Opini ini sangat sering terjadi di kalangan industri kreatif, di mana banyak opini dari berbagai pihak yang mengatakan bahwa untuk belajar fotografi/videografi harus dimulai dengan menggunakan alat dengan spesifikasi yang "mumpuni" atau yang mahal sekalipun. Dari opini ini, memicu perdebatan antara dua pihak: Memulai dengan alat seadanya & Memulai harus dengan alat yang mumpuni.
Kembali ke dasar, memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya hasil dari foto/video yang bagus itu didukung oleh alat yang mumpuni juga, dan alat yang dimaksud ini bisa dari berbagai hal, mulai dari kamera, lensa, alat pencahayaan (lighting), rigging, set, dan sebagainya. Beberapa pemain lain di industri pasti juga akan sangat setuju dengan pemikiran ini, bahwa pasti berbanding lurus antara kualitas alat dengan kualitas hasil yang didapat.
Hal ini akan menjadi isu apabila ini didengar oleh pemula, terutama apabila mereka masih memiliki pengetahuan yang sangat sedikit. Semakin buruk lagi apabila mereka memiliki hambatan di kondisi ekonomi mereka, di mana untuk membeli alat-alat pendukung foto atau video yang mumpuni pun bisa jadi hambatan.
Kembali ke masa lalu, tepatnya sekitar tahun 2016 dan 2017, adalah tahun di mana penulis memulai karir di fotografi dan videografi. Secara jenjang pendidikan, saat itu jenjang pendidikan saya masih di bangku SMP. Saat itu, motifnya belajar adalah untuk memamerkan kebolehan saya ke pada teman-teman, karena bisa dibilang saat itu juga karya yang dihasilkan bisa dibilang sangat maksimal untuk seseorang yang berada di bangku SMP.
Saat itu, bermodal dengan dipinjamkan oleh orang tua saya beberapa alat, laptop Acer Aspire bekas keluarga senilai 4 juta rupiah, smartphone LG G2 bekas ibu, dan tidak ada kamera sama sekali. Di sini hanya memaksimalkan dari sisi editing di setiap karya, karena menurut penulis, yang potensinya besar adalah belajar editing video dengan menggunakan laptop yang sedang dipinjamkan saat itu.
Saat itu, bisa dibilang skill editing foto & video penulis pun juga terasah dengan cukup baik, mulai bisa menghasilkan karya yang menggugah mata secara visual dan tetap relevan sesuai penyampaian konteks dari karya tersebut. Dahulu, sempat meminta kepada orang tua untuk alat yang lebih mumpuni, tetapi orang tua tidak mengizinkan karena mahalnya kamera yang layak saat itu bagi ekonomi keluarga.
Dengan bekal skill editing, dan penulis tahu bahwa itu tidak cukup untuk menguasai bakat videografi secara keseluruhan. Tidak habis pikir, akhirnya mulai melihat ke teman-teman yang memiliki kamera yang cukup "mumpuni" saat itu. Beberapa teman mulai memercayakan untuk meminjamkan kameranya, dan terkadang penulis berikan timbal balik dalam bentuk lain, yang pastinya menguntungkan mereka.
Selama dipinjamkan kamera, tentu kesempatan ini dimaksimalkan. Mulai belajar segitiga exposure, belajar komposisi, belajar pengaturan di kamera, semuanya terakumulasi hingga 1-2 tahun akhirnya mulai menguasai pengambilan gambar dan editing sepenuhnya.
Titik awal naik penulis adalah ketika tahun 2019, di mana saat itu sedang berada di bangku SMA dan mencoba melamar pekerjaan ke salah satu wedding organizer di Jakarta Timur. Pada akhirnya, diterima sebagai videographer part-time di sana, dan melakukan pekerjaan ketika diperlukan oleh mereka.
Di sini, penulis cukup belajar banyak dari cara leader berinteraksi kepada klien, cara menjadi profesional, dan sebagainya. Selain skill bisnis, otomatis skill di teknis fotografi & videografi juga meningkat secara pesat. Di waktu ini, sekitar tahun 2018 hingga 2019, Â bisa dibilang cukup menguasai di bidang ini di usia yang saat itu terbilang cukup "prematur".
Singkat cerita, pengalaman itulah penulis mendapatkan banyak pengetahuan terkait "bisnis" dari dunia fotografi & videografi ini. 2 tahun kemudian, sekarang kami menjalankan bisnis production house bernama U Films yang sudah membuat iklan untuk brand besar seperti Daihatsu, Honda, Betadine, Buttonscarves, Telkom, bahkan tembus ke pemerintahan seperti BUMN, BRI, Sekretariat Wakil Presiden, dan PUPR.
Dari sini, apa pelajaran yang bisa diambil? Bisa dibilang, penulis adalah salah satu cerita nyata dari orang yang memulai dengan kondisi ekonomi yang secukupnya, tetapi saat dahulu, dibekalkan cukup cekatan untuk mencari akses ke alat foto/video yang mumpuni sehingga bisa belajar dari dasar hingga ahli.
Berdasarkan keadaan saat ini, untuk kita mendapatkan akses ke alat foto/video seperti kamera, pencahayaan, dan sebagainya, kita bisa mendapatkan hal itu melalui dua hal: Meminjam teman, atau menyewa ke penyedia jasa. Meminjam teman adalah cara yang dahulu sering dilakukan, tetapi sejak 3 tahun terakhir, sudah banyak bisnis penyewaan kamera yang memberikan harga yang cenderung murah untuk kamera yang berspesifikasi sangat cukup.
Untuk bayangan, harga sewa untuk kamera mirrorless yang layak untuk pemula, Sony A6000, bisa didapat di harga Rp. 125.000 hingga Rp. 150.000 per harinya. Terbilang sangat murah untuk kamera yang dijual dengan harga 6-7 juta rupiah. Untuk kamera yang lebih profesional, seperti Sony A7S III, bisa disewa per harinya dengan harga Rp. 400.000 per harinya, sedangkan harga beli kamera tersebut adalah di 50 juta rupiah. Sangat mahal bukan?
Jadi, jangan berkecil hati apabila kamu masih memulai di dunia fotografi & videografi, karena bisa dibilang, "banyak jalan menuju roma". Ditambah, akses konten tutorial untuk menguasai skill pengambilan gambar dan editing foto/video pun sudah ada dimana-mana. Sehingga yang menjadi permasalahan adalah, apakah kita serius ingin memulai?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H