Mohon tunggu...
Ahmad Dharmawan
Ahmad Dharmawan Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa

NIM : 55523110003 | Program Studi : Magister Akuntansi | Fakultas : Ekonomi dan Bisnis | Jurusan : Akuntansi Perpajakan | Universitas : Universitas Mercu Buana | Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Diskursus Pemikiran Hannah Arendt pada Fenomena Pajak International dan Kondisi Manusia (The Human Condition)

24 Desember 2024   01:11 Diperbarui: 24 Desember 2024   01:11 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskursus Hannah Arendt pada Fenomena Pajak Internasional dan Kondisi Manusia (The Human Condition)

Perpajakan, sebagai instrumen penting dalam perekonomian dan pembangunan negara, sering kali menghadapi kritik terkait ketidakadilan dan efektivitas sistem yang ada, terutama dalam konteks pengelolaan pajak yang adil dan transparan. Fenomena pajak internasional saat ini semakin kompleks dengan isu penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, praktik pengalihan keuntungan menggunakan mekanisme transfer pricing atau dalam bentuk lainnya dengan nama apapun, serta persaingan fiskal antarnegara yang semakin memperburuk ketimpangan global. Dalam diskursus ini, perdebatan antara subjek dan objek pajak menjadi sangat relevan, terutama ketika sistem perpajakan internasional masih didominasi oleh kepentingan negara maju yang memiliki kekuatan ekonomi dan pengaruh politik lebih besar serta modern dalam menentukan kebijakan perpajakan global. Ketidakadilan dalam distribusi beban pajak antara negara berkembang dan negara maju menjadi semakin mencolok, karena negara berkembang sering kali kekurangan sumber daya dan kapasitas untuk menegakkan aturan pajak yang lebih efektif. Di sisi lain, negara maju, dengan sistem perpajakan yang lebih maju dan modern serta infrastruktur administrasi yang lebih kuat, memiliki keuntungan yang lebih besar dalam mengoptimalkan pengumpulan pajak mereka.

Dalam konteks dunia modern, aktivitas manusia saat ini semakin terhubung dan semakin kompleks, menciptakan berbagai tantangan yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya global. Aktivitas ekonomi dan politik yang saling terkait, yang mencakup perdagangan internasional, pergerakan kapital, dan kebijakan fiskal antarnegara, tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan lokal, melainkan juga kesejahteraan global. Fenomena globalisasi yang berkembang pesat saat ini juga menciptakan ketergantungan antarnegara, namun sekaligus memperburuk ketimpangan yang ada. Peningkatan mobilitas kapital, di satu sisi, memperkaya negara-negara maju yang telah mapan infrastrukturnya, namun di sisi lain, negara-negara berkembang seringkali terkendala dalam memanfaatkan potensi ini secara optimal.

Dokpri. Prof Apollo
Dokpri. Prof Apollo

Hannah Arendt, seorang filsuf dan teoretikus politik, memberikan kerangka pemikiran yang berharga dalam memahami fenomena ini. Dalam karya terkenalnya The Human Condition (1958), Arendt mengelaborasi konsep-konsep tentang aktivitas manusia dalam dunia modern, menggali bagaimana tindakan manusia di ruang publik berinteraksi dengan struktur sosial, politik, dan ekonomi yang ada. Arendt membedakan berbagai jenis aktivitas manusia dalam berpikir, bertindak, dan bekerja, yang semuanya membentuk kondisi sosial dan politik. Ia menekankan pentingnya tindakan yang dilakukan bersama dalam ruang publik sebagai inti dari kehidupan politik.

Arendt memberikan landasan yang relevan dalam melihat fenomena global, termasuk isu-isu kompleks seperti pajak internasional. Dalam kerangka pemikiran Arendt, tindakan individu dan kelompok dalam dunia modern, yang terhubung oleh aktivitas ekonomi dan kebijakan global, harus dipahami sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar. Sistem perpajakan yang adil dan transparan, misalnya, bukan hanya soal pemungutan pajak itu sendiri, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana negara-negara berinteraksi dan bagaimana kebijakan ekonomi dan fiskal yang diambil dapat mengurangi ketimpangan global. Arendt menunjukkan bahwa dunia modern memerlukan ruang bagi tindakan kolektif yang mengakui kompleksitas dan ketidaksetaraan dalam kondisi manusia, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya global dan pajak internasional.

Dokpri Prof.Apollo
Dokpri Prof.Apollo

Dalam bukunya, The Human Condition (1958),  Arendt membahas dua konsep utama dalam filsafat: Vita Contemplativa dan Vita Activa, yang berasal dari tradisi pemikiran Yunani kuno, khususnya dari Plato dan Aristoteles. Konsep ini merujuk pada hierarki aktivitas manusia, di mana vita contemplativa (kontemplasi atau pemikiran) dipandang lebih tinggi daripada vita activa (tindakan atau kerja). Arendt mencatat bahwa tradisi ini bertahan hingga Karl Marx, yang kemudian membalikkan hierarki tersebut dengan memprioritaskan tindakan di atas pemikiran. Namun, Marx juga melakukan transformasi dalam vita activa, dengan menempatkan tindakan murni (pure action) sebagai aktivitas yang paling rendah, dibandingkan kerja (labor) atau produksi (work).

Ketegangan antara vita contemplativa dan vita activa memiliki relevansi dalam memahami fenomena modern, termasuk dalam kebijakan pajak internasional. Dalam dunia perpajakan, vita contemplativa dapat mewakili proses perumusan kebijakan yang membutuhkan analisis mendalam, seperti kerja sama global dalam inisiatif OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Proses ini melibatkan refleksi filosofis dan teknis untuk menciptakan sistem yang adil dan efisien di tengah tantangan globalisasi, seperti penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Sementara itu, vita activa mencerminkan tindakan konkret, seperti implementasi kebijakan, pengawasan, dan penegakan aturan pajak.

Pendekatan Karl Marx tentang pembalikan hierarki tindakan juga memiliki implikasi pada bagaimana negara menangani penghindaran pajak. Tindakan langsung seperti pemberlakuan sanksi atau regulasi ketat dapat dilihat sebagai "tindakan rendah," sementara upaya berbasis kerja sama global atau dialog strategis dianggap lebih tinggi karena melibatkan dimensi jangka panjang. Namun, baik kontemplasi maupun tindakan memiliki peran penting dalam membangun keadilan pajak global. Proses kontemplatif memastikan adanya visi yang terarah, sementara tindakan memungkinkan visi tersebut diwujudkan dalam kebijakan nyata.

Dengan demikian, fenomena pajak internasional mencerminkan dinamika antara pemikiran dan tindakan, sebagaimana yang dijelaskan Arendt. Sistem pajak yang efektif membutuhkan keseimbangan antara keduanya: refleksi strategis untuk memahami tantangan global, dan tindakan konkret untuk mengatasi masalah seperti penghindaran pajak, manipulasi transfer pricing, dan perlombaan pajak antar negara. Kedua elemen ini, dalam kerangka Arendtian, dapat saling melengkapi untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan.

Dokpri. Prof Apollo
Dokpri. Prof Apollo

Dan dalam konteks pajak internasional, vita contemplativa (kontemplasi atau pemikiran) atau Thinking mencerminkan refleksi mendalam yang diperlukan untuk merancang kebijakan perpajakan yang efektif dan adil. Contohnya adalah analisis teoretis yang mendasari inisiatif seperti OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), yang bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Proses ini melibatkan pengumpulan data, pemikiran strategis, dan evaluasi dampak jangka panjang terhadap ekonomi global.

Sedangkan Willing atau kehendak politik memainkan peran penting dalam mengimplementasikan hasil dari refleksi tersebut. Misalnya, negara-negara yang terlibat dalam kerangka kerja BEPS membutuhkan komitmen politik untuk bekerja sama, meratifikasi perjanjian, dan menyelaraskan kebijakan domestik dengan standar internasional. Kehendak ini menunjukkan langkah aktif dari pemerintah untuk mewujudkan sistem perpajakan yang lebih transparan dan adil.

Proses Judging atau memutuskan terkait dengan tindakan konkret dalam menerapkan kebijakan pajak internasional. Ini mencakup keputusan untuk memberlakukan sanksi terhadap penghindaran pajak, mengadaptasi undang-undang perpajakan domestik, atau memperkuat kerja sama antarnegara. Tahap ini menunjukkan bagaimana hasil pemikiran dan kehendak diterjemahkan menjadi aksi nyata yang berdampak langsung pada sistem perpajakan global.

Dimensi Vita Activa memperluas implementasi ini ke dalam tiga aspek: labor, work, dan action. Dalam perpajakan internasional:

  • Labor mencerminkan pekerjaan administratif sehari-hari, seperti pengumpulan pajak atau audit.
  • Work merujuk pada penciptaan struktur kebijakan, seperti perjanjian bilateral untuk menghindari pengenaan pajak berganda.
  • Action melibatkan aksi politik lintas negara, seperti pembentukan aliansi internasional untuk melawan praktik penghindaran pajak.

Dengan menyelaraskan Vita Contemplativa dan Vita Activa, negara-negara dapat menciptakan kebijakan pajak internasional yang tidak hanya adil tetapi juga responsif terhadap tantangan global. Refleksi mendalam memberikan dasar teoritis, sementara kehendak politik dan keputusan konkret memastikan bahwa ide-ide tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata. Ini menunjukkan pentingnya keseimbangan antara pemikiran dan tindakan untuk menghadapi kompleksitas pajak internasional di era globalisasi.

Sebagai penutup, menurut saya, kerangka konseptual Vita Contemplativa dan Vita Activa dari Hannah Arendt memberikan wawasan mendalam dalam memahami dinamika kebijakan pajak internasional di era globalisasi. Dalam karya The Human Condition, Arendt menyoroti pentingnya keseimbangan antara refleksi batin (thinking, willing, judging) dan tindakan nyata (labor, work, action) untuk menghadapi tantangan dunia yang kompleks. Ketegangan dan sinergi antara kedua dimensi ini juga tercermin dalam bagaimana negara-negara dan organisasi internasional menangani fenomena penghindaran pajak, manipulasi transfer pricing, dan ketidakadilan perpajakan global.

Pada tahap Vita Contemplativa, proses berpikir menjadi pondasi utama dalam merancang kebijakan perpajakan. Refleksi yang mendalam memungkinkan analisis terhadap dampak globalisasi, digitalisasi, dan berbagai strategi perusahaan multinasional yang mengeksploitasi celah hukum perpajakan. Inisiatif seperti OECD/G20 BEPS merupakan contoh konkret dari bagaimana komunitas global menggunakan pemikiran strategis untuk menciptakan solusi yang menyeluruh dan terarah.

Namun, pemikiran saja tidak cukup tanpa kehendak politik untuk bertindak. Di sinilah tahap Willing mengambil peran penting, di mana negara-negara menunjukkan komitmen nyata melalui kerja sama internasional, pembentukan perjanjian bilateral, dan ratifikasi kebijakan global seperti pajak minimum internasional. Komitmen politik ini menunjukkan keberanian untuk mewujudkan sistem perpajakan yang adil di tengah kompleksitas hubungan antarnegara.

Tahap berikutnya, yaitu Judging, adalah puncak dari refleksi dan kehendak yang diwujudkan dalam tindakan konkret. Keputusan untuk memberlakukan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar aturan, menyesuaikan undang-undang domestik dengan standar internasional, dan memperkuat kapasitas administrasi perpajakan menjadi bagian penting dari upaya menciptakan tatanan perpajakan global yang transparan dan adil.

Dimensi Vita Activa melengkapi proses ini melalui tindakan nyata di tiga level: labor (aktivitas administratif seperti audit dan pengumpulan pajak), work (pembangunan struktur hukum dan kebijakan), dan action (kolaborasi politik lintas negara). Keseimbangan antara aktivitas internal dan kolaborasi eksternal ini sangat penting untuk menghadapi tantangan global, termasuk ketimpangan ekonomi dan penghindaran pajak.

Pada akhirnya, kebijakan pajak internasional membutuhkan harmoni antara Vita Contemplativa dan Vita Activa. Refleksi mendalam harus selalu didukung oleh tindakan konkret agar kebijakan tidak hanya bersifat idealis tetapi juga realistis dan efektif. Dengan mengintegrasikan kedua dimensi ini, negara-negara dapat membangun sistem pajak global yang adil, berkelanjutan, dan responsif terhadap tantangan zaman. Pemikiran Arendt memberi kita landasan filosofis yang kuat untuk memahami bahwa keberhasilan dalam kebijakan pajak, seperti dalam kehidupan manusia, terletak pada kemampuan untuk berpikir mendalam sekaligus bertindak dengan keberanian.

Terima Kasih

Daftar Pustaka

Y. K. Koten, "Hannah Arendt dan Konsep Politik Sebagai Ruang 'Di-Antara' Manusia: Refleksi untuk Konteks Indonesia," Politika: Jurnal Ilmu Politik, vol. 14, no. 2, pp. 235-252, Nov. 2023. https://doi.org/10.14710/politika.14.2.2023.235-252 

Arendt, Hannah. (1958). The Human Condition, Chicago; The University of Chicago. Press

Jar, Majid. (2015). Hannah Arendt's Two Theories of Political Judgment. Philosophy and Social Criticism,2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun