Mohon tunggu...
Isom Rusydi
Isom Rusydi Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Orang Kampung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanip, Newton, dan Quhveh Khaneh [1]

14 Februari 2016   14:26 Diperbarui: 14 Februari 2016   15:08 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Andai Newton lebih dulu melihat kopi teori apa yang akan dicetuskannya?

Hanip, tidak ada sense yang lebih aneh daripada memikirkan lelaki kurus ikal itu. Kerjaannya merantau dari satu rumah tetangga ke rumah tetangga lain. Kulit sawo matang terbakarnya lebih mudah dikenali. Karena perawakannya yang kurus nan legam, Hanip lebih masyhur dipanggil Hanip Helm. Entah siapa yang memulai pertama kali gelar yang menurutnya “bergengsi” itu yang jelas Hanip Helm tak terganggu sedikit pun. Toh, bukan julukan genetis, katanya.   

Selain helm, Hanip juga masyhur dengan Hanip Ban. Kulit yang tidak sehitam ban  namun kental dengan harum matahari memaksa tetangganya memanggilnya demikian. Walau begitu Hanip Helm tak acuh dan tak mau ambil snewen.

Daripada helm atau ban, Hanip lebih akrab disapa Hanip Kopi. Tiada hari tanpa kopi. Dan rokok menjadi pendamping kopi yang ketika meminumnya Hanip menganggap rutinitasnya itu sebagai maqam tertinggi bagi pengopi ahli. Hanip lebih memilih kopi daripada bercanda dengan televisi hitam putihnya atau radio Maspionnya. Baginya kopi mempunyai kekuatan magis yang hanya bangsa Ethiopia saja dan dirinya yang tahu mengapa biji kecil yang ‘memaksa’ Francesco dan Riccardo Illy menulis From Coffee to Espresso ini begitu melegenda. Televisi dan radio Maspionnya hanya sebagai pelengkap ruang tamu saja. 

Pengopi itu laiknya dewa yang sedang sakau, jawabnya ketika ditanya teman yang dianggapnya revolusioner, Sipul. Seperti halnya Hanip, Sipul lebih mengidentikkan diri sebagai pecinta teh daripada kopi meskipun di akhir pekan Sipul menyempatkan diri ke kedai Perawan di tengah pasar. Cita-cita ‘sederhananya’ adalah minum teh melange quartier, teh khas Perancis yang harum dengan campuran pala dan kayu manis, di tepian Sungai Seine. Namun, bagi Hanip tidak ada sensasi lebih indah daripada menikmati Kopi Joss di pinggiran Stasiun Tugu Yogjakarta sambil menikmati Epic Song-nya Pablo Neruda. 

Suatu hari yang panas, Hanip bertanya kepada teman sejawatnya itu.

“Bertahun-tahun kita disibukkan dengan kopi dan teh, apa yang kita cari dari dua makhluk itu?”

“Entahlah, aku tak merasakan apapun selain hanya kebutuhan batin yang terpenuhi, maksudku aku lebih tenang dengannya,” jawab Sipul dingin.

“Tapi, Pul sejak kopi membuatku sakau setiap hari, sejak itu pula aku merasa ada yang aneh tentang hubunganku dengan istriku. Ada kerenggangan di sana,” Hanip memelas.

“Nip, kau masih kelas pengopi jalanan, maklum kau seperti itu. Coba kau tingkatkan ke kelas yang lebih porpesional. Aku juga pernah mengalaminya, tapi akhirnya biasa juga.”

Sejak saat itu, Hanip melantik dirinya sebagai pengopi profesional dengan meningkatkan intensitas minum kopinya. Meskipun hanya kopi tubruk dengan ampas yang luar biasa banyaknya, tak menghalangi Hanip Kopi menikmati lima cangkir kopi ukuran standar setiap harinya. Bahkan istrinya, Suti, ikut-ikutan. Beberapa bulan kemudian Sinud, anak semata wayangnya juga tidak mau kalah. Mantra apa yang diberikan Sipul kepada Hanip, wallahu a’lam.

“Resepmu mujarab, Pul,” kata Hanip suatu hari sambil tersenyum.

Sejak saat itu, rutinitas Hanip lebih padat dari biasanya. Pagi buta dia menghabiskan waktu bersama Suti, Sinud, dan segelas kopi. Ketika anaknya berangkat sekolah, Hanip Kopi pergi ke sawah setelah mampir dulu ke Warung Salimah menghabiskan secangkir kopi. Tengah hari, sambil merejang otot yang kelelahan ditemani beberapa keluarganya yang luar biasa ketagihan pada kopi, dan satu mug kopi tandas tanpa ampun diselingi setumpuk tawa. Sore hari segelas kopi pahit juga dirampungkannya di rumah Bahri, setelah itu di rumah Yadi, di rumah Hasan, Sini, Sueb, Miswar, Sutinah, Mastuki, Rahem, Sinar, Jelani, Pawaz dan terakhir di rumah Ali Kolor dengan segenap cerita dan domino. Bagaimana Sipul, tak jauh beda dengan Hanip Helm.

Hanip dengan kopinya tidak bisa dipisahkan. Dan teman-teman sekampungnya lebih senang jika Hanip minum kopi di rumah mereka. Meskipun begitu, dia tidak terlalu merisaukan apa yang pernah dikatakan teman-temannya tentang kebiasaan minum kopinya itu.

“Jika kau hidup di tahun 1656, kau bisa kena hukuman cambuk oleh Kerajaan Usmani gara-gara kopimu itu,” cetus Sahrul. Hanip hanya diam. Keyakinannya hanya satu, minum kopi itu dapat memberi ‘makanan’ bagi kebutuhan rohani sekaligus memberikan pengaruh yang baik bagi mentalitas seseorang. Selebihnya tak ada yang bisa mengubah kebiasaannya itu.

***

1.677 km dari rumah Hanip, Saniman dengan jari-jari kekar penuh percaya diri mengusap layar gadget 5 incinya. Di sampinya, satu mug Starbucks masih mengepulkan asap harapan pada wanita yang sudah didekatinya selama dua bulan lebih. Wajah tirus putihnya bersungut-sungut ketika inbox ringtone-nya jarang berteriak. Speaker aktif di pojok ruangan berdentam-dentam mengalunkan musik heavy metal sangat keras. Berjarak dua blok dari rumahnya, kedai Kopi Mato terbakar paripurna bersama si pemilik, Hanip.

Kedai Imajinatif, 2016

 

[1] Sebutan untuk warung kopi yang merebak di mana-mana di masa Kekaisaran Usmani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun