Mohon tunggu...
Ahmad Dharmawan
Ahmad Dharmawan Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa

NIM : 55523110003 | Program Studi : Magister Akuntansi | Fakultas : Ekonomi dan Bisnis | Jurusan : Akuntansi Perpajakan | Universitas : Universitas Mercu Buana | Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Memahami Peluang dan Tantangan Perpajakan Controlled Foreign Company di Indonesia Menggunakan Pendekatan Teori Pierre Bourdieu

25 November 2024   00:59 Diperbarui: 25 November 2024   01:00 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Dalam literatur perpajakan, terdapat konsep yang disebut sebagai Controlled Foreign Company (CFC). Controlled Foreign Company didefinisikan sebagai suatu perusahaan yang didirikan di luar negeri, namun kepemilikan dan pengendaliannya dijalankan oleh wajib pajak dalam negeri. Pada dasarnya, Controlled Foreign Company merujuk pada hubungan antara perusahaan domestik dengan anak perusahaan yang berada di luar negeri, di mana pengendalian dan kepemilikan mayoritas berada di tangan entitas dalam negeri. Dalam praktiknya, pengaturan perpajakan terkait Controlled Foreign Company sering dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional untuk meminimalkan kewajiban pajak mereka dengan memindahkan keuntungan (Profit shifting) melalui berbagai skema dengan nama dan dalam bentuk apapun ke negara-negara yang memiliki tarif pajak lebih rendah.

Di Indonesia, fenomena Controlled Foreign Company ini menjadi semakin relevan dalam konteks pengaturan perpajakan internasional, terutama dengan semakin banyaknya perusahaan yang memanfaatkan struktur ini untuk meraih keuntungan lebih besar dengan meminimalkan kewajiban perpajakan mereka. Di Indonesia praktik tersebut telah diberikan pedoman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 107/PMK.03/2017 dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.03/2019 Tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Dan Dasar Penghitungannya Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek.

Tujuan dari regulasi ini adalah untuk mencegah penghindaran pajak melalui penggunaan struktur Controlled Foreign Company dan memastikan bahwa kewajiban pajak dalam negeri mereka tetap dipenuhi secara maksimal, meskipun terdapat skema pengalihan laba ke luar negeri yang telah mereka lakukan. Namun, permasalahan perpajakan terkait Controlled Foreign Company tidak hanya berhubungan dengan aspek hukum dan ekonomi, tetapi juga melibatkan dinamika sosial dan kekuasaan dalam ruang sosial yang lebih luas. Dalam hal ini, teori Pierre Bourdieu memberikan pendekatan untuk lebih memahami bagaimana hubungan antara individu, kekuasaan, dan struktur sosial yang berperan dalam praktik Controlled Foreign Company

Dokpri. Prof Apollo
Dokpri. Prof Apollo

Pierre Flix Bourdieu adalah seorang sosiolog dan filsuf asal Prancis yang terkenal dengan teori-teorinya mengenai struktur sosial, kekuasaan, dan budaya. Dia lahir pada 1 Agustus 1930, dan wafat pada tanggal 23 Januari 2002. Bourdieu dikenal karena karyanya yang sangat berpengaruh dalam ilmu sosial, terutama dalam sosiologi dan antropologi, dan telah memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman tentang hubungan antara individu dan struktur sosial. Baginya, analisis sosial selalu bertujuan untuk membongkar struktur- struktur dominasi ekonomi maupun dominasi simbolik dari masyarakat, yang selalu menutupi ketidakadilan di dalamnya. Untuk itu, ia mengembangkan beberapa konsep yang diperolehnya dari analisis data sosiologis tersebut.

Bourdieu mengembangkan konsep Habitus, Kapital, dan Arena, yang memberikan wawasan lebih dalam mengenai bagaimana struktur sosial dan bagaimana individu atau kelompok beroperasi dalam struktur sosial tersebut. Ketiga konsep ini juga bisa digunakan untuk menganalisis fenomena yang lebih luas dalam konteks ekonomi dan perpajakan, seperti kekuasaan yang mempengaruhi keputusan dan strategi para pelaku usaha dalam pengelolaan Controlled Foreign Company (CFC).

Habitus, sebagai kebiasaan dan disposisi yang terbentuk melalui pengalaman sosial, memungkinkan kita untuk memahami bagaimana norma dan nilai yang diinternalisasi dalam masyarakat memengaruhi cara berpikir dan bertindak aktor-aktor yang terlibat dalam praktik Controlled Foreign Company. Kapital, dalam hal ini, mengacu pada berbagai bentuk sumber daya yang digunakan oleh perusahaan dan individu untuk berkompetisi dalam arena global. Modal ini bisa berupa kapital ekonomi, seperti keuntungan yang dipindahkan antar negara, kapital sosial, seperti jaringan hubungan bisnis dan politik, atau kapital simbolik, yang mencakup status dan reputasi perusahaan. Sementara itu, Arena mengacu pada ruang sosial tempat kompetisi ini terjadi, baik itu dalam konteks kebijakan fiskal nasional, dunia bisnis, atau kebijakan perpajakan internasional.

Praksis Sosial: dialektika Internalisai Eksterior dan External Interior.

Dokpri. Prof Apollo
Dokpri. Prof Apollo

Dalam konteks teori Pierre Bourdieu, praksis sosial menggambarkan hubungan dialektik antara aspek internal dan eksternal dalam kehidupan sosial. Internal atau aspek dalam diri individu, yang disebut sebagai habitus, adalah hasil dari proses pembentukan kebiasaan dan disposisi yang diinternalisasi melalui interaksi sosial dan pengalaman hidup. Habitus ini mencakup pola pikir, nilai, dan kecenderungan yang membentuk cara individu merespons dunia sosial mereka. Di sisi lain, eksternal atau dunia luar, yang disebut arena, merujuk pada ruang sosial di mana perilaku sosial dan interaksi terjadi, tempat aktor sosial bertindak dan berkompetisi. Di dalam arena ini, individu atau kelompok saling mempengaruhi dan berusaha menguasai sumber daya yang tersedia, yang disebut kapital atau modal. Kapital ini bisa berupa modal ekonomi, sosial, budaya, atau simbolik yang memungkinkan individu atau kelompok untuk bertahan dan berkompetisi dalam arena sosial tersebut.

Hubungan antara Habitus, Arena, dan kapital ini dapat membantu menjelaskan dinamika yang terjadi dalam fenomena Controlled Foreign Company (CFC), yang sering digunakan oleh perusahaan multinasional untuk meminimalkan pajak dengan mengalihkan laba mereka ke anak perusahaan yang didirikan di negara dengan tarif pajak rendah. Dalam kasus Controlled Foreign Company, habitus perusahaan multinasional yang mengarah pada praktik penghindaran pajak mencerminkan kebiasaan dan strategi yang sudah terinternalisasi dalam struktur korporasi mereka. Habitus ini mungkin terbentuk dari pengalaman dalam dunia bisnis internasional, di mana penghindaran pajak dan pengoptimalan modal adalah norma yang dapat diterima dalam strategi perusahaan global. Kebiasaan atau disposisi ini mendorong keputusan-keputusan yang mengarah pada pembentukan Controlled Foreign Company sebagai cara untuk memindahkan keuntungan dan mengurangi kewajiban pajak.

Selanjutnya, Arena dalam konteks Controlled Foreign Company, dapat dipahami sebagai ruang sosial tempat perusahaan-perusahaan multinasional beroperasi, yang mencakup regulasi perpajakan internasional, kebijakan fiskal negara asal, serta kebijakan perpajakan negara tempat CFC didirikan. Dalam arena ini, berbagai aktor seperti perusahaan, pemerintah, lembaga keuangan, dan organisasi internasional berinteraksi dan bersaing untuk mengatur, mengelola, dan menguasai modal pajak. Masing-masing aktor berusaha mengoptimalkan posisi mereka dalam arena ini, baik dengan memanfaatkan kebijakan yang menguntungkan, mengembangkan jaringan sosial, atau mengimplementasikan strategi yang efektif untuk meminimalkan kewajiban pajak.

Kapital, dalam hal ini, memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut dapat berkompetisi dalam arena perpajakan internasional. Modal ekonomi perusahaan terlihat dalam keuntungan yang dipindahkan antara CFC dan perusahaan induk, sementara modal sosial terletak pada jaringan hubungan antara perusahaan multinasional dan pemangku kebijakan yang memfasilitasi kebijakan perpajakan yang menguntungkan. Selain itu, modal simbolik juga berperan, karena reputasi dan status perusahaan dapat mempengaruhi bagaimana mereka diperlakukan dalam arena ini.

Dengan menghubungkan konsep Bourdieu ini dengan Controlled Foreign Company, kita dapat memahami bahwa fenomena Controlled Foreign Company bukan hanya sekadar masalah strategi bisnis atau penghindaran pajak, tetapi juga merupakan hasil dari interaksi antara habitus perusahaan, arena global yang kompleks, dan modal yang tersedia. Praksis sosial Controlled Foreign Company, dalam hal ini, menciptakan dialektika antara internalisasi nilai dan kebiasaan perusahaan yang berfokus pada penghindaran pajak, dan ekspresi dari kebiasaan tersebut dalam tindakan bisnis yang nyata dalam arena sosial global. Dengan kata lain, keputusan perusahaan untuk mendirikan Controlled Foreign Company dan mengalihkan keuntungan adalah manifestasi dari habitus yang telah terinternalisasi dan diungkapkan dalam arena kompetisi global yang dipenuhi dengan dinamika modal ekonomi dan sosial.

Dokpri. Prof Apollo
Dokpri. Prof Apollo

Selanjutnya, dalam teori Pierre Bourdieu, habitus berfungsi sebagai struktur yang terbentuk melalui pengalaman dan pengaruh sosial, yang kemudian memandu individu dalam bertindak dan berinteraksi dengan lingkungan sosial mereka. Namun, untuk dapat benar-benar mengakses dan berkompetisi dalam arena-arena sosial tertentu, seperti dunia pendidikan, bisnis, atau seni, seseorang tidak hanya membutuhkan habitus yang tepat, tetapi juga kapital yang mendukung. Kapital, atau modal, dalam konteks ini merujuk pada berbagai sumber daya yang dimiliki individu, yang meliputi kapital ekonomi, kapital sosial, kapital budaya, dan kapital simbolik. Masing-masing bentuk kapital ini memberi individu kemampuan untuk berkompetisi, bertahan, dan meraih kesuksesan di dalam arena tertentu.

  • Kapital Ekonomi (Uang dan Sumber Daya Material): Dalam banyak arena, terutama bisnis, kapital ekonomi menjadi elemen yang sangat penting. Tanpa modal ekonomi yang cukup, seseorang atau entitas tidak dapat mengakses peluang yang tersedia di arena bisnis, seperti investasi, infrastruktur, atau pasar. Dalam konteks Controlled Foreign Company, modal ekonomi ini terlihat jelas dalam pengalihan keuntungan ke anak perusahaan di negara dengan tarif pajak rendah, yang memungkinkan perusahaan mengurangi beban pajak mereka dan mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk pertumbuhan dan ekspansi lebih lanjut.
  • Kapital Sosial (Jaringan dan Hubungan): Kapital sosial merujuk pada jaringan hubungan dan koneksi yang dimiliki individu atau kelompok dalam masyarakat. Untuk masuk dan berkompetisi dalam arena tertentu, sering kali seseorang memerlukan akses ke jaringan yang dapat memberi mereka dukungan, informasi, atau peluang. Dalam konteks Controlled Foreign Company, kapital sosial dapat tercermin dalam hubungan antara perusahaan multinasional dan pihak-pihak yang mempengaruhi kebijakan perpajakan, seperti pejabat pemerintah atau konsultan pajak. Jaringan ini memberi akses untuk memanfaatkan celah-celah dalam peraturan pajak yang menguntungkan.
  • Kapital Budaya (Pendidikan, Pengetahuan, dan Keterampilan): Kapital budaya berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai budaya yang dimiliki individu. Ini sering kali terbentuk melalui pendidikan formal dan informal, serta pengalaman hidup. Dalam dunia bisnis internasional, pengetahuan tentang strategi pajak, hukum internasional, atau kebijakan fiskal global merupakan bagian dari kapital budaya yang sangat berharga. Tanpa kapital budaya yang memadai, individu atau perusahaan akan kesulitan mengakses arena yang memerlukan pengetahuan khusus, seperti arena perpajakan internasional yang kompleks dan sering berubah.
  • Kapital Simbolik (Status dan Reputasi): Kapital simbolik mencakup status sosial dan reputasi yang dimiliki individu atau kelompok di masyarakat. Ini adalah bentuk modal yang sering kali sulit diukur, namun sangat berpengaruh. Dalam arena bisnis internasional, reputasi perusahaan sebagai entitas yang sah, profesional, dan etis dapat mempengaruhi bagaimana mereka diperlakukan dalam masyarakat atau dalam hubungan dengan pemerintah. Kapital simbolik ini juga dapat mencakup citra perusahaan yang "terpercaya" di mata publik, yang pada gilirannya dapat membuka lebih banyak peluang.

 

Sedangkan Arena merupakan ruang atau bidang sosial tertentu yang memiliki aturan dan dinamika sendiri. Dalam masyarakat, terdapat berbagai arena, seperti arena pendidikan, arena pertanian, arena bisnis, arena seni, atau arena militer. Setiap arena memiliki aturan main yang spesifik, dan untuk dapat berkompetisi dalam arena tersebut, individu atau kelompok perlu memiliki kombinasi habitus dan kapital yang tepat. Arena ini dapat dipahami sebagai konteks di mana individu atau kelompok berinteraksi, saling bersaing, dan berusaha mencapai tujuan mereka. Setiap arena memiliki karakteristik dan tuntutannya sendiri, yang mempengaruhi bagaimana kapital dan habitus dapat digunakan untuk mencapai keberhasilan.

Sebagai contoh, dalam arena pendidikan, individu dengan kapital budaya yang kuat (seperti latar belakang pendidikan yang baik atau pengetahuan khusus) akan memiliki peluang lebih besar untuk sukses. Demikian pula, dalam arena bisnis, individu atau perusahaan yang memiliki kapital ekonomi yang cukup dan jaringan sosial yang mendukung akan lebih mudah mengakses peluang investasi dan kemitraan yang menguntungkan.

Dalam hal Controlled Foreign Company, arena yang dimaksud adalah arena perpajakan internasional, yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan negara, regulasi fiskal, dan dinamika ekonomi global. Di arena ini, perusahaan-perusahaan multinasional harus memiliki habitus yang mengarah pada pengoptimalan pajak dan penghindaran pajak, serta modal yang mendukung strategi mereka, seperti modal ekonomi (untuk investasi di negara dengan tarif pajak rendah) dan modal sosial (hubungan dengan pihak berwenang atau konsultan pajak yang membantu memanfaatkan celah hukum). Untuk bisa bertahan dan berkompetisi dengan perusahaan global lainnya di arena ini, perusahaan harus memiliki habitus yang tepat dan kapital yang memadai.

Perpaduan antara habitus dan kapital akan menentukan seberapa sukses seseorang atau entitas dalam memasuki dan bertahan di arena sosial tertentu. Dalam hal Controlled Foreign Company, perusahaan yang memiliki habitus yang berfokus pada pengoptimalan pajak dan penghindaran kewajiban perpajakan, serta memiliki modal yang cukup baik itu modal ekonomi, sosial, budaya, atau simbolik akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk meraih keuntungan dan mengurangi kewajiban pajak. Pada akhirnya, kapital yang dimiliki perusahaan atau individu akan sangat menentukan seberapa besar kemampuan mereka untuk mengakses dan menguasai arena yang ada, serta berkompetisi di dalamnya.

Hubungan antara habitus, kapital, dan arena ini menciptakan suatu dinamika sosial yang kompleks. Dalam dunia bisnis internasional dan pajak, habitus yang terinternalisasi tentang penghindaran pajak, kapital dalam bentuk uang, jaringan sosial, pengetahuan, dan reputasi, serta arena global yang terus berubah, semuanya berkontribusi pada bagaimana suatu perusahaan beroperasi dan bertahan dalam persaingan global.

Praksis = Habitus + Kapital + Arena

Dokpri. Prof Apollo
Dokpri. Prof Apollo

Konsep Praksis = Habitus + Kapital + Arena dari Pierre Bourdieu merujuk pada cara-cara di mana individu dan kelompok beroperasi dalam struktur sosial, dipengaruhi oleh kebiasaan atau disposisi mereka (habitus), akses dan kepemilikan sumber daya (kapital), serta ruang sosial tempat interaksi tersebut terjadi (arena). Secara lebih mendalam, konsep ini menjelaskan bagaimana praktik sosial terbentuk dan berlanjut dalam masyarakat melalui hubungan antara faktor-faktor ini.

1. Dampak Dominasi Simbolik: Penindasan melalui Dominasi Simbolik

Dominasi simbolik adalah bentuk penindasan yang halus dan tidak selalu disadari, yang mengendalikan individu atau kelompok melalui simbol, budaya, atau ideologi yang diterima secara luas dalam masyarakat. Penindasan ini dianggap normal dan bahkan wajib oleh mereka yang ditindas, karena tidak tampak secara jelas sebagai bentuk kekuasaan yang menindas.

Contoh dominasi simbolik bisa ditemukan dalam budaya patriarkal yang menganggap bahwa peran perempuan sebagai ibu rumah tangga adalah hal yang wajar dan tak terbantahkan. Meskipun sebenarnya hal tersebut bisa menghambat kebebasan dan perkembangan perempuan, banyak orang (baik pria maupun wanita) menerima ini sebagai norma sosial yang diterima. Dominasi ini mendapat persetujuan dari pihak yang ditindas karena telah diterima sebagai bagian dari struktur sosial yang sudah ada.

Bagaimana dominasi simbolik bekerja dalam konsep Bourdieu? Dalam kerangka praksis, dominasi simbolik ini dapat dipahami sebagai praktik yang terbentuk karena habitus individu atau kelompok yang terbentuk oleh nilai-nilai dan norma-norma yang ada di dalam arena sosial mereka. Kapital yang mereka miliki---baik itu dalam bentuk kekuasaan, pengetahuan, atau akses sosial memungkinkan mereka untuk mengatur dan memperkuat dominasi tersebut. Karena kebiasaan dan pola pikir ini sudah menjadi bagian dari habitus mereka, individu atau kelompok yang ditindas tidak merasa perlu untuk menentangnya. Dominasi simbolik ini juga terjadi melalui bahasa, yang merupakan sarana utama dalam mentransmisikan nilai-nilai tersebut.

Dominasi simbolik dalam konteks Controlled Foreign Company dapat dilihat dalam cara perusahaan-perusahaan besar dan individu yang memiliki kapital ekonomi dan sosial menggunakan Controlled Foreign Company untuk menghindari pajak. Meskipun praktik ini bisa dilihat sebagai tindakan penghindaran pajak yang sah, dalam banyak kasus, ini merupakan bentuk penindasan simbolik yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, yaitu perusahaan multinasional besar dan pemilik modal, namun merugikan negara yang kekurangan pajak untuk membiayai layanan publik.

Dominasi simbolik ini bekerja secara halus karena praktik Controlled Foreign Company sering kali dianggap normal dan sah dalam dunia bisnis internasional, bahkan wajib dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk tetap kompetitif dalam pasar global. Para pengusaha dan perusahaan besar menggunakan praktik ini sebagai norma yang diterima dalam dunia korporasi global, seolah-olah penghindaran pajak adalah bagian dari strategi bisnis yang sah dan umum. Hal ini menunjukkan bagaimana penguasa dalam hal ini perusahaan besar dan individu dengan akses ke kapital mendominasi arena ekonomi global melalui penggunaan alat-alat hukum dan finansial, yang membuat penghindaran pajak menjadi praktik yang tidak terlihat sebagai bentuk penindasan, meskipun pada kenyataannya ia merugikan masyarakat yang lebih luas.

2. Doxa: Pandangan Penguasa yang Menjadi Pandangan Umum

Doxa adalah pandangan dunia atau ideologi yang diterima secara umum tanpa pertanyaan kritis, dan sering kali ini mencerminkan pandangan atau nilai-nilai yang dibawa oleh penguasa atau kelompok dominan dalam masyarakat. Doxa berfungsi sebagai cara untuk mempertahankan kekuasaan karena pandangan atau ideologi ini dianggap sebagai kebenaran yang tidak bisa dipertanyakan. Masyarakat menerima pandangan ini tanpa analisis rasional atau bukti yang mendalam, sehingga tidak ada ruang untuk perdebatan atau perbedaan pendapat.

Doxa sebagai sloganistik merujuk pada bagaimana pandangan dunia yang dikemukakan oleh penguasa sering kali berbentuk slogan atau pemahaman yang sederhana tanpa dasar rasional atau bukti. Misalnya, dalam konteks pajak, suatu negara mungkin mempromosikan ideologi tertentu, seperti "pajak membangun negeri", yang tidak selalu didasarkan pada fakta atau analisis kritis tentang bagaimana kebijakan itu diterapkan atau siapa yang sebenarnya mendapat manfaat darinya.

Doxa dalam konteks Controlled Foreign Company dapat merujuk pada pandangan dominan dalam dunia bisnis yang melihat penghindaran pajak melalui Controlled Foreign Company sebagai praktik yang sah dan diinginkan. Pandangan ini sering kali tidak dipertanyakan oleh banyak orang dalam dunia bisnis atau bahkan oleh pembuat kebijakan yang mungkin memiliki kapital sosial dengan pengusaha besar.

Pandangan penguasa dalam dunia bisnis global adalah bahwa perusahaan harus memaksimalkan keuntungan dan melindungi laba mereka dari beban pajak yang tinggi dengan cara memanfaatkan perbedaan tarif pajak antar negara. Doxa ini diterima secara luas di kalangan perusahaan multinasional, tanpa banyak pertanyaan atau kritik terhadap implikasi sosialnya, seperti pengurangan dana untuk layanan publik di negara asal. Hal ini diperkuat oleh bahasa ekonomi yang menganggap penghindaran pajak sebagai cara yang rasional dan cerdas untuk beroperasi dalam pasar global.

3. Bahasa adalah Simbol Kekuasaan

Kedua dominasi simbolik diatas terjadi melalui bahasa. Bahasa bukanlah alat yang netral, melainkan simbol kekuasaan yang digunakan oleh kelas sosial tertentu untuk mempertahankan dominasi mereka. Bahasa menjadi medium utama untuk mentransmisikan ideologi, norma, dan nilai yang mendukung struktur sosial yang ada.

Dalam masyarakat, bahasa yang digunakan oleh kelas sosial yang dominan (seperti politisi, akademisi, atau pengusaha) sering kali dianggap lebih sah dan lebih "tepat". Sementara bahasa yang digunakan oleh kelas sosial yang lebih rendah atau terpinggirkan sering kali dianggap "kurang terpelajar" atau tidak sah. Bahasa ini berfungsi untuk memperkuat posisi sosial mereka, mengkomunikasikan dan menyebarkan pandangan dunia yang mendukung status quo.

Bourdieu berargumen bahwa bahasa adalah alat dominasi yang digunakan oleh kelompok dominan untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dalam konteks Controlled Foreign Company, mereka memanfaatkan struktur perpajakan internasional untuk mengalihkan laba dan meminimalkan kewajiban pajak. Bahasa hukum dan regulasi yang kompleks, seperti yang tercermin dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 107/PMK.03/2017 dan Nomor 93/PMK.03/2019, digunakan sebagai sarana dominasi untuk membingungkan atau membatasi akses informasi bagi pihak-pihak yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang mekanisme perpajakan internasional. Dengan demikian, mereka yang memiliki "modal budaya" berupa pemahaman tentang peraturan ini dapat memaksimalkan keuntungan pajak, sementara mereka yang tidak memiliki akses terhadap pengetahuan tersebut terjebak dalam sistem yang menguntungkan pihak-pihak besar. Bahasa dalam regulasi ini, yang seringkali teknis dan sulit dipahami, secara tidak langsung memperkuat ketimpangan kekuasaan antara mereka yang menguasai sistem dan mereka yang tidak.

Para pengusaha dan pemangku kepentingan bisnis yang terlibat dalam Controlled Foreign Company menggunakan bahasa yang tidak hanya mendefinisikan praktik ini sebagai sesuatu yang sah, tetapi juga sebagai sesuatu yang rasional dan cerdas dalam dunia bisnis global. Mereka mungkin menggunakan bahasa teknis untuk memperkuat posisi mereka dan untuk meyakinkan publik bahwa mereka hanya mengikuti aturan main yang berlaku di arena ekonomi global. Sebaliknya, negara-negara dengan tarif pajak lebih tinggi, yang berusaha mengurangi penghindaran pajak ini, dianggap terlalu kaku atau tidak memahami kebutuhan pasar global.

Bahasa ini menjadi simbol kekuasaan bagi kelompok yang memiliki akses ke kapital sosial, seperti konsultan pajak internasional atau pejabat pemerintah yang mendukung kebijakan pajak yang memungkinkan praktik Controlled Foreign Company. Mereka memiliki kapital sosial yang memungkinkan mereka untuk memahami dan memanipulasi bahasa-bahasa ini untuk keuntungan mereka, sekaligus membuatnya tampak sah dan diterima secara luas.

Bourdieu menunjukkan bahwa praksis sosial (tindakan sosial) terjadi dalam ruang sosial yang disebut arena, di mana individu atau kelompok berinteraksi dengan memanfaatkan kapital (sumber daya atau modal), dan habitus (disposisi atau kebiasaan yang terbentuk oleh pengalaman dan struktur sosial). Dominasi dalam masyarakat sering kali terwujud melalui dominasi simbolik, yang tidak tampak jelas tetapi terus memperkuat struktur kekuasaan yang ada. Doxa, pandangan dunia yang diterima tanpa pertanyaan, mengarahkan perilaku dan pola pikir individu melalui bahasa, yang bertindak sebagai simbol kekuasaan kelas sosial. Dominasi simbolik yang terjadi melalui bahasa ini memungkinkan pihak yang dominan untuk menjaga keberlanjutan kekuasaan mereka, sementara yang ditindas tidak menyadari bahwa mereka terperangkap dalam struktur sosial yang menindas tersebut.

Dengan menggunakan konsep praksis = habitus + kapital + arena dari Bourdieu, kita dapat memahami bagaimana Controlled Foreign Company tidak hanya merupakan hasil dari keputusan rasional dalam dunia bisnis, tetapi juga merupakan bagian dari praktik sosial yang lebih luas yang dibentuk oleh habitus yang terbentuk dari norma dan ideologi yang diterima dalam arena global. Dominasi simbolik, yang mengandalkan bahasa dan ideologi yang diterima secara luas, memungkinkan perusahaan besar untuk menggunakan Controlled Foreign Company sebagai cara untuk menghindari pajak, sementara praktik ini sering kali diterima tanpa banyak pertanyaan. Pada akhirnya, Controlled Foreign Company adalah contoh konkret bagaimana habitus, kapital, dan arena berinteraksi dalam membentuk praktik sosial yang tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sosial dan politik.

Pendidikan adalah proses penciptaan ulang/Reproduksi dominasi sosial yang telah hadir, dan eksis sebelumnya (melanggengkan Kekuasaan)

Dokpri. Prof Apollo
Dokpri. Prof Apollo

Dengan menggunakan konsep praksis = habitus + kapital + arena sebagaimana telah dijelaskan sebelumya, kita dapat memahami bagaimana praktik Controlled Foreign Company (CFC) bukan hanya hasil dari keputusan rasional dalam dunia bisnis, tetapi juga merupakan bagian dari reproduksi dominasi sosial yang lebih luas. Habitus dalam hal ini mencakup pola pikir dan kebiasaan yang terbentuk dari norma, ideologi, dan nilai yang diterima dalam arena global, seperti kepercayaan pada efisiensi dan kebebasan pasar. Kapital, yang dapat berupa kapital ekonomi, budaya, dan sosial, memberikan akses kepada perusahaan besar untuk memahami dan memanfaatkan regulasi perpajakan internasional yang kompleks, termasuk struktur Controlled Foreign Company. Arena ini adalah ruang di mana praktik-praktik sosial ini terjadi, termasuk dunia bisnis dan kebijakan perpajakan global.

Dalam hal ini, pendidikan berperan sebagai salah satu alat reproduksi dominasi sosial, di mana pemahaman tentang peraturan pajak internasional dan mekanisme Controlled Foreign Company seringkali hanya tersedia bagi mereka yang memiliki akses ke sumber daya dan pendidikan tertentu. Hal ini menyebabkan terciptanya ketimpangan antara perusahaan yang memiliki akses ke sumber daya dan pendidikan tertentu dengan yang tidak memiliki sumber daya dan pendidikan tertentu. hal tersebut dikarenakan Proses pendidikan ini, yang seringkali bersifat eksklusif dan elit, dan berfungsi untuk melanggengkan kekuasaan kelompok dominan tertentu, yang menguasai bukan hanya ekonomi tetapi juga pemahaman tentang sistem yang berlaku. Dengan demikian, Controlled Foreign Company menjadi contoh bagaimana praktik sosial, baik dalam dunia bisnis maupun kebijakan perpajakan, menjadi sarana untuk mereproduksi dan melanggengkan dominasi sosial yang telah ada, melalui akses terhadap pengetahuan, bahasa, dan ideologi yang diterima secara luas

Dalam pemikiran Pierre Bourdieu, pendidikan bukanlah sekadar proses transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga berfungsi sebagai proses penciptaan ulang atau reproduksi dominasi sosial yang sudah ada sebelumnya. Sistem pendidikan memainkan peran penting dalam mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan serta struktur sosial yang sudah ada dengan cara mewariskan habitus dan kapital kepada generasi berikutnya. Dalam konteks ini, pendidikan tidak hanya mengajarkan pengetahuan formal, tetapi juga memperkuat sistem nilai dan norma yang mendukung dominasi sosial dalam masyarakat.

Bourdieu mengemukakan bahwa pendidikan berfungsi untuk mereproduksi dominasi sosial. Pendidikan tidak hanya berfokus pada penyampaian pengetahuan, tetapi juga memainkan peran dalam menciptakan dan mempertahankan struktur sosial yang ada, di mana mereka yang memiliki kapital sosial, kapital ekonomi, dan kapital budaya yang cukup akan memiliki akses lebih besar terhadap kesempatan dan sumber daya, sementara mereka yang tidak memilikinya akan tetap terpinggirkan. Habitus yang dipelajari dan diterima dalam pendidikan formal adalah bagian dari strata sosial yang sudah ada.

Pendidikan dalam hal ini tidak mengubah, tetapi lebih kepada mempertahankan status quo, dengan mengajarkan nilai-nilai, norma, dan kebiasaan yang mendukung dominasi kelompok yang sudah berkuasa. Hal ini mengarah pada pembentukan habitus yang lebih cenderung mendukung mereka yang sudah berada dalam posisi dominan. Oleh karena itu, bagi Bourdieu, pendidikan merupakan salah satu arena yang paling efektif untuk mengukuhkan dominasi sosial karena ia memberikan kerangka pemahaman yang memfasilitasi proses sosial dan ekonomi yang lebih luas.

Bourdieu juga menegaskan bahwa pendidikan tidaklah bersifat netral. Sistem pendidikan sering kali menutup pintu bagi mereka yang tidak memiliki habitus atau kapital yang sesuai dengan yang diinginkan oleh sistem tersebut. Habitus mengacu pada disposisi atau kecenderungan yang terbentuk dari pengalaman hidup seseorang, sedangkan kapital bisa berupa kapital ekonomi, kapital sosial, atau kapital budaya yang memungkinkan seseorang untuk berkompetisi di dalam arena pendidikan. Mereka yang tidak memiliki habitus yang sesuai, seperti kemampuan untuk beradaptasi dengan norma dan praktik yang berlaku di dalam institusi pendidikan, atau tidak memiliki kapital budaya yang diperlukan untuk memahami materi pembelajaran, akan kesulitan untuk berhasil dalam sistem ini.

Dalam hal ini, pendidikan dapat dianggap sebagai alat dominasi sosial yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan akademis, tetapi juga mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan dalam struktur sosial tertentu yang sudah ditentukan. Individu yang tidak memiliki kapital atau habitus yang sesuai sering kali dipinggirkan atau gagal untuk memperoleh keuntungan penuh dari sistem pendidikan ini.

hal yang sama juga dapat terjadi dalam dunia bisnis dan perpajakan internasional. Sebagai contoh, Controlled Foreign Company memungkinkan perusahaan besar atau individu dengan kapital ekonomi dan kapital sosial yang cukup untuk menghindari kewajiban pajak melalui penanaman modal di luar negeri, sedangkan individu atau perusahaan kecil yang tidak memiliki akses yang sama terhadap kapital ini akan kesulitan untuk berpartisipasi dalam praktik tersebut. Sistem yang ada ini mereproduksi ketimpangan sosial dalam pengelolaan sumber daya dan pajak.

Bourdieu juga mengkritik pendidikan moral yang sering kali bersifat formalistik dan doktrinal, tanpa memperhitungkan lingkungan sosial di mana siswa berada. Pendidikan moral yang diajarkan melalui ceramah atau doktrin tidak selalu selaras dengan praktik kehidupan sehari-hari dan habitus yang dibentuk oleh lingkungan sosial mereka. Moralitas yang diajarkan di sekolah sering kali tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan nyata di luar sekolah. Ini mengarah pada ketidaksesuaian antara apa yang diajarkan dalam pendidikan moral dan apa yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, yang pada gilirannya membentuk habitus yang tidak kritis terhadap praktik-praktik yang mungkin berbahaya atau merugikan masyarakat.

Contohnya, Dalam konteks Controlled Foreign Company, pendidikan moral yang tidak kritis terhadap praktik penghindaran pajak atau praktik bisnis yang merugikan dapat memperkuat habitus yang menganggap penghindaran pajak melalui Controlled Foreign Company sebagai hal yang sah atau bahkan sebagai strategi bisnis yang wajar.

Dokpri. Prof Apollo
Dokpri. Prof Apollo

Secara keseluruhan, pendidikan berfungsi sebagai mekanisme reproduksi dominasi sosial dengan memperkuat habitus dan kapital yang ada, yang pada gilirannya memperkuat struktur sosial dan ketimpangan dalam masyarakat. Melalui pendidikan, norma-norma dan nilai-nilai sosial yang mendukung kekuasaan dan dominasi kelas sosial tertentu dipertahankan. Di sisi lain, dalam Controlled Foreign Company, kita melihat bagaimana individu atau perusahaan dengan kapital yang cukup dapat mengakses celah hukum untuk menghindari kewajiban pajak, sementara individu yang kurang memiliki kapital tetap terpinggirkan. Oleh karena itu, pendidikan moral yang lebih kritis dan inklusif dapat memainkan peran penting dalam mengubah habitus yang mendukung praktik-praktik tidak adil seperti Controlled Foreign Company dan mengurangi kesenjangan sosial yang ada

Dokpri. Prof Apollo
Dokpri. Prof Apollo

Tantangan dan Peluang

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, diketahui memang Controlled Foreign Company (CFC), Dalam praktiknya sering kali digunakan oleh perusahaan multinasional untuk menghindari pajak, menghadirkan serangkaian peluang dan tantangan bagi negara serta wajib pajak, baik di negara asal perusahaan maupun di negara tempat anak perusahaan Controlled Foreign Company tersebut beroperasi. Perspektif Pierre Bourdieu yang menghubungkan habitus, kapital, dan arena dapat membantu kita untuk memahami bagaimana negara dan wajib pajak terlibat dalam praktik Controlled Foreign Company ini.

Negara memiliki peluang untuk memperbaiki regulasi perpajakan internasional dengan memperkenalkan aturan yang lebih ketat mengenai penghindaran pajak dan pengelolaan CFC. Banyak negara kini bekerja sama untuk memerangi penghindaran pajak global melalui organisasi seperti OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang menciptakan BEPS (Base Erosion and Profit Shifting), sebuah standar untuk menanggulangi pengalihan laba ke negara dengan pajak rendah. Negara dapat menggunakan strategi ini untuk memperbaiki kebijakan perpajakan mereka dan mengurangi dampak negatif dari adanya skema-skema penghindaran pajak yang dilakukan oleh  Controlled Foreign Company.

Negara juga dapat memperkenalkan peraturan yang mendorong transparansi dalam transaksi antar perusahaan dan anak perusahaan internasional. Melalui pengaturan yang lebih ketat terkait pelaporan pajak dan pemantauan aliran modal, negara dapat memastikan bahwa perusahaan besar yang menggunakan Controlled Foreign Company untuk menghindari pajak domestik tetap berkontribusi pada perekonomian lokal.

Selain itu, Negara memiliki peluang untuk merancang kebijakan fiskal yang lebih menguntungkan bagi negara berkembang. Dengan memperkenalkan insentif fiskal untuk sektor tertentu atau melakukan perbaikan dalam kebijakan pajak perusahaan, negara dapat memitigasi dampak negatif dari penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Ini memberi mereka peluang untuk tetap bersaing di pasar global tanpa harus berkompromi dengan keuntungan mereka.

Tidak hanya peluang, negara juga memiliki sejumlah tantangan, Salah satu tantangan utamanya adalah kehilangan penerimaan pajak domestik yang timbul dari praktik penghindaran pajak melalui CFC ini. Perusahaan multinasional yang mengalihkan laba mereka ke negara dengan tarif pajak rendah mengurangi basis pajak yang seharusnya bisa diterima negara asal. Hal ini bisa mempengaruhi pendanaan untuk program publik, pembangunan infrastruktur, dan layanan sosial.

Selain itu, Pengawasan dan Penegakan Hukum yang Sulit juga menjadi tantangan bagi negara. Penghindaran pajak sering melibatkan struktur perusahaan yang kompleks, dengan anak perusahaan yang terdaftar di berbagai negara. Ini membuat pengawasan dan penegakan hukum menjadi rumit, memerlukan kerjasama internasional, dan sumber daya yang besar untuk melakukan audit serta verifikasi.

Negara juga menghadapi tantangan persaingan antar negara yang berusaha menarik investasi asing dengan menawarkan tarif pajak lebih rendah atau memberikan insentif pajak. Praktik CFC ini memperburuk persaingan antar negara untuk menawarkan insentif pajak, yang dapat memperburuk ketimpangan global dan menyebabkan perlombaan menuju dasar pajak yang lebih rendah, yang pada akhirnya merugikan banyak negara dalam jangka panjang.

Dari sisi wajib pajak, Praktik Controlled Foreign Company dapat digunakan untuk mengurangi kewajiban pajak mereka dengan memindahkan laba ke anak perusahaan di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. Hal ini memungkinkan mereka untuk meningkatkan profitabilitas dan daya saing di pasar global. Dalam perspektif Bourdieu, ini dapat dilihat sebagai salah satu cara perusahaan menggunakan kapital ekonomi dan kapital sosial mereka untuk mendapatkan keuntungan di arena internasional, memanfaatkan kebijakan yang lebih longgar di negara tertentu.

Controlled Foreign Company memberikan kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya secara lebih efisien dan mengalokasikan modal ke negara-negara dengan struktur pajak yang lebih menguntungkan. Dalam hal ini, mereka menggunakan kapital simbolik, yaitu reputasi global sebagai perusahaan yang efisien dalam pengelolaan pajak, untuk menarik lebih banyak investor dan memperluas bisnis mereka di berbagai arena internasional.

Sama halnya bagi negara, wajib pajak juga memiliki tantangan. Salah satu tantangan terbesar bagi wajib pajak adalah semakin rumitnya peraturan/regulasi perpajakan internasional yang membatasi praktik ini, seperti pedoman yang dikeluarkan oleh OECD yang menciptakan BEPS (Base Erosion and Profit Shifting), adalah inisiatif yang dikembangkan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk mengatasi praktik penghindaran pajak melalui pemindahan keuntungan ke negara dengan pajak rendah atau tanpa pajak. Salah satu tujuan utama BEPS adalah untuk mencegah praktik Controlled Foreign Company (CFC) yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk mengalihkan laba dari negara dengan pajak tinggi ke entitas yang dikendalikan di negara dengan pajak rendah. BEPS mengharuskan negara-negara untuk menerapkan aturan yang lebih ketat terkait pengalihan keuntungan, termasuk kewajiban pelaporan yang lebih transparan dan pengawasan terhadap struktur perusahaan yang memungkinkan penghindaran pajak. Dengan memperkenalkan pedoman dan standar pelaporan yang lebih ketat, seperti kewajiban untuk mengungkapkan informasi terkait struktur kepemilikan dan transaksi antar perusahaan (transfer pricing), BEPS mempersempit celah yang sebelumnya dimanfaatkan untuk meminimalkan kewajiban pajak melalui CFC, sehingga mengurangi potensi penghindaran pajak yang merugikan negara penerima pajak.

Dengan pedoman tersebut, Negara-negara di seluruh dunia mulai ikut memperkenalkan regulasi yang lebih ketat terhadap penghindaran pajak, dan semakin banyak yang mendesak untuk penerapan aturan anti-Controlled Foreign Company. Wajib pajak yang bergantung pada struktur CFC harus siap menghadapi pemeriksaan yang lebih ketat, baik di negara asal maupun negara tempat anak perusahaan mereka berada. Hal ini bisa memperburuk biaya administrasi dan risiko hukum yang dapat timbul akibat ketidakpatuhan terhadap regulasi yang ada. Wajib pajak yang bergantung pada kebijakan perpajakan luar negeri mungkin menghadapi ketidakpastian yang timbul dari perubahan kebijakan fiskal internasional. Misalnya, reformasi pajak global atau kebijakan baru dari organisasi internasional, seperti OECD, yang berfokus pada penghindaran pajak dapat merubah struktur perpajakan yang ada dan memaksa wajib pajak untuk menyesuaikan strategi mereka, yang pada akhirnya bisa mengurangi manfaat dari Controlled Foreign Company.

Praktik Controlled Foreign Company membawa peluang dan tantangan baik bagi negara maupun wajib pajak. Bagi negara, ada peluang untuk memperbaiki kebijakan pajak internasional dan mengurangi penghindaran pajak, meskipun tantangannya adalah kehilangan penerimaan pajak dan sulitnya pengawasan. Bagi wajib pajak, CFC memberikan peluang untuk memaksimalkan keuntungan dan daya saing melalui pengurangan kewajiban pajak, tetapi mereka juga menghadapi risiko reputasi yang besar dan peningkatan regulasi yang ketat. Dalam konteks teori Bourdieu, habitus, kapital, dan arena membantu memahami dinamika sosial dan ekonomi ini, dengan perusahaan menggunakan kapital ekonomi dan kapital sosial mereka untuk mendominasi arena global sambil menghadapi tekanan dari perubahan kebijakan fiskal dan opini publik.

DAFTAR PUSTAKA

  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 107/PMK.03/2017 Tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Dan Dasar Penghitungannya Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek
  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.03/2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 Tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Dan Dasar Penghitungannya Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek
  • Encyclopaedia, B. (Januari, 2023). Pierre Bourdieu French sociologist and Public Intellectual.
    https://www.britannica.com/biography/Pierre-Bourdieu
  • Mustikasari, M., Arlin, & Kamaruddin, S. A. (2023). Pemikiran Pierre Bourdieu dalam memahami realitas sosial. Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora, 6(1),. https://doi.org/10.31539/kaganga.v6i1.5089

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun