja mereka tidak kawin. Brengsek, pasti aku udah kaya raya." Umpat Malik ditengah lamunannya.

"Bajingan. Harusnya mereka tidak meninggalkan dunia enak itu. Harusnya kita jadi maling yang solid!"

Sejak deklarasi perpisahan mereka waktu itu, Malik memang tidak kemana-mana. Dia tetap yakin, bahwa jalan ninja sebagai maling adalah falsafah hidupnya. Ia juga masih punya keyakinan bahwa Pasukan Kelelawar akan kembali. Comeback kalo katanya. Atau Reunion kalau istilah populernya hari ini.

Sejak deklarasi perpisahan itu juga, Desa Banaran menjadi aman. Warga tak resah lagi, Hansip-hansip jadi semakin produktif mengasah otak di depan papan catur. Bapak-bapak juga dapat menyelesaikan banyak ronde tiap malam ritual bersama istri.

"Alhamdulillah, tv, radio, kambing-kambing nggak ada yang hilang lagi" Kata pak lurah.

**

Lebaran tahun ini nampak beda dengan lebaran tahun lalu. Untuk pertama kalinya sejak berpisah, empat sobat karib itu bertemu. Somad, Rabul, dan Taqim pulang kampung dari perantauan di kota. Biskuit bergambar keluarga tanpa bapak, menjadi oleh-oleh wajib mereka kepada keluarga di kampung. Tak lupa, ritual saling-jabat-tangan keliling pun mereka lakukan.

Setelah sekian lama, mantan maling ini bertemu dan kembali bercengkrama dalam fitroh. katanya.

"Kamu, belum juga dapat gawean, Sob. Aku di kota ada kerja, gajinya lumayan."

"Mad, Somad. Kamu balik ke Desa tetap saja kan kekurangan. Setelah ini kamu pasti bingung kan bakal ongkos balik ke kota." kata Malik.

"Iya juga sih, Sob. Mana masih banyak anak-anak kecil yang belum tak kasih amplop kan"

"Kamu ini miskin, tapi gayamu selangit. Kalau nggak ada duit, kenapa juga harus ngasih?"

"Namanya juga gengsi, Sob."

Obrolan ngalor ngidul pun terjadi. Somad berkisah soal kerasnya hidup di kota serta tuntutan tingkat tinggi dari warga desa kepada orang yang kerja di kota. Sampai kurangnya biaya hidup kerja sebagai kenek. Malik, tak sungkan menimpalinya dengan guyon-guyon tak jelas.

Asbak telah penuh dengan putung rokok yang tak hentinya mereka kebulkan dari cerobong mulut. Kopi pun telah sampai pada dasar gelas, yang bersamaan dengan itu Somad berpamitan untuk pergi melanjutkan halal-bii-halal kepada para tetangga.

"Pikirkan baik-baik, Mad. Ini langkah besar. Reunion ini sekaligus jadi yang terakhir dari operasi kita. Karena setelahnya, aku juga mau ke kota." Timpal Malik yang hanya disamput anggukan Somad sambil berlalu meninggalkannya di teras rumah.

Melihat adanya kemungkinan reuni, Malik bersemangat dan mengundang ketiga karibnya itu untuk datang ke rumahnya pada malam hari. Malik telah menyipakan satu ajakan besar yang tak mungkin mereka tolak.

Malam tiba. Benar saja, Somad, Taqim, dan Rabul datang ke rumah Malik. Disambutnya mereka dengan kopi, dan mulai mengebul-lah ruang tamu dengan sebulan asap rokok dari mulut mereka. Obrolan mulai cair. Mereka bernostalgia dengan masa kejayaan Pasukan Kelelawar.

Tak terasa, waktu menunjuk jam dua belas malam.

"Pak Suhadi" Kata Malik, yang memancing rasa heran teman-temannya. Sontak, dengan kompak mereka mengerutkan dahi.

"Ya, Pak Suhadi. Kita memang nggak pernah maling lagi, tapi kemampuan intel-ku nggak berkurang sama sekali."

"Maksudmu apa sih, Mal?" tanya Rabul penasaran.

"Pak Suhadi, minggu lalu abis jual tanah, Sob. Katanya sih buat nyambut sanak sodara yang dari kota. Tau nggak laku berapa? Dua ratus lima puluh juta! Rencananya, saat anaknya yang dari kota datang, dia bakalan ngasih buat modal usaha. Bayangin, Pak Suhadi udah tua dan tinggal sendiri."

"Aku nggak paham, Mal, apa maksudmu." Rabul masih penasaran.

"Jadi gini, Sob. Aku paham kalian semua hidup susah di kota. Tapi bayangin, duit ratusan juta nunggu kita. Setidaknya, saat sodara kalian kumpul besok, kalian nggak bingung mau ngasih uang berapa."

"Aku sudah berhenti, sob" sambung Taqim dengan keringat dingin.

"Bayangin! Kita cukup lompat pager, congkel jendela belakang, masuk dan aku tahu dimana Pak Suhadi menyimpannya. Di lemari samping ranjangnya. Bayangin, dia orangtua, nggak bakal ngasih perlawanan kalau pun ketahuan. Pikirkan dengan jernih. Kita dulu ahli dalam melakukannya." Tegas Malik.

"Aku ikut!" Tegas Somad.

Mereka beberapa waktu saling memandang. Taqim sibuk menyeka keringat yang mengucur di kepalanya. Sementara Rabul masih mencoba mengatur nafasnya yang mulai tak karuan.

"Hidup maling! Panjang umur permalingan. Pasukan Kelelawar sampai mati!" Teriak Rabul, yang diikuti yang lain.

"Hidup maling! Panjang umur permalingan. Pasukan Kelelawar sampai mati!"

**

Pasukan Kelalawar memulai aksinya. Bersama gelap malam mereka mulai mengendap. Dengan jobdesk masing-masing, mereka mulai beraksi memasuki halaman rumah Pak Suhadi. Seperti biasa, Taqim yang bertugas mencongkel jendela dan menjaganya. Ia begitu menikmatinya.

Sementara yang lain mulai masuk. Malik mempimpin operasi. Bagai pasukan khusus yang hafal medan perang, ia menyusuri ruangan per ruangan dan berhenti tepat di depan pintu ruang kamar,

"Ini kamar Pak Suhadi. Dia biasanya keluar kamar pukul 3.30 untuk sholat Tahajud, mengaji dan sholat subuh. Artinya, kita punya waktu satu jam dari sekarang." Malik mencoba memberi instruksi.

Dengan perlahan, Somad membuka pintu. Spontan saja, Malik tertawa girang.

"Ha-ha-haaa.. Orang-orang bodoh"

Sontak, Rabul dan Taqim kompak saling memandang sebelum akhirnya menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. Taqim yang mendengar suara tertawa terbahak dari dalam langsung menuju ke sumber suara.

Amarah berpadu dengan adrenalin mereka yang lama tak diasah lagi. Mereka hanya menjumpai ruang kosong. Tanpa isi. Tak ada Pak Suhadi, tak ada uang dua ratus lima puluh juta. Mereka bertiga melotot, kompak mengarahkan pandangan ke arah Malik yang masih terbahak-bahak.

"Gila kau, bajingan" Sontak Taqim memukul Malik hingga terkapar. Namun, Malik masih tertawa girang.

"Kamu sudah gila. Tak ada otak. Pengangguran edan! Cuih!" Somad meludah ke arah Malik.

"Aku hanya rindu, Sob. Aku hanya rindu dunia malam."

"Aku telah mengatakan kepada warga bahwa Pasukan Kelelawar akan beraksi lagi malam ini di rumah ini pukul 3.30. Kuharap skill kabur kalian masih bagus. Oh, iya. Kantong-kantong persembunyian kita di hutan sama sekali belum terjamah manusia. Jadi selamat datang kembali!"

"Hidup maling! Panjang umur permalingan. Pasukan Kelelawar sampai mati!"

Ungkapan tersebut diteriakan Malik sebelum akhirnya mereka tersadar ada suara keramaian dengan umpatan-umpatan amarah yang semakin mendekat. Dan mulai mengepung rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun