(Imam Al-Ghazali, Al-Maqshidul Asna fi Syarhi Ma'ani Asmail Husna, [Beirut, Dar Ibni Hazm, cetakan pertama: 1424 H/2003 M], halaman 45-46).Â
Kedua, selalu merindukan sifat Allah menghiasi dirinya Memasuki lautan sifat luhur Allah subhanahu wa ta'ala adalah sebuah kenikmatan besar. Siapa pun yang pernah mencicipinya walau barang sedikit, pastilah tertarik untuk kembali merasakannya, lagi dan lagi hingga ia larut terbawa, tenggelam dalam samudra cinta, mabuk dengan segala keindahannya. Dalam sifat-sifat luhur itu terdapat candu yang kuat. Dan, inilah yang pernah dialami bahkan selalu dirasakan oleh kaum muqarrabin. Â
Mereka sebisa mungkin meraup dan mengenakkan sifat-sifat itu sebagai hiasan batinnya. Jelas, tiada hari yang mereka lalui tanpa rindu. Bahkan, setiap tapak kaki dan deru detik waktu yang tiada berhenti, akan menjadi bukti sebuah upaya pendekatan diri kepada sang Maha Luhur. Mereka mendekati keluhuran hakiki itu melalui sifat-sifat luhur-Nya. Karena kedekatan sejati, bukan tentang tempat, tetapi sifat.Â
Al-Ghazali mengatakan, Liyuqarribu biha min al-haqqi qurban bi as-shifati la bi al-makani (agar mereka mendekati Allah dengan sifat, bukan dengan tempat).Â
Normalnya, kerinduan itu selalu datang mengetuk relung setiap hamba. Namun, terkait realitas dalam diri kita yang lebih banyak membuang nafas tanpa rindu, tampak seolah ada tembok besar yang menghalangi rindu itu datang. Dalam Kitab al-Maqshidul Asna, sekurangnya al-Ghazali merangkum dua faktor yang membuang rindu tersebut jauh-jauh.Â
Pertama, bisa jadi karena lemahnya makrifat dan keyakinan kita terhadap sifat yang seharusnya kita rindukan.Â
Kedua, barangkali karena hati kita telah dipenuhi oleh rindu yang lain. Tak ubahnya seorang mahasiswa studi tafsir yang mengidolakan sosok profesor kenamaan Indonesia, Quraish Shihab, misalnya. Nyaris, di mana pun kajiannya digelar, ia pasti hadir mendengarkan. Mahasiswa tersebut selalu terpana oleh setiap kalam yang keluar dari profesor idolanya itu. Hari-harinya penuh dengan rindu. Dari gaya bicara hingga gaya duduk berusaha ditirunya.Â
Namun, bertepatan suatu hari-tepat pada jam kajian Pak Quraish Shihab-ia diserang rasa lapar yang berat. Akibatnya, ia tak lagi fokus mendengarkan. Pikirannya ke mana-mana. Matanya celingak-celinguk mencari jalan keluar, menyela-nyela di tengah sekumpulan jamaah yang memadati auditorium kampus. Rupanya, sebungkus nasi pecel pagi itu lebih ia rindukan daripada sosok profesor yang saat itu di hadapannya. Â
Ketiga, menginstalasi asmaul husna dalam diri Mendekatkan diri kepada Allah (at-taqarrub ilallah), sebenarnya tak jauh beda dengan saat berupaya mendekati lawan jenis yang kita sukai, atau pedekate dalam istilah kamus remaja modern ini.Â
Artinya, mereka yang tengah menaruh hati kepada seorang pria atau wanita pujaannya, berupaya semaksimal mungkin untuk mengungkap kesamaan dalam dirinya. Mulai dari kesamaan warna favorit, kegemaran berkunjung ke wisata bahari, bahkan yang dulunya anti nasi goreng, tiba-tiba mendadak sering nongol di warung nasi goreng, misalnya. Itu hanya karena ia ingin menyamakan diri; dalam sifat, kesukaan dan banyak hal lain dengan orang disukainya. Demikian halnya saat seorang hamba ingin mendekatkan diri (at-taqarrub) kepada Allah.Â
Sang hamba tersebut harus sebisa mungkin menginstalasi sifat-sifat Allah agar tertanam dalam dirinya. Sebab, hanya dengan berhiaskan sifat-sifat indah itu, seorang hamba dapat disebut rabbani (orang yang dekat dengan sang Rabbil 'alamin). Imam al-Ghazali mengatakan:Â