Dita terdiam. Kata-kata Pak Rafi menyentuh hatinya, namun ia tetap diliputi perasaan bersalah. Ia tahu betapa besarnya resiko yang harus mereka tanggung, terutama bagi Pak Rafi yang memiliki keluarga dan reputasi yang harus dijaga. Namun, perasaan yang terjalin di antara mereka seakan lebih kuat dari logika. Mereka memutuskan untuk melanjutkan hubungan ini, meski sepenuhnya sadar akan bahayanya.
Waktu berlalu, dan hubungan terlarang mereka semakin dalam. Pak Rafi sering kali menghabiskan waktu di luar rumah dengan alasan pekerjaan, sementara Dita merasa hatinya tersandera dalam kebahagiaan yang semu. Setiap kali bersama, mereka merasa bebas dan hidup. Namun ketika sendiri, Dita selalu diliputi rasa bersalah dan ketakutan akan masa depan hubungan mereka.
Pak Rafi pun mulai merasakan tekanan. Beberapa kali ia kehilangan fokus saat bekerja, membuat keputusan yang aneh, bahkan terkadang berbicara tanpa arah di dalam rapat. Rekan-rekan kerjanya yang lain mulai bertanya-tanya, heran melihat perubahan sikap Pak Rafi yang selama ini begitu profesional. Pak Rafi merasa hidupnya menjadi kacau, seolah-olah ia kehilangan kendali atas segalanya.
Sampai pada suatu sore, saat ia baru pulang dari kantor, istrinya, Ibu Lina, menanyakan sesuatu yang membuat hatinya tersentak.Â
"Kamu sering keluar malam dan dinas luar belakangan ini, Mas. Ada apa?" tanya istrinya dengan suara penuh kecurigaan.
Pak Rafi berusaha tenang dan memberikan alasan-alasan tentang rapat atau lembur, tetapi sorot mata istrinya menunjukkan bahwa ia tidak percaya sepenuhnya. Pak Rafi tahu bahwa ia tak bisa selamanya bersembunyi. Perasaan bersalah yang terus menumpuk membuatnya semakin gelisah. Cinta terlarang ini bukan hanya telah menggerogoti profesionalismenya, tapi juga meretakkan kehidupan keluarganya.
Keesokan harinya, Dita menemuinya di sebuah taman. Dengan wajah yang penuh kesedihan, Dita berkata,Â
"Pak, mungkin sudah saatnya kita berpisah. Saya tak bisa terus hidup dengan rasa bersalah ini... dan saya tak mau menjadi alasan kehancuran keluarga Bapak."
Pak Rafi terdiam. Dalam hatinya, ia ingin mempertahankan Dita, namun ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang benar. Dengan berat hati, ia mengangguk.Â
"Kau benar, Dita. Aku tak ingin menghancurkan semuanya... termasuk hidupmu. Terima kasih atas semuanya. Kau telah mengisi bagian dalam hidupku yang tak pernah aku duga sebelumnya."
Mereka berdua pun berpisah hari itu, membawa luka yang akan mereka simpan dalam hati masing-masing. Pak Rafi kembali berusaha memperbaiki hubungannya dengan keluarga, sementara Dita perlahan-lahan mencoba melanjutkan hidupnya. Cinta yang terlarang itu akhirnya menjadi kenangan pahit bagi keduanya, sebuah pelajaran tentang batasan yang seharusnya dijaga.