Mohon tunggu...
Isom Rusydi
Isom Rusydi Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Orang Kampung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sensualitas Sastra, Menodai Esensinya

6 Desember 2015   10:09 Diperbarui: 6 Desember 2015   10:09 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sastra adalah pendidik terbesar bagi pancaindera dan perasaan bangsa. Begitulah kekaguman Hasan Syarif, tokoh sastra Mesir, dalam pengantarnya pada novel Fî Sabîl at-Taj (Rembulan Merah dalam edisi bahasa Indonesia) karya pengarang masyhur Mesir, Musthafa Lutfi al-Manfaluthi. Novel drama balada puitis yang ditulis tahun 1895 gubahan Francois Coubiele, sastrawan Perancis tersebut telah menyajikan sastra yang mendidik juga menghibur yang telah memberi sumbangsih besar dalam khazanah kekayaan budaya Timur Tengah. Karya tersebut sudah masuk kategori karya sastra yang berkualits dan menjadi rekomendasi para kritikus sastra maupun sastrawan sendiri.

Menuju fungsi hakiki karya sastra, seorang sastrawan menempatkan pembaca dalam kedudukan penting sebagai pemberi makna karena peranannya dalam menikmati dan mengapresisai karya sastra. Pada saat itulah pembaca memperoleh sesuatu, yaitu hiburan dan pelajaran. Itulah sebabnya menurut Horatio, fungsi sastra dikatakan mendidik dengan cara menghibur (dulce et utile) yang menurut Edgar Allan Poe disebut sebagai pendidik yang menyenangkan (didactic heresy).

Tak mengherankan kita tidak jemu-jemunya membaca karya Chairil Anwar, Amir Hamzah, Abdul Hadi WM. dan sederetan sastrawan Nusantara masyhur lainnya. Penulis sangat terkesan ketika membaca Atheis karya Akhiat K. Miharja yang pesan tesiratnya disampaikan melalui tokoh Hasan yang berakhir Tragis. Dengan penyampaian yang romantis, pembaca seakan tidak hanya disuguhkan karya sastra melainkan “kitab pembelajaran”. Atau menikkmati genre sastra masa kini seperti karya Andera Hirata dengan novel terbarunya Ayah. Pesan disampaikan melalui tokoh Sabari sebagai karakter tangguh dan tidak menyerah dalam keadaan. Melalui Sabari, Andrea berhasil memberi hiburan kepada pembaca sekaligus menyampaikan arti penting seorang ayah bagi kepribadian seorang anak dengan penyampain yang kocak dan out of the box.

Namun, tidak sedikit pula ditemui beberapa karya yang mementingkan sisi hiburannya. Karya seperti ini oleh Maman S. Mahayana digolongkan sebagai karya sastra populer, karya-karya yang mengeksploitasi seks dan pornografi atau mengangkat kisah percintaan remaja yang sederhana dan naif. Membaca karya ini pembaca hanya mendapatkan hiburan murahan, karena karya tersebut tidak menjadikan suatu karya suatu cermin dan teladan yang dapat membuat pembaca berpikir dan meningkatkan kualitas kepribadiannya.  

Karena sastra adalah keindahan tentu dalam menyampaikannya juga dengan keindahan bukan dengan obral ajaran murahan yang tak mendasar sehingga karya sastra yang dihasilkan begitu dangkal dan sepi pembaca. Sebaliknya karya sastra yang tidak hanya mementingkan hiburan sebagai pemuas nafsu juga memperhatikan apa yang akan disampaikan menjadikannya karya tersebut abadi dan pembaca tidak bosan-bosannya menelaah dan membacannya. Di samping itu pembaca diajak pengarang untuk berpatisipasi  dalama wacana pemikiran pengarang sekaligus berusaha untuk memahaminya.  Ketika membaca karya demikian pembaca tidak hanya akan memperoleh kenikmatan estetik yang bermutu, melainkan juga kekayaan intelektual dan kedalaman wawasan pengarang hingga nilai-nilai kemanusiaan yang tersurat dalam karya tersebut.

Mengapa tidak sebagai agen perubahan, santri mencoba menyentuh ranah asing dalam kurikulumnya ini. Bukan hal yang mustahil menyampaikan dengan cara nyastrawi lebih menyentuh daripada penyampaian melalui tangga podium. Karena sebagaimana Dwy Sadoelláh yang berkeyakinan dalam pengantarnya di Antologi Cerpen Ijtihad jilid 2 bahwa bahwa pada saatnya nanti, tatkala budaya bercerita semakin akrab dalam tradisi tulis-menulis para santri, mereka akan benar-benar berhasil mewartakan hakikat pesantren pada khalayak secara orisinal. Salam seni dan budaya.

Anggota Mejelis Sastra KUN!, menulis di ahmadaverroes.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun