Partai politik pun tidak kalah, mereka menawarkan visi yang hampir serupa: mendorong pemerintahan yang lebih baik, lebih bersih, dan lebih adil. Tidak ada kandidat atau partai yang dengan terang-terangan membawa misi yang "jelek". Semua mengusung niat baik dan tujuan mulia. Lalu, jika semua niatnya baik, mengapa kita malah terpecah dalam memilih? Mengapa kita, sebagai rakyat, terbagi-bagi dalam mendukung calon atau partai tertentu? Apakah kita harus bersatu dalam satu pilihan, ataukah perbedaan dalam pilihan ini justru bagian dari kekuatan demokrasi?
SETIAPÂ kali pemilu datang, kita selalu mendengar janji-janji manis dari para kandidat, baik itu calon gubernur, bupati, wali kota, maupun anggota legislatif. Semua berbicara tentang perubahan, tentang kemajuan, tentang kesejahteraan rakyat. Mereka berjanji untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kualitas pendidikan, memperbaiki infrastruktur, dan menciptakan lapangan kerja.Â
Pada dasarnya, semua kandidat memiliki tujuan yang sama, yaitu membangun negara dan meningkatkan kualitas hidup rakyat. Tidak ada yang dengan sengaja menginginkan kerusakan atau kemunduran. Namun, meski tujuannya serupa, jalan yang mereka tawarkan berbeda. Inilah yang pertama kali menjadi alasan mengapa kita terpecah dalam memilih. Setiap calon memiliki pendekatan yang berbeda terhadap masalah yang ada. Satu calon bisa saja lebih fokus pada pembangunan infrastruktur, sementara calon lain lebih menekankan pada pemberdayaan sosial dan peningkatan kualitas pendidikan. Ada yang berfokus pada reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi, ada yang lebih peduli pada masalah ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Meskipun niatnya baik, tetapi cara untuk mencapainya sangat berbeda.
Sebagai pemilih, kita tentu akan memilih kandidat atau partai yang pendekatannya paling sesuai dengan pandangan kita. Kita memilih berdasarkan nilai-nilai dan pengalaman yang kita anggap penting. Pada titik inilah perpecahan dimulai. Karena yang satu merasa bahwa pembangunan infrastruktur adalah prioritas utama, sementara yang lain berpendapat bahwa pemberdayaan masyarakat lebih penting. Ini adalah hal yang wajar dalam demokrasi, karena setiap individu atau kelompok memiliki pandangan yang berbeda terhadap apa yang seharusnya menjadi prioritas dalam pembangunan.
Â
Namun, masalah perpecahan dalam politik bukan hanya tentang pilihan terhadap program atau kebijakan. Sering kali, perpecahan ini lebih dipengaruhi oleh faktor kepentingan politik yang lebih dalam dan kompleks. Setelah terpilih, seorang calon pemimpin tidak selalu bisa memegang teguh semua janji kampanye yang mereka buat, karena harus berhadapan dengan berbagai kepentingan politik yang beragam. Misalnya, dalam membentuk koalisi dengan partai-partai lain, seorang kandidat harus berkompromi dengan pihak-pihak yang mungkin memiliki agenda politik yang berbeda.
Proses demokrasi seringkali melibatkan banyak pihak dengan kepentingan yang tidak selalu sejalan. Untuk memenangkan pemilu, partai-partai sering kali harus membentuk koalisi, tetapi koalisi ini sering kali lebih didasarkan pada perhitungan pragmatisme politik ketimbang kesamaan visi. Hal ini menjadikan politik jauh lebih kompleks daripada sekadar memilih kandidat dengan visi terbaik. Kita tidak jarang melihat partai atau kandidat yang pada awalnya berkomitmen untuk satu tujuan, namun setelah terpilih, terpaksa menyesuaikan diri dengan situasi politik yang ada. Politik, dalam banyak kasus, harus berhadapan dengan kenyataan kekuasaan, perhitungan pragmatis, dan kepentingan jangka pendek yang seringkali mengorbankan idealisme.
Â
Perpecahan dalam memilih calon atau partai politik sebenarnya adalah sesuatu yang wajar dalam sistem demokrasi. Demokrasi memungkinkan adanya keragaman pendapat dan pilihan. Dalam demokrasi yang sehat, perbedaan pandangan adalah kekuatan, bukan kelemahan. Setiap individu memiliki hak untuk memilih siapa yang mereka anggap mampu membawa perubahan positif sesuai dengan pandangan mereka. Tidak ada satu pilihan yang bisa mengakomodasi semua keinginan rakyat, karena kita adalah negara yang sangat beragam dengan berbagai macam kebutuhan dan harapan.
Namun, yang perlu diwaspadai adalah jika perbedaan ini berubah menjadi polarisasi yang tajam dan penuh permusuhan. Ketika perpecahan ini tidak dikelola dengan baik, politik bisa berubah menjadi arena konflik antar kelompok, yang justru merugikan masyarakat secara keseluruhan. Pada titik tertentu, kita bisa melihat bagaimana satu kelompok pendukung kandidat atau partai tertentu tidak mau lagi mendengarkan atau menghargai pendapat orang lain. Mereka lebih memilih untuk membela kandidat atau partai pilihan mereka dengan cara yang terkadang tidak rasional dan penuh emosi.
Perpecahan yang konstruktif adalah perbedaan yang terjadi dalam konteks diskusi dan debat yang sehat, yang bertujuan untuk mencari solusi terbaik bagi negara. Namun, ketika perbedaan ini berakhir dalam permusuhan dan saling menyerang, maka demokrasi akan kehilangan esensinya. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, politik justru akan menjadi ajang perebutan kekuasaan antara kelompok-kelompok yang tidak lagi peduli pada kebaikan bersama.
Â
Meski perpecahan dalam politik adalah hal yang wajar, tantangan terbesar adalah menemukan pemimpin yang benar-benar memiliki niat untuk membangun negara dengan tulus. Sebagian besar politisi mungkin memang memiliki niat baik, tetapi sering kali niat tersebut terganjal oleh kepentingan politik yang lebih besar. Mereka terjebak dalam permainan kekuasaan dan kompromi yang menjauhkan mereka dari visi pembangunan yang sebenarnya.
Hanya sedikit politisi yang benar-benar memiliki integritas dan visi besar untuk bangsa. Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya berbicara tentang perubahan, tetapi juga berusaha mewujudkannya dengan tindakan nyata. Sayangnya, politisi seperti ini sering kali terpinggirkan oleh dinamika politik yang ada, yang lebih mengutamakan strategi jangka pendek dan kepentingan pribadi. Itulah sebabnya kita sering merasa kesulitan dalam memilih, karena sulit untuk menemukan calon yang benar-benar bebas dari kepentingan politik yang sempit.
Â
Pada akhirnya, meskipun politik kita terpecah dalam banyak pilihan, kita harus menyadari bahwa perbedaan ini adalah bagian dari kekuatan demokrasi. Sebagai pemilih, kita harus lebih kritis dalam memilih, tidak hanya berdasarkan janji-janji politik, tetapi juga berdasarkan rekam jejak dan integritas calon pemimpin. Jangan sampai perpecahan dalam politik merusak esensi dari demokrasi itu sendiri. Kita harus belajar untuk menghargai perbedaan pendapat dan tetap menjaga semangat untuk membangun negara ini bersama-sama.
Politik yang sehat adalah politik yang mampu mengakomodasi perbedaan, bukan memecah belah. Jika kita sebagai rakyat mampu mengelola perbedaan ini dengan bijak, kita bisa menciptakan sebuah sistem politik yang lebih konstruktif dan membawa perubahan positif bagi negara. Kunci utamanya adalah menemukan pemimpin yang memiliki niat tulus untuk membangun negara dan bukan sekadar untuk meraih kekuasaan. Dalam demokrasi, perpecahan bukanlah musuh, tetapi tantangan yang harus kita hadapi bersama demi kebaikan bangsa.
Bangka Selatan, 16 November 2024
Ahmad Yusuf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H