Mohon tunggu...
Ahmad Arpan Arpa
Ahmad Arpan Arpa Mohon Tunggu... Freelancer - Filsuf

Alumnus Unindra-Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Writer Enthusias, a ghost writer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kapitalisme Cinta

20 Februari 2023   15:35 Diperbarui: 20 Februari 2023   16:03 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Hmmm gak tau ah"

Kring (Suara oven) Ternyata Ana membuatkanku kue dan teh hangat yang katanya dipetik langsung dari kebun teh dibelakang rumahnya.

"Silakan minum tehnya" seru Ana

"Iya, makasih Na"

"Jalan-jalan ke taman Ganesha yuk"

"Kamu tau jalannya?"

"Tahu dong, yuk"

Selama diperjalanan Ana bercerita hampir setengah bagian dari hidupnya ya mungkin yang kudapat sekitar dua pertiga atau 4 persen dari seluruh kehidupannya. Ana bercerita banyak hal tentang Bandung dari kuliner yang enak-enak dan beraneka ragam, tempat wisata yang tersebar disetiap kota dengan keseruannya masing-masing, tempat-tempat romantis yang dia impikan untuk dikunjungi bersama orang pilihan hatinya. Bahkan dia cerita kalau Wawan pernah mengajaknya untuk berpacaran tetapi Ana menolaknya karena tidak memiliki perasaan apapun kepada Wawan, ia hanya menganggapnya sebatas sahabat tidak lebih.

Beberapa kali memang Wawan pernah main kerumahnya tanpa diundang dan itu sungguh membuat Ana kesal karena seringkali kehadirannya mengganggu kegiatan yang sedang dilakukannya. Aku menengadah ke langit, bintang-bintang bersebaran menerangi jalan kami yang semakin remang, aku melihat mata kanannya disana hanya ada aku dan rembulan pada mata kirinya ada aku dan Ana. Terpancar terang cakrawala, mendamba kilauan cahaya, mencumbu, merengkuh terbuai angan-angan.

Saling memandang berserk-seri, sinar matanya menghadang, terjun makin dalam melewati bintang dan berakhir di rerumputan. Dadaku berdegup kencang bertanya-tanya ada apa gerangan. Malam mulai renta berselimut impian yang tetap terjaga nalar mengajak naik kesinggahsana namun jiwa belum terukur sudah mencapai mana.

Betapa senangnya lelahku hari ini, sudah mandi dan sikat gigi. Aku masih terbayang Ana. Ana kini mungkin dekat denganku, Ana nanti entah milik siapa. Lantas aku berpikir entah siapa yang nanti akan menjadi jodohnya, Ana perempuan baik, anggun, adabnya baik, dan juga cantik, aku rasa suaminya nanti adalah orang paling beruntung di dunia. Hari-hari berlalu selalu ditemani dengan Ana entah itu lewat obrolan WA, telepon atau juga video call aku menjadi sangat semangat menjalani hidupku sekarang. Pada suatu malam sekitar pukul 19.30 Ana menelponku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun