REVIEW ARTIKEL
Krisis Politik di Kalimantan Barat 1950: Suatu Proses Menuju Integrasi ke dalam Republik Indonesia
(The 1950 Political Crisis in West Kalimantan: a Process Towards the Integration into the Republic of Indonesia)
Oleh Kelompok 12
Ahmad David, Ahmad Fudhail, Amira Feizatinnisa
PendahuluanÂ
Berhasilnya Indonesia menjadi negara yang berdaulat pada 17 Agustus 1945. Indonesia mulai menyusun pemerintahannya sendiri. Dalam usaha menyusun pemerintahannya, banyak hambatan-hambatan yang munculnya dari internal masyarakat Indonesia sendiri yang masih meragukan pemerintahan yang dibangun oleh Indonesia sendiri salahsatunya wilayah Kalimantan Barat. Kesultanan-kesultanan yang berada di Kalimantan Barat merasa trauma akibat dari penyiksaan yang dilakukan semasa penjajahan Nippon Jepang. Pemerintahan baru RI masih dirasa belum bisa membawa rakyat Kalimantan Barat kepada keamanan dan kesejahteraan. Selain daripada rakyat Kalimantan yang memiliki hubungan baik sebelumnya dengan pihak Belanda, menyebabkan NICA sangat disambut baik di Kalimantan Barat.
Pengaruh Belanda yang akan merugikan kedaulatan Indonesia di Kalimatan Barat, mendapat penolakan keras dari para pemuda pendukung kedaulatan RI. Berbagai perlawanan digencarkan agar Belanda tidak hadir kembali ke Nusantara.
Jika melihat kebelakangan, penentangan di Kalimantan Barat sudah terjadi sejak lama. Seperti pada tahun 1935 berdiri partai Parindra. Tetapi, pada masa setelah kemerdekaan, partai  Parindra berubah menjadi Gerakan politik yang menjawab tantangan atas adanya organisasi GAPI pada akhir 1946 juga terbentuk  KNKB pada tahun 1949. Kedua Gerakan ini menolak adanya daerah istimewa Kalimantan Barat yang dibentuk pihak Belanda. Hal tersebut menyebabkan adanya persaingan, sebagai puncak dari persaingan tersebut adalah krisis politik yang terjadi di Pontianak pada tahun 1950. Pada tahun ini terjadi krisis ekonomi dan pemogokan masal hingga menyebar ke wilayah lain.
Peristiwa di Pontianak ini sangat menarik dikaji karena kajian historis yang terdapat di Kalimantan Barat sangat sedikit, terutama pada masa revolusi kemerdekaan. Sehingga artikel ini diupayakan bisa menjawab dan memberikan informasi yang luas terhadap sejarah yang pernah terjadi di Kalimantan Barat.
Metode Penulisan
Pada artikel ini menggunakan metode penulisan sejarah yang memuat heuristic(pengmpulan sumber), kritik(verifikasi sumber), interpretasi(penafsiran tas sumber) dan historiografi(penulisan sejarah).
Garis Besar Isi Artikel
Kondisi Politik di Pontianak Sekitar KMB
Sekitar dilaksanakan KMB di Den Haag Belanda friksi antara kaum republikan dalam GAPI dengan kelompok federalis di DIKB berhasil direduksi. GAPI menerima isi KMB sebagai realita perjuangan dan tetap memperjuangkan agar Kalimantan Barat berintegrasi ke RI. Untuk lebih memantapkan misi, dibentuk Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB).
Sebagai usaha pertamanya pada 25 Desember 1949 atas nama KNKB, Sabam Hendrik Marpaung pergi ke Jakarta untuk meminta masuknya TNI ke Kalimantan Barat agar tidak terjadi kekosongan kekuatan pertahanan apabila Koninklijk Nederlandsch Indies Leger (KNIL) nantinya dibubarkan setelah penyerahan kedaulatan. TNI akan masuk ke Kalimantan Barat sebagai unsur utama dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) dimana nantinya akan dibuka kesempatan bagi tentara bumiputera eks-KNIL maupun pejuang dari badan-badan perjuangan untuk masuk ke dalam APRIS. Tepat pada 27 Desember 1949 diadakanlah upacara penyerahan kedaulatan RIS di bekas rumah residen Kalimantan Barat (Ahok et al., 1992: 87). Hal ini luput dari pantauan Sultan Hamid II yang telah kembali berangkat ke Belanda untuk menghadiri upacara penyerahan kedaulatan
Terjadinya Krisis Politik di Kalimantan Barat Tahun 1950
Di wilayah Kalimantan Barat, perjuangan-perjuangan fisik membela kemerdekaan sebenarnya dilakukan oleh badan-badan perjuangan atau militan pro republik, bukan TNI.
Kedatangan TNI untuk mengambil alih keamanan memicu krisis politik. Kepala DIKB merasa kehadiran TNI belum diperlukan karena pasukan KNIL yang ada sudah cukup. Akibatnya terjadi demonstrasi yang menuntut diterimanya TNI dan dibubarkannya DIKB. Puncak krisis politik terjadi pada 4 Maret 1950, aparat menangkap pemimpin KNKB dan menindak represif massa yang hendak mengadakan rapat raksasa dan menuntut pembubaran DIKB. Akibatnya, pada 6 Maret 1950 KNKB mengajak mogok massal pekerja yang diikuti oleh rakyat. Pemogokan ini menyebabkan lumpuhnya aktivitas ekonomi.
Penduduk dalam dan luar kota yang menggantungkan hidupnya pada sistem distribusi terutama bahan pokok beras, mulai mengalami kesulitan sejak jaringan distribusi se-wilayah Kalimantan Barat yang berpangkal di Pontianak itu berhenti.
Upaya-upaya Menyelesaikan Krisis Politik dan Dampaknya
Upaya yang ditempuh untuk menyelesaikan krisis politik secara umum dilakukan melalui perundingan. Lewat mediasi dari Komisaris Umum RIS dan DPR-RIS, pada 18 Maret 1950, Pada 18 Maret 1950 berhasil dicapai persetujuan antara KNKB dan Pemerintah DIKB yang ditengahi oleh Komisaris Umum RIS, yakni pengumuman mengakhiri pemogokan (Usman, 2018: 96). Hari itu juga pemogokan massal usai dan secara berangsur kegiatan perekonomian kembali pulih. Hal ini juga tidak terlepas dari usaha Komisi Fact and Finding, dimana dr. Mas Soedarso terlibat sebagai sekretaris komisi dalam menengahi DIKB dan KNKB. Akan tetapi, ditangkapnya Sultan Hamid II pada 5 April 1950 mendorong perubahan konstelasi politik ke arah proses likuidasi DIKB. Pemerintah RIS mengirimkan R. Budiarjo untuk menjadi Residen Kalimantan Barat. Pada 7 Mei 1950 lewat surat 234/R dan 235/R, DIKB mengeluarkan keputusan bahwa Badan Pemeritahan Harian dan acting Kepala Daerah DIKB menyerahkan hak dan kekuasannya kepada Residen Kalimantan Barat, serta mulai tanggal 10 Mei 1950 DIKB dinyatakan dibubarkan. Kalimantan Barat resmi berintegrasi ke RI pada 17 Agustus 1950 seiring penghapusan RIS.
Bubarnya DIKB merupakan salah satu contoh kegagalan Indonesia menerapkan sistem federalisme kala itu. Dari sisi perimbangan politik, kegagalan ini sebenarnya telah diprediksi sejak penetapan susunan Kabinet Hatta pada 20 Desember 1949 yang tetap didominasi oleh tokoh republik. Sementara dari sisi keamanan, negara-negara bagian atau daerah seperti Negara Pasundan diklaim tidak dapat menjamin keamanan dan ketentraman rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H