Mohon tunggu...
Isom Rusydi
Isom Rusydi Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Orang Kampung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Batu, Kerikil, dan Pasir

28 Januari 2016   22:38 Diperbarui: 28 Januari 2016   22:55 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang guru filsafat yang sedang mengajar murid-muridnya. Sambil memegang gelas berisi batu, dia bertanya kepada murid-muridnya, “Apakah gelas ini sudah penuh?” Dengan kompak muridnya menjawab, “Ya...!”

Kemudian guru filsafat tersebut mengambil kerikil kecil dan memasukkannya ke dalam gelas dan mengocoknya. “Apakah gelas ini sudah penuh?” Dengan irama kompak yang tidak menurun sama sekali, muridnya menjawab, “Ya...!”  

Tanpa menanggapi jawaban muridnya, si guru kemudian memasukkan pasir halus dan menggoyang-goyang gelas sehingga pasir masuk ke celah-celah batu dan kerikil yang dimasukkan tadi. Setelah itu, guru filasafat itu bertanya lagi, “Apakah gelas ini sudah penuh?” “Ya...!!” Jawab muridnya spontan.

Mendengar jawaban muridnya yang muali kesal, guru sepuh itu tersenyum. “Anak-anak kehidupan ini unik. Keunikannya diisi dengan kebutuhan-kebutuhan yang harus kita tunaikan setiap hari. Batu yang memenuhi gelas itu adalah kebutuhan yang wajib kita tunaikan terlebih dulu. Sifatnya wajib dan tidak bisa digantikan dengan kebutuhan lain. Kerikil yang memenuhi celah-celah batu itu, meskipun tidak sepenuhnya adalah kebutuhan yang tidak terlalu penting namun mempunyai peran yang cukup pada kebutuhan yang pertama. Sedangkan pasir adalah kebutuhan yang meskipun kalian meninggalkannya tidak akan terjadi apa-apa yang pada hidup kalian.

“Jadi apabila pasir terlebih dahulu yang kalian masukkan ke dalam gelas tersebut, niscaya batu dan kerikil tidak akan mungkin memenuhi gelas tersebut.”

Kehidupan akan menemukan keunikannya jika ia dialani dengan segenap ghirah dan semangat. Hidup akan berarti jika dihayati sesuai dengan apa yang harus dilakukan manusia untuk menyempurnakan kehidupannya.

Pasir adalah simbol kesenangan dan hedonistik. Tidak sedikit manusia yang memasukkan pasir lebih dulu ke dalam gelas kehidupan daripada batu selanjutnya kerikil. Gelas kehidupan tidak akan sempurna—penuh—jika kebutuhan yang hanya sifatnya entertain menjadi prioritas. Sedangkan kewajiban terlalaikan begitu saja tanpa dihiraukan sedikit pun. Kenyatannya, hidup di era posmodern memang seperti itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun