1. PEGAWAI
A. PEGAWAI TETAP
Berdasarkan Pasal 1 ayat 10 PMK 168 Tahun 2023 yang dimaksud dengan Pegawai Tetap adalah Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta Pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang Pegawai yang bersangkutan bekerja penuh dalam pekerjaan tersebut.
Dan dikatakan dalam Pasal 1 ayat 15 dan ayat 16 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 terdapat 2 jenis penghasilan yang diterima oleh pegawai tetap, yaitu :
- Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur, adalah penghasilan bagi Pegawai Tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
- Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak Teratur, adalah penghasilan bagi Pegawai Tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun.
Sebagai Contoh :
B. PEGAWAI TIDAK TETAP
Berdasarkan Pasal 1 ayat 11 PMK 168 Tahun 2023 yang dimaksud dengan Pegawai Tidak Tetap adalah Pegawai, termasuk tenaga kerja lepas, yang hanya menerima penghasilan apabila Pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan, atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.Â
Imbalan yang diterima oleh pegawai tidak tetap dibedakan menjadi 2, yang pertama adalah dibayarkan secara bulanan, dan yang kedua dibayarkan secara tidak bulanan (harian atau mingguan)
Sebagai contoh :
2. PENSIUNAN BERKALA
Berdasarkan Pasal 1 ayat 13 PMK 168 Tahun 2023 yang dimaksud dengan Pensiunan adalah orang pribadi atau ahli warisnya, termasuk janda, duda, anak, dan/atau ahli waris lainnya, yang menerima atau memperoleh imbalan secara periodik berupa uang pensiun, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, jaminan hari tua, untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu.
Dan yang dimaksud dengan besaran penghasilan neto bagi penerima pensiun dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 10 ayat (4) adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun.
Sebagai contoh :
Herman kelahiran boyolali 1 januari 1968, bekerja sebagai pegawai tetap pada PT. Bintang Samudera yang merupakan perusahaan jasa ekpedisi di jakarta sejak tanggal 01 Januari 2000, Herman memiliki NPWP dan berstatus menikah tanpa tanggungan. Selama bekerja, Herman menerima gaji sebulan sebesar Rp. 15.000.000,-. Dan setiap bulan Herman membayarkan iuran pensiun sebesar Rp. 300.000,- ke BPJS Ketenagakerjaan yang mekanismenya dilakukan melalui pemotongan oleh Perusahaan tempat dia bekerja. Berdasarkan ketentuan perusahaan, Herman telah memasuki usia pensiunnya di Tahun 2024, dan terakhir menerima gaji diperusahaan tersebut pada Akhir Desember 2023.
Pada awal tahun 2024, Herman mulai menerima penghasilan berupa dana pensiun secara berkala dari BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp. 6.000.000,- per bulan. Maka berikut adalah perhitungan PPh Pasal 21nya yang dilakukan oleh Dana Pensiun :
3. BUKAN PEGAWAI
Berdasarkan Pasal 1 ayat 12 PMK 168 Tahun 2023 yang dimaksud dengan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan atas Pekerjaan Bebas atau jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Dan dikatakan dalam Pasal 1 ayat 22 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 terdapat 2 jenis penghasilan yang diterima oleh bukan pegawai, yaitu :
A. Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan, adalah imbalan kepada Bukan Pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Dan Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan dibedakan menjadi 2, yaitu :
- Imbalan kepada Bukan Pegawai dari Satu Pemberi Kerja
- Imbalan kepada Bukan Pegawai lebih dari Satu Pemberi Kerja
B. Sedangkan imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Tidak Berkesinambungan, adalah kebalikannya, yaitu imbalan kepada Bukan Pegawai yang dibayar atau terutang hanya satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
Sebagai Contoh :
A. BERKESINAMBUNGAN DARI SATU PEMBERI KERJA
Ahmad, seorang dokter yang bekerja pada Rumah Sakit Siloam di jakarta menerima penghasilan bukan pegawai sejak 1 januari 2024, ia memperoleh penghasilan hanya dari satu pemberi kerja, yaitu Rumah Sakit Siloam tersebut, Ahmad memiliki NPWP dan berstatus belum menikah. Selama Tahun 2024, Ahmad menerima penghasilan sebagai berikut beserta perhitungan PPh Pasal 21nya:
Catatan : Penerima penghasilan Bukan Pegawai yang menerima penghasilan dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya. Sehingga kepadanya diberikan pengurangan PTKP. (Pasal 1 ayat 13 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016)
B. BERKESINAMBUNGAN LEBIH DARI SATU PEMBERI KERJA
Burhan, seorang dokter yang bekerja pada Rumah Sakit Siloam di jakarta menerima penghasilan bukan pegawai sejak 1 januari 2024, selain memperoleh penghasilan dari rumah sakit Siloam, ia juga memperoleh penghasilan tetap dari Rumah Sakit Brawijaya, Burhan memiliki NPWP dan berstatus belum menikah. Selama Tahun 2024, Burhan menerima penghasilan dari Rumah Sakit Siloam sebagai berikut beserta perhitungan PPh Pasal 21nya:
Catatan : sedangkan Burhan tidak memperoleh pengurangan PTKP, hal tersebut dikarenakan burhan menerima penghasilan lebih dari satu Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26. Sehingga kepadanya tidak diberikan pengurangan PTKP. (Pasal 1 ayat 13 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016)
C. TIDAK BERKESINAMBUNGAN
PT. Jaya Sentosa membayarkan Jasa Pembersihan lahan kepada bapak Roni pada Januari 2024 sebesar Rp. 10.000.000,-. Pak Roni memiliki NPWP dan berstatus belum menikah, maka berikut adalah perhitungan PPh Pasal 21 nya :
Rp. 10.000.000 x 50% x 5% = Rp. 250.000,-
(Bruto x 50% x tarif pasal 17)
Jumlah sebesar Rp. 250.000 ini akan dipotong dari imbalan pembersihan lahan sebesar Rp. 10.000.000,- ,sehingga imbalan yang diterima adalah sebagai berikut :
Rp. 10.000.000 -- Rp. 250.000 = Rp. 9.750.000,-
4. PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH ORANG PRIBADI SUBJEK PAJAK LUAR NEGERIÂ
Berdasarkan pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap.
Dan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) huruf (d) dijelaskan bahwa Atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun (termasuk imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan), yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.
Artinya setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh subjek pajak luar negeri dikenakan pajak PPh Pasal 26 sebesar 20%, termasuk imbalan yang diberikan kepada subjek pajak luar negeri yang melakukan pekerjaan bebas dan mendapatkan penghasilan atas pekerjaan bebas tersebut dari subjek pajak dalam negeri (Wajib Pajak di Indonesia).
Sebagai Contoh :
Mr. Johnathan warga negara Singapura dan berdomisili di singapura, pada tanggal 10 November 2024 ia mendapatkan penghasilan dari Indonesia atas Jasa yang diberikannya kepada PT. Hitachi Global untuk melakukan perbaikan server jarak jauh (Remote Server), atas Jasanya tersebut, Mr. Johnathan mendapatkan imbalan sebesar 10.000 USD dengan rate kurs pada saat transaksi adalah Rp. 16.000. Mr. Johnathan tidak dapat memberikan CoR (Certificate of Residence) dan DGT form kepada PT. Hitachi Global dalam Upayanya memanfaatkan fasilitas P3B (Tax Treaty) antara Indonesia dengan Singapura. Maka berikut adalah perhitungan PPh 21nya :
Penghasilan Bruto 10.000 x 16.000 = Rp. 160.000.000 x 20% = Rp. 32.000.000
Artinya, penghasilan yang akan dibayarkan kepada Mr. Johnanthan sebesar Rp. 160.000.000 harus dipotong PPh Pasal 26 sebesar Rp. 32.000.000,-
Rp. 160.000.000 -- Rp. 32.000.000 = Rp. 128.000.000
Demikian informasi yang dapat penulis sampaikan, jika ada kekurangan mohon dimaafkan.
Sekian dan Terima KasihÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H